Perjalanan tim Jelajah Kopi Kompas ke Desa Way Ilahan, salah satu desa terpencil di Kecamatan Pulau Panggung, Tanggamus, Lampung, awal Februari 2018, boleh dikata berawal dari ketidaksengajaan. Perjalanan selama empat jam dari Bandar Lampung itu demi menemui Komari (53), penemu salah satu klon kopi robusta paling populer di Lampung.
Sebelumnya, kami hanya berencana melihat perkebunan kopi rakyat di Kecamatan Air Naningan, Tanggamus. Air Naningan merupakan salah satu daerah penghasil kopi terbesar di Tanggamus.
Sebagian besar petani Air Naningan bahkan telah bermitra dan memasok kopi bagi PT Nestle Indonesia. Selain dengan petani di Air Naningan, Nestle juga bermitra dengan petani di Kecamatan Ulubelu dan Pulau Panggung.
Nama Komari pertama kali diucapkan oleh tim peneliti kopi dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Lampung. Salah satu peneliti kopi, Jekvy Hendra, juga menginformasikan sejumlah klon kopi lokal yang tumbuh subur di Lampung, antara lain klon tugu sari, tugu hijau, tugu kuning, komari, dan casio.
Dua dari lima nama klon tersebut, komari dan casio, ternyata lahir dari nama petani penemunya. Mereka bernama Komari dan Casio. Kami pun penasaran untuk berbincang dengan mereka. Namun, apakah keduanya masih hidup?
Ketika itu, segalanya masih gelap. BPTP Lampung ternyata belum pernah bertemu langsung dengan kedua petani kopi tersebut. Mereka hanya mendengar cerita dari warga bahwa keduanya masih hidup dan tinggal di Kabupaten Tanggamus. Namun, BPTP Lampung tidak mengetahui alamat pastinya.
Karena penasaran, kami melaju menuju Tanggamus. Selain untuk meliput pola budidaya kopi di sana, kami ingin menemui para penemu klon.
Di Air Naningan, kami menemui Danuri. Petani sekaligus penyuluh perkebunan. Kebetulan, pada hari itu, Danuri sedang memimpin rapat kecil bersama Kelompok Tani Loh Jinawi di Desa Way Harong.
Danuri sedang berupaya mengajak petani untuk menghasilkan fine robusta, kualitas terbaik dari robusta yang dihasilkan jika petani mau melakukan petik merah di pohon. Selain itu, mereka juga harus mengolah kopi pascapanen secara tepat. Salah satunya dengan menjemur kopi di atas para-para.
Biji beras kopi fine robusta kemudian dapat dijual kepada pengepul atau pemilik kedai kopi di Bandar Lampung senilai lebih dari Rp 40.000 per kg. Jelas, jauh lebih mahal daripada harga kopi asalan di tingkat petani yang sebesar Rp 22.000-Rp 26.000 per kg.
Mendengar penjelasan Danuri, sebagian petani gamang, ragu. Selama ini petani terbiasa mengolah kopi tanpa teknik khusus. Tiap kali melihat ada biji kopi yang telah merah atau matang di batang pohon, seluruh buah akan ikut dipetik.
Mengapa begitu? Ternyata, mereka menginginkan proses panen dapat selesai dalam 3-4 hari. Dengan demikian, mereka tidak perlu bolak-balik ke kebun yang jaraknya puluhan kilometer dengan kondisi jalan rusak. Bila musim hujan, bahkan perlu kerja ekstra untuk menurunkan biji kopi hasil panen dari kebun ke rumah.
Walau demikian, setelah rapat, Danuri dan sebagian petani kopi di kelompok itu tetap optimistis dapat memproduksi fine robusta. Mereka sepakat memulainya secara perlahan. Tiap petani diminta memulai dalam volume kecil, hanya 2-10 kg setiap petani. Kami pun merasakan gairah petani untuk meningkatkan citra kopi robusta Lampung.
Mencari Komari
Seusai menyimak rapat petani, kami menengok kebun kopi di Kecamatan Air Naningan. Kami diberi penjelasan tentang keragaman klon kopi lokal yang dibudidayakan petani. Salah satunya adalah klon kopi komari.
Dari bentuk fisiknya, pohon kopi itu tidak terlalu besar. Tingginya hanya 1-1,2 meter. Namun, dibandingkan dengan jenis kopi lain, biji kopi komari lebih besar dan kulitnya tipis.
Menurut petani, tanaman klon kopi komari tidak mudah terserang hama. Produktivitasnya stabil, yakni dapat memproduksi 1,5-2 kg biji beras per tahun.
Dari petani di Air Naningan, kami mendapat informasi tentang Komari. Sejumlah petani sebenarnya tidak pernah bertemu langsung dengan Komari. Namun, Komari dikabarkan bermukim di Desa Way Ilahan, Kecamatan Pulau Panggung, Tanggamus.
Kami diminta langsung menuju Desa Way Ilahan, kemudian bertanya kepada warga sekitar. Menurut para petani, nama Komari amat tenar sehingga banyak warga yang mengenalnya.
Berkat petunjuk dari Danuri, yang digambar di atas kertas, kami melaju menuju Desa Way Ilahan. Letaknya kira-kira 20 kilometer dari Desa Way Harong, Air Naningan, dengan waktu tempuh sekitar 30 menit.
Hampir seluruh warga yang kami temui mengenal Komari. Mereka juga memberikan petunjuk yang sama. Kami diminta mencari rumah yang paling bagus di desa tersebut. Itulah rumah Komari. “Lurus saja. Setelah ketemu perempatan, belok ke kiri, lalu cari saja rumah yang paling bagus,” ujar salah seorang warga kepada Kompas.
Setelah mengikuti petunjuk warga, kami melihat rumah berlantai dua di kiri jalan. Tidak ada rumah berlantai dua lainnya di sekitar situ. Kami pun yakin itu rumah Komari.
Setelah mengetuk pintu dan mengucap salam, seorang wanita yang ternyata istri Komari membukakan pintu. Awalnya, wanita bernama Jasmiyati itu tampak heran dan kaget ketika ada beberapa wartawan yang mencari suaminya. Namun, Jasmiyati mempersilakan kami masuk ke rumah.
Setelah menunggu sekitar lima menit, Komari muncul. Dia baru bangun tidur. Seperti istrinya, Komari heran ada wartawan yang jauh-jauh datang ke desa terpencil di pelosok Tanggamus hanya untuk mengobrol tentang kopi komari.
Kompas pun “memaksa” petani paruh baya itu bercerita tentang bagaimana dia “menemukan” klon kopi lokal itu. Selama tiga jam, kami mendengarkan kisah Komari.
Ternyata, dia mulai membudidayakan tanaman kopi sejak tahun 1991. Ia mengatakan tidak sengaja menemukan klon itu. Awalnya, Komari melihat ada satu pohon yang tumbuh subur di antara tanaman kopi lain yang terserang hama di kebunnya.
Kemudian, Komari menyilangkan pohon itu dengan tanaman kopi lokal lainnya. Hasil persilangan kedua tanaman kopi yang tidak diketahui namanya itu yang kemudian menghasilkan kopi “Komari”.
Tanpa diduga, tanaman hasil persilangan tersebut tumbuh subur dan berbuah lebat. “Saya pernah mendapatkan hasil panen sebanyak 3,3 ton kopi dari 0,75 hektar kebun. Hasil panen kopi di kebun saya bisa dikatakan paling banyak dibanding petani lain yang hanya 1 ton per hektar,” ucapnya.
Kopi komari mulai diperbincangkan. Petani yang penasaran datang ke rumahnya untuk meminta bibit kopi kepada Komari. Ia pun dengan senang hati memberikan begitu saja bibit kopi tersebut kepada para tetangganya. Orang mulai menyebut klon lokal itu sebagai kopi “komari”, sesuai namanya.
Selama bertahun-tahun, Komari berbagi klon tanaman lokal miliknya dengan banyak petani di Lampung. Dia tidak pernah berpikir menjual bibit itu demi mendapatkan uang. “Sebagai sesama petani, saya hanya ingin saling membantu,” ujarnya.
Komari mengaku sudah cukup senang mendapatkan banyak kenalan baru dari berbagi bibit kopi. Bahkan, sebagian besar petani yang dikenalnya telah menganggapnya seperti saudara. Ketika singgah di sebuah desa, misalnya, dia selalu diajak mampir ke rumah petani kopi yang merasa telah terbantu oleh Komari.
Kisah tragis
Sayangnya, sejak tahun 2008, seluruh pohon kopi milik Komari telah ditebang dan diganti dengan pohon kakao. Keputusan itu dia ambil dengan berat hati. Namun, desakan ekonomi keluarga dan biaya sekolah ketiga anaknya membuatnya terpaksa melakukan hal itu. Sungguh sebuah kisah yang tragis.
“Ini saya lakukan karena butuh uang. Kalau tetap menanam kopi, saya hanya bisa panen satu kali setiap tahun. Padahal, saya butuh uang untuk anak sekolah setiap bulan. Karena itu, saya mengganti dengan tanaman kakao yang bisa dipanen setiap minggu,” tutur Komari.
Meski begitu, masih ada keinginan di dalam hati Komari untuk kembali menanam kopi. Saat ini, dia sedang mengumpulkan uang agar bisa membeli sepetak kebun untuk ditanami kopi. Kami yang mendengar keinginan itu mengamini di dalam hati.
Kami ingin melihat impian Komari menjadi nyata. Petani yang telah berjasa melestarikan salah satu klon lokal kopi robusta Lampung, yang hari-hari ini tidak mempunyai satu batang pun tanaman kopi. Kami ingin melihat Komari kembali aktif di kebun kopinya. (VINA OKTAVIA)