Di tengah hiruk-pikuk geliat kopi, robusta bagai tertinggal. Robusta dianggap nomor dua dan tak diperlakukan istimewa. Padahal, dalam peta kopi nasional, robusta merupakan tulang punggung Nusantara.

Richard (28), warga Talang Mekenang, Kecamatan Pajar Bulan, Kabupaten Lahat, Sabtu (12/5/2018), menjemur kopi di pekarangan rumahnya. Ribuan biji kopi beraneka warna dihamparkan di atas terpal berwarna biru. Panen itu merupakan petikan kedua baginya. Setiap kali memetik, ia mendapatkan 50-100 kilogram.

Namun, Richard hanya memetik asal. Biji kopi berwarna hijau dan merah bercampur sedemikian rupa tanpa disortir. “Bagi kami, yang penting biji kopi bisa langsung dijual,” katanya. Diakui Richard, dengan memetik asalan, kualitas biji kopi akan rendah sehingga berpengaruh pada harga.

“Untuk petik asalan sekitar Rp 22.000 per kg. Namun, kalau petik merah, harga bisa Rp 30.000 per kg,” ujarnya.

Richard menanam kopi robusta. Biasanya, tanaman akan berbuah pada usia 8-11 bulan meski kematangan biji kopinya beragam. Kalau menunggu petik merah, dia hanya bisa memetik sekitar 20 kg per hari.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Kopi jenis robusta yang ditanam di kebun Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Lampung di Kecamatan Natar, Lampung Selatan, Jumat (9/2/2018).

Meski demikian, praktik petik asalan dilakukan hampir semua warga di kawasan Talang Mekenang. Alasan mereka sama, yakni desakan ekonomi. Menurut Zuljalali (40), petani lainnya, petik asalan lumrah dilakukan agar petani cepat mendapatkan uang. Apalagi, saat ini, produktivitas tanaman kopi menurun signifikan dari 900 kg per hektar per tahun menjadi 300-400 kg per hektar per tahun.

Produktivitas tanaman kopi turun karena serangan hama dan cuaca yang tidak menentu. Alasan lain, lanjut Zuljalali, ada desakan dari para pengepul untuk segera menjual biji kopinya. “Kami tidak bisa berbuat apa-apa karena sudah utang dengan pengepul. Jadi, harga dan waktu pemetikan ditentukan pengepul,” ucapnya.

Tidak hanya terkait pemetikan biji kopi, dalam proses penjemuran, beberapa petani pun menggunakan alat seadanya. Biji kopi dijemur di pekarangan tanpa alas. Akibatnya, ketika proses penggarukan, kopi bercampur dengan tanah.

Cara lainnya, meletakkan biji kopi di tengah jalan. Tujuannya, agar biji kopi yang telah kering dapat terkupas saat dilindas kendaraan yang melintas. Jadilah kopi yang mereka produksi beraroma mirip ban karet atau oli mesin. Penjemuran biji juga hanya berkisar 5-7 hari. Padahal, penjemuran biji kopi untuk kering sempurna membutuhkan waktu 12 hari.

Kebiasaan memetik asalan dan mengolah apa adanya tidak hanya di Kabupaten Lahat, tetapi juga di Lampung, Jawa Timur, bahkan hampir di setiap daerah penghasil kopi robusta.

Kebiasaan memetik asalan dan mengolah apa adanya bahkan terjadi di hampir di setiap daerah penghasil kopi robusta.

Tragisnya, ketika sebagian petani telah mencoba menaikkan standar mutunya, terkadang harga yang ditawarkan tak sepadan. Widodo, Ketua Kelompok Tani Loh Jinawi Desa Way Harong Trubus, Lampung, menyebutkan, belum banyak pembeli yang berani memberikan harga tinggi kopi petik merah yang diolah dengan baik.

KOMPAS/RADITYA HELABUMI

Stok kopi robusta yang dikemas dalam karung di gudang milik salah satu perusahaan kopi di Bandar Lampung, Kamis (8/2).

“Pernah ada yang menawarkan harga lebih tinggi, tapi selisih hanya Rp 2.000-Rp 3.000 per kg. Itu tidak sebanding dengan biaya tambahan yang harus kami keluarkan,” ujarnya.

Persoalan robusta menjadi kompleks karena Indonesia masih mengandalkan robusta. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, sebanyak 86 persen dari 1,2 juta hektar perkebunan kopi di Indonesia adalah lahan kebun robusta. Lebih dari 2 juta petani bergantung pada robusta.

Stagnan
Adi Haryanto, anggota Dewan Kopi, mengatakan, produksi kopi Indonesia mencapai 11 juta karung (60 kg per karung), dengan 40 persen dari jumlah itu diserap pasar domestik dan 60 persen diekspor. Dari total produksi tersebut, robusta mencapai 75 persen dan arabika 25 persen. Ekspor robusta bahkan menguasai 18,4 persen pasar robusta global atau terbesar ketiga dunia.

Namun, yang menjadi tantangan adalah stagnansi angka produksi yang bahkan dikhawatirkan akan turun di tengah laju peningkatan kebutuhan kopi. Jika tak diantisipasi, Indonesia bisa menjadi importir kopi dunia. “Kami, misalnya, dulu pakai kopi Flores. Bagus, tapi terpaksa harus diganti karena seluruh hasil panen kopi Flores tak mencukupi,” kata Adi, yang juga menjabat Komisaris PT Kapal Api Global.

Secara kuantitas, produksi kopi Indonesia memang rendah, hanya 0,7 ton per hektar, jauh dari angka potensi yang mencapai 3 ton per hektar. Bahkan, di buku Arah Kebijakan Kopi Indonesia; Menghadapi Tantangan Kompetisi Perubahan Iklim dan Kondisi Perubahan Dunia, yang diterbitkan Kementerian Koordinator Perekonomian, ditulis total luas lahan robusta turun dari 1,17 juta hektar (2010) menjadi 887.000 hektar (2017). Sebagian lahan beralih ke arabika atau komoditas lain, seperti tebu, kelapa sawit, atau karet, yang lebih menghasilkan uang.

Mayoritas kopi yang diekspor juga kopi grade 4 atau grade rendah. Rendahnya kualitas kopi disebabkan penggunaan bibit asalan, kurangnya penggunaan mesin yang baik, mekanisme prapanen dan pascapanen yang belum terstandar, serta pengetahuan pekerja yang kurang.

Mulai bergerak
Tak terima dengan keadaan itu, beberapa sektor mulai bergerak. Sebagian dari mereka mencoba meningkatkan kualitas robusta di hulu, sebagian lainnya di hilir.

KOMPAS/ HENDRA A SETYAWAN

Para petani melakukan arisan tenaga di perkebunan kopi rakyat di Desa Srimulyo, Dampit, Malang, Jawa Timur, Selasa (9/1). Arisan tenaga adalah bentuk gotong royong petani untuk mengolah kebun kopi. Kawasan ini merupakan penghasil utama kopi robusta di Malang.

Di beberapa daerah di hulu, dilakukan pendampingan petani untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas kopi mereka. Bali adalah salah satunya. Dengan dukungan penuh Pemerintah Provinsi Bali, kopi robusta Pupuan asal Kecamatan Pupuan, Kabupaten Tabanan, Bali, tahun 2017 berhasil mengantongi sertifikasi indikasi geografis. Kopi robusta Pupuan pun berhasil menembus pasar Korea Selatan, Italia, Belgia, dan Taiwan pada 2016-2017.

Ketua Masyarakat Perlindungan Indikasi Geografis Pupuan I Wayan Dira menuturkan, robusta Pupuan dibudidaya dengan sistem subak abian. Suatu sistem subak yang rata-rata terdiri atas 800-850 petani kopi. Setiap petani rata-rata memiliki lahan kopi seluas 1 hektar dengan produksi 1-2 ton per hektar. Di kawasan tersebut, tanaman kopi ditumpang sari dengan tanaman kakao (cokelat), gamal, dan alpukat.

Harga biji kopi robusta Pupuan berkualitas bagus dapat mencapai Rp 35.000 per kg. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan kopi asalan, yaitu Rp 27.000 per kg. Sebelum mendapat pembinaan pemerintah, petani membudidayakan kopi secara asal. Petani, misalnya, melakukan petik racut (asal) dari pangkal ke ujung, menjemur di tanah, dan tidak petik merah.

Ketika digarap dengan baik, kopi robusta Pupuan menjadi fine robusta (special) karena ternyata dalam uji cita rasa mendapat skor 83,20. Cita rasa kopi robusta Pupuan lebih lekat pada rasa cokelat, karamel, kacang, dan rempah.

Kopi fine robusta bukan hal baru. PTPN XII sejak tahun 1926 mengekspor robusta berkualitas tinggi. Salah satu pabrik tertua penghasil fine robusta adalah Bangelan di Kabupaten Malang. Di pabrik tua peninggalan kolonial Belanda itu, kopi robusta diolah dengan standar internasional. Hal itu dilakukan dengan petik merah, sortasi hingga enam kali, dan pengontrolan rutin kualitas kopi. Lewat fine robusta, PTPN XII pun mempunyai pelanggan setia dari Eropa dan Amerika.

KOMPAS/ RADITYA HELABUMI

Barista menyajikan kopi jenis robusta di Ulubelu Coffee, Bandar Lampung, Rabu (7/2/2018). Kopi yang disajikan merupakan hasil perkebunan kopi robusta di wilayah Tanggamus, Kabupaten Lampung. Tumbuhnya kedai kopi di Bandar Lampung menjadi indikator positif untuk meningkatkan nilai ekonomi kopi robusta.

Di sisi hilir, Rinaldi Hartono, pemilik kedai kopi Ulubelu Coffee, memopulerkan robusta dengan memperkenalkan kopi robusta Lampung berkualitas tinggi kepada pengunjung kedainya. Kopi itu dibagikan gratis kepada pengunjung kafe. Sebanyak 20 kedai kopi lain di Bandar Lampung juga gencar mempromosikan kopi robusta terbaik. Kedai-kedai itu menghadirkan kopi robusta tanpa campuran. Tak menyajikan asalan, tapi kualitas nomor satu.

”Semakin banyak gelas kopi yang diminum, akan semakin banyak orang yang mengenal cita rasa kopi robusta Lampung. Semuanya dimulai dari cara menanam dan pascapanen yang baik,” ujarnya.

Adi Taroepratjeka, pemilik 5758 Coffee Lab Bandung, mengatakan, saat ini fine robusta di Indonesia seperti halnya telur dan ayam. “Yang mau tanam bingung, yang mau proses ragu-ragu. Tapi, saya sudah membuktikan di warung saya bahwa fine robusta yang diproses dengan baik, diolah dengan baik, diseduh dengan baik itu, bisa bikin orang jatuh cinta,” tuturnya.

Era baru kopi robusta ini memberikan secercah harapan. Petani memiliki dua pilihan pasar. Tak sekadar pengepul dan perusahaan kopi, ada kedai kopi yang menampung bahkan memberikan harga lebih tinggi meski volumenya belum banyak. Gerakan lintas sektor bisa jadi harapan untuk robusta, si tulang punggung Nusantara, agar bisa lebih berdaya.(CHE/VIO/DIA/RAM/ITA/GRE/REN/NIT)