Di sudut rumah panggungnya, Hermawan (41) memperlihatkan kotak kayu tua berukuran satu meter persegi. Kotak itu sudah kehilangan gagang besinya. Hanya tersisa sedikit ornamen ukiran dengan cat yang mulai luntur.
Namun, bagi Hermawan, kotak berisi jubah putih dan perlengkapan untuk haji itu adalah sumber semangat guna mengolah kopi warisan keluarga. Sebab, dari hasil kopilah sang kakek bisa bertolak ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.
“Kotak ini milik kakek saya, Haji Syafi’i, untuk pergi ke Tanah Suci. Waktunya tidak pasti, sekitar akhir 1900-an. Dia naik kapal selama tiga bulan dibiayai kopi. Namun, diduga, kopi arabika, bukan robusta yang banyak ditanam di Liwa,” katanya saat ditemui di rumahnya di Liwa, Lampung, Februari 2018.
Haji Sayfi’i sudah lama tiada. Namun, kebunnya masih diolah hingga sekarang. Hermawan kini yang mengurusinya. Kebun itu tidak lagi ditanami arabika, tetapi robusta dengan banyak klon. Meski kondisinya tak sama lagi, baginya, itu bukan masalah. Jika kakeknya bisa naik haji dari hasil arabika, ia pun punya mimpi serupa, dengan robusta.
Kisah petani yang berhasil dan akhirnya bisa beribadah haji menggambarkan masa lalu yang indah akan kopi Lampung. Awalnya, penanaman kopi di daerah itu didominasi pohon kopi arabika, sedangkan robusta datang belakangan.
Probonegoro dalam buku Lampoeng Tanah Lan Tijangipoen (1940) menuliskan, kopi arabika mulai ditanam pada 1850-an. Penanamannya hampir bersamaan dengan berkembangnya budidaya lada.
Pada masa itulah kopi arabika yang dipasok Hindia Belanda menjadi primadona dunia. Probonegoro menyebutkan soal adanya laporan dari residen Lampung perihal 4 juta pohon yang ditanam di Lampung pada 1860-an.
Penanaman itu tak lama sebelum Syafi’i berangkat ke Tanah Suci. Panen masih menggunakan metode mengumpulkan buah-buah kopi yang telah matang di dahan atau jatuh ke tanah.
Pada masa kini, metode mengumpulkan kopi di tanah berkembang dan menghasilkan produksi kopi luwak. “Bila dulu kopi dibalut kotoran luwak yang diambil di hutan, kini bisa diambil di kandang yang dijamin kebersihan dan kesehatannya,” ujar Gunawan Supriadi (49), petani kopi luwak di Liwa, Lampung.
Menghadapi ujian
Akan tetapi, kejayaan kopi tak berlangsung lama. Kopi Lampung menghadapi ujian.
Peristiwa serangan penyakit karat daun (Hemileia vastatrix) menghabisi hampir seluruh tanaman kebun kopi di Jawa. Bencana tersebut membuat pasar kopi terganggu.
Seperti tak cukup, bencana lanjutan terjadi tiga tahun kemudian. Letusan Gunung Krakatau menghancurkan kebun-kebun kopi. Sekian lama kopi Lampung pun terbengkalai.
Baru pada awal 1900, budidaya kopi Lampung bangkit kembali. Kali ini, pohon yang ditanam adalah robusta. Pada periode yang sama, Pemerintah Belanda pun menggencarkan penanaman robusta karena dianggap lebih bertahan menghadapi serangan karat daun.
Penanaman kopi pun meluas di kawasan pegunungan. Mayoritas ditanam pada ketinggian kurang dari 800 meter di atas permukaan laut. Selain di Lampung, robusta juga ditanam di Toraja, Malang, dan Bali.
Kali ini, tanaman robusta berumur panjang. Lampung pun kini berkembang menjadi sentra perdagangan dan industri kopi robusta.
Wakil Ketua Bidang Dalam Negeri Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia Wilayah Lampung Teddy Suryana menyatakan, kopi yang dihasilkan dari Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Jambi sebagian diekspor melalui Lampung. Kopi dari daerah-daerah itu disebut dengan nama kopi Lampung.
Parameter harga kopi di wilayah Sumatera berpatokan pada harga di Lampung. Pengiriman utama kopi pun dilakukan di Pelabuhan Panjang.
Uniknya, robusta tak sekadar jadi sumber mata pencarian dan mengumpulkan rupiah. Robusta seakan-akan menjadi cermin masyarakat Lampung itu sendiri. Cara robusta beranak pinak, misalnya, disebut poliklonal atau membutuhkan banyak klon robusta dalam satu kebun, mirip dengan Lampung yang beragam.
Saat ini, tercatat ada sekitar 27 klon robusta yang menyebar di Lampung. Beragamnya sebaran klon kopi hampir serupa dengan kemajemukan masyarakat Lampung di masa kini.
Tidak hanya didominasi warga suku Lampung, ada pula masyarakat keturunan Jawa, Sunda, Bali, China, dan Arab. Semua hidup rukun di wilayah ini.
Uniknya lagi, dalam keberagaman itu juga mereka bersama-sama membangun kopi Lampung menjadi sentra utama produksi robusta nasional.
Dengan beragam kisah dan modal itu, Hermawan percaya, cepat atau lambat, robusta makin bersinar seperti halnya kopi arabika milik sang kakek.
Dia mulai merintis pengembangan kopi robusta dengan mengikuti banyak pameran kopi. Ia pun mempromosikan kopi luwak dengan beragam metode penyeduhan.
Akhirnya, dihasilkan seduhan kopi robusta yang tak pahit, tetapi kaya akan cita rasa. Tak hanya diminati masyarakat Lampung, robusta setempat juga digemari dunia. (CORNELIUS HELMY HERLAMBANG/VINA OKTAVIA)