Tanpa produksi, tak berarti kota-kota ini minim kisah tentang kopi. Urusan nongkrong, diskusi, sambil menyeruput kopi, mereka punya tradisi kuat. Kedai kopi menjadi pemacu denyut kota, cawan rekonsiliasi, bahkan kuali tempat revolusi bersemi.
Malam kian larut, tetapi Warung Kopi Kong Djie di Jalan Siburik Barat, Tanjung Pandan, Belitung, Senin (21/5/2018), justru makin dipadati orang. Derai tawa membahana diselingi denting suara sendok beradu gelas kaca.
Ahmad Fansuri (33) baru saja menghabiskan segelas kopi. Sopir pariwisata itu mampir ke warung kopi setelah mengantar tamunya menjelajahi Belitung. Bersama Garry dan Erling Rinanto, pegiat wisata lokal, Ahmad membicarakan banyak hal soal turisme.
“Dulu, tidak ada obrolan selain soal sawit karena hampir semua warga bekerja di perkebunan sawit,” ujarnya.
Namun, sejak film Laskar Pelangi mencuat pada 2008, wisata mulai jadi topik menarik. Tambang timah dan sawit perlahan ditinggalkan. Dari mana wacana itu berawal? Di warung kopi.
Agus Pahlevi, Ketua DPD Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Bangka Belitung, mengenang, di warung-warung kopi, ide besar dimulai dari bicara santai. Belitung yang dulu bertumpu pada tambang timah kini menjadi kota wisata, salah satunya mengandalkan paket ngopi.
Mereka saling sapa tanpa peduli agama, latar belakang profesi, dan suku.
Itu sebabnya, setiap wisatawan yang datang pasti diajak ke warung kopi. Dua kedai yang masuk daftar utama ialah Warung Kopi Ake yang berdiri sejak 1922 dan Kong Djie sejak 1943. Agus menyebutkan, belum sah seseorang menginjak Belitung tanpa menyesap kopi di kedai lokal.
Kehangatan antarpengunjung dan pemilik warung begitu terasa meski kedai hanya berbangku kayu. Mereka saling sapa tanpa peduli agama, latar belakang profesi, dan suku.
Bos atau buruh sama saja, minum kopi susu seharga Rp 10.000 per gelas. “Kalau saya datang, tanpa bicara, kopi susu satu pancok (gelas kecil) sudah datang,” ucap Erling.
Karena bukan daerah penghasil kopi, untuk mendapatkan bahan baku, para pemilik warung biasanya memanfaatkan daerah produsen terdekat. Di Belitung, kopi dipasok dari kebun-kebun robusta di Lampung.
Terikat
Kesahajaan pula yang melekat pada warung-warung kopi di Pontianak, Kalimantan Barat. Salah satunya Warung Kopi Asiang. Di tempat ini, sejak pagi buta, pengunjung telah mengantre minum kopi.
Asiang (63), pemilik warung, dengan bertelanjang dada tampak sibuk meracik kopi. Jari keriputnya lincah menyeduh, menyaring, lalu menuangkan kopi dari teko aluminium. “Sehari, sekitar 600 cangkir kopi terjual,” ucapnya.
Jalinan interaksi terus-menerus selanjutnya memunculkan keterikatan antarpengunjung dan pemilik warung kopi.
Warung Kopi Asiang yang buka sejak 1958 tak pernah sepi pengunjung. Pedagang, buruh, pengusaha, hingga pegawai pemerintahan duduk bersama menyesap kopi untuk menyemangati hari.
Tuti Holis, generasi ketiga pemilik Kedai Kopi Tong San di Makassar, Sulawesi Selatan, misalnya, mengatakan mengenal hampir semua pelanggan setianya. Mereka seperti berada di rumah sendiri. Jalinan interaksi terus-menerus selanjutnya memunculkan keterikatan antarpengunjung dan pemilik warung kopi. Bahkan, di Kota Surabaya, Jawa Timur, yang juga bukan daerah produsen kopi, dikenal istilah kopi parkir.
Jika seseorang minum di warung kopi lalu karena ada urusan terpaksa pergi sebelum kopinya habis, ia bisa menitipkan minumannya kepada pemilik warung. Gelas atau cangkir ditutupi tatakan, kemudian disimpan pengelola atau ditaruh di meja tempat si pembeli tadi duduk.
Hingga si pembeli kembali meski berjam-jam kemudian, kopi itu tak akan diganggu. Jika si pembeli tadi kembali, menghabiskan sisa kopi yang sudah dingin, lalu membayarnya dan pergi, itu hal wajar.
Tak sekadar tempat nongkrong, warung kopi juga telah menjadi penanda sejarah. Di Maluku, banyak politisi menjadikan rumah kopi sebagai area diskusi, bertemu konstituen, serta ruang unjuk kekuatan politik dan pawai diri. Hal itu sama seperti agora yang dikenal bangsa Yunani.
Kekuatan perekat di rumah kopi itu kemudian menjadi media rekonsiliasi bagi warga yang bertikai kala konflik sosial bernuansa agama melanda Maluku belasan tahun silam. Sebut saja Rumah Kopi Trikora di Ambon yang berdiri di perbatasan daerah komunitas Islam dan Kristen.
Pada satu ruangan dengan bekas kebakaran, warga dan tokoh perdamaian kedua komunitas kerap bertemu. Pintu masuk rumah kopi yang berdiri di perempatan jalan itu ada dua, yakni dari Jalan Said Perintah dan Jalan AM Sangadji.
“Dulu, sewaktu konflik, yang Muslim masuk dari AM Sangadji, sedangkan yang Kristen dari Said Perintah. Mereka bertemu di dalam, saling berbagi cerita, berpelukan, dan menangisi kondisi saat itu,” kata Rudi Fofid, aktivis perdamaian Ambon.
Warung-warung kopi di Pontianak yang pernah dilanda konflik horizontal pada 1990-an pun turut menjadi katalisator situasi. “Ada yang mengatakan, dalam situasi sosial yang sedang tidak kondusif, selama warung kopi masih buka, artinya situasi masih terkendali,” ujar Ahmad Sofian, penulis buku mengenai warung kopi di Pontianak.
Bahkan, di warung kopi, nasib suatu daerah pernah ditentukan. A Kiong (63), generasi ketiga Warung Kopi Ake di Belitung, menuturkan, saat Bangka Belitung akan berdiri sendiri sebagai provinsi pasca-Reformasi, berpisah dengan Sumatera Selatan, warungnya sering jadi tempat diskusi para politisi.
Inkubator gerakan
Berawal dari diskusi di warung kopi, banyak ide besar bermekaran. Koordinator Komunitas Satu Dalam Perbedaan (Sadap) Pontianak Isa Oktaviani, misalnya, kerap menjadikan warung kopi sebagai tempat lahirnya ide-ide mengampanyekan keberagaman. Baginya, kesahajaan warung kopi membuat anak muda seperti dirinya lebih mampu menetaskan ide-ide kreatif. “Misalnya membuat situs yang mengampanyekan keberagaman serta memulai gerakan,” lanjutnya.
Kedai kopi di Kanopi Center juga memberi ruang alternatif bagi berbagai komunitas, antara lain seni, film, dan terkait keberagaman. Bahkan, Deny Sofian, pendiri Kanopi Indonesia, tidak memungut biaya bagi komunitas yang melaksanakan kegiatan di tempatnya.
Sebab, pada akhirnya, ngopi telah menjadi kanal komunikasi, sebuah kebutuhan mendasar bagi manusia. Kesahajaan warung kopi memungkinkan interaksi menjadi lebih cair tanpa ketegangan. Dari situ, terbangun peradaban yang toleran dan santun. (IKI/FRN/ESA/BRO/GRE)