Letusan Gunung Agung tahun 1963 yang menewaskan lebih dari 1.000 jiwa menyisakan beberapa ”keajaiban”, selain kisah petaka. Pura Besakih, yang saat itu disesaki ribuan warga Bali dalam perayaan Eka Dasa Rudra, selamat dari letusan.
Aliran awan panas dan lahar seperti menghindari Besakih, padahal desa-desa di sekitarnya hancur. Bahkan, pura terbesar di Bali ini telah bertahan dari serangkaian aktivitas vulkanik Gunung Agung selama ratusan tahun. Paling tidak sejak 600 tahun lalu, tidak ada catatan mengenai kerusakan Pura Besakih akibat letusan Gunung Agung.
Kama Kusumadinata, vulkanolog Direktorat Geologi Bandung yang berada di Bali selama erupsi Gunung Agung 1963, menilai, pembangun Pura Besakih mengetahui betul lokasi yang aman dari letusan Gunung Agung.
Setelah mengeksplorasi bentang alam Gunung Agung, Kusumadinata berkesimpulan, Pura Besakih aman dari erupsi 1963 karena berada di belakang titik tertinggi Gunung Agung (3.142 mdpl), sementara aktivitas vulkanik terjadi di kaldera yang bersisian dengan puncak.
Puncak itu menyambung dengan punggungan yang menerus hingga kaki gunung ke arah barat daya-selatan itu menjadi semacam benteng alam bagi Pura Besakih.
Selain itu, berdasarkan pengukuran Kusumadinata, pura berada 6,5 kilometer dari kawah. Ini merupakan jarak aman karena berada di luar jari-jari zona rawan bahaya 5 kilometer pada 1963 dan 6 kilometer pada peta kawasan rawan bencana saat ini.
Meskipun terlindungi oleh puncak Gunung Agung, lemparan lapili berupa pasir dan kerikil masih sampai di kompleks Pura Besakih. Kusumadinata mencatat, di sekitar pura ada endapan kerikil serta pasir.
Sementara itu, lontaran awan panas terhalang oleh benteng alam puncak Gunung Agung dan punggungan memanjang ke arah barat daya. Sketsa puncak dari arah Besakih yang dibuat Kusumadinata pada 1963 menunjukkan posisi yang sama dengan tampilan citra satelit tiga dimensi Google Earth.
Benteng alam juga terdapat di Gunung Merapi di perbatasan Yogyakarta dan Jawa Tengah, yang sering disebut sebagai geger boyo (bahasa Jawa, berarti punggung buaya) di sisi selatan mengarah ke Yogyakarta. Geger boyo ini bertahan selama 100 tahun melindungi Dusun Kinahrejo dan permukiman lain di sisi selatan Merapi.
Namun, geger boyo ini kemudian jebol saat erupsi Merapi tahun 2006. Dampak nyata dari hilangnya pelindung alami itu terjadi pada erupsi 2010. Dusun Kinahrejo yang selama 100 tahun terlindungi kemudian diterjang awan panas. Aliran lahar dan awan panas pun meluncur ke Kali Gendol dan Kali Kuning di sisi selatan Merapi.
Kasus pada tangkis alam geger boyo di Merapi menunjukkan bahwa pelindung alamiah bisa jebol. Saat letusan 1963, Kusumadinata sempat mengkhawatirkan jebolnya benteng alam yang melindungi Pura Besakih sehingga direkomendasikan supaya pura ini dikosongkan. Besakih memang selamat dari letusan 1963, tetapi umur batuan yang menua dan intensitas gempuran aliran lava yang intensif suatu saat bisa merobohkan benteng alam yang selama ini melindunginya.
Fenomena terhindarnya tempat suci dari kehancuran akibat erupsi gunung api juga terjadi di kompleks Gunung Batur. Pura Bukit Mentik di dasar kaldera Batur juga terhindar dari aliran lava hasil erupsi 1926. Lava tidak melanda pura, tetapi pecah ke kiri dan kanan pura. Pemandangan itu masih bisa disaksikan saat ini.
”Kita bisa lihat aliran lava berhenti di sini dan bergerak mengelilingi pura,” ujar Indyo Pratomo, geolog pada Museum Geologi, Bandung, awal Oktober lalu. ”Secara geologi, fenomena seperti ini bisa terjadi. Lava di batas aliran ini membeku lebih cepat, kemudian menjadi tanggul sehingga aliran lava terpecah ke kiri dan kanan pura. Pembekuan lava yang lebih cepat itu bisa disebabkan lava masuk ke air,” ujar Indyo.
Ahmad Arif; Indira Permanasari; Agung Setyahadi; Agustinus Handoko; Cornelius Helmy Herlambang; Iwan Setiyawan; Fikria Hidayat; Budiawan Sidik Arifianto; Gusti Pemuda Bestari