Malam belum sempurna menjelma pagi. Cahaya temaram melembutkan kerasnya jalur pendakian berupa lelehan lava beku terjal. Puncak tinggi tak jauh di depan, memberikan harapan pendakian hampir berujung.
Awan putih yang bergulung-gulung telah terlampaui. Puncak Gunung Batur (1.717 meter di atas permukaan laut/mdpl) dengan kaldera raksasanya samar menyembul dari balik awan. Kaki kian bersemangat melangkah sekalipun lelah dan kantuk menyiksa.
Namun, sesampai di puncak itu, kekecewaan meruap. Yang dikira puncak Gunung Agung itu ternyata tak lebih gundukan bukit. Puncak Agung (3.142 mdpl) sesungguhnya belum terlihat.
Menuruni lembah, perjalanan kembali mendaki, lalu turun dan mendaki lagi. Sebuah puncak lain kembali tertangkap mata. Namun, lagi-lagi hanya ”puncak bayangan”.
Menghela napas sejenak, perjalanan sampai ke atas ”dinding raksasa”. Jalan setapak itu berpasir, hanya cukup dilalui satu orang, dan diapit jurang dalam.
Lebih dari ketahanan fisik, mental benar-benar diuji dalam pendakian ke Puncak Agung.
Gerbang Agung
Perjalanan ke puncak tertinggi di Pulau Dewata itu dimulai pagi hari sebelumnya, 6 Oktober lalu.
Tiga mahasiswa sahabat alam ”Wanaphrasta Dharma” Universitas Udayana, Bali, Agung Swabhawa, I Nengah Arya Duungan, dan Putu Adri Wisanta, memandu pendakian bersama arkeolog dan dosen mereka, Rochtri Agung Bawono.
Mereka pula yang menerangkan aturan adat selama pendakian, seperti larangan bagi perempuan yang datang bulan untuk mendaki dan pantangan membawa daging sapi. Biasanya orang dilarang mendaki tanpa membawa pemandu lokal.
Sebelum mendaki, ketiga mahasiswa itu berdoa di Pura Besakih, yang dianggap sebagai gerbang Gunung Agung.
Pura berusia ratusan tahun itu bertahan dari serangkaian letusan, termasuk letusan besar Gunung Agung tahun 1963 yang menewaskan sekitar 1.500 jiwa.
Agung menaruh aneka kembang ke dalam canang (anyaman janur) di pelataran pura. Kedua telapak tangan menyatu dan diangkat tinggi ke dahi, menyembah ke arah Besakih. ”Biar kita semua selamat dalam pendakian,” ujarnya.
Ketiga pemuda itu meyakini, pendakian ke Gunung Agung merupakan perjalanan suci. ”Di Puncak Gunung Agung ada Mahadewa dan tidak semua orang di Bali berkesempatan naik ke puncaknya,” ujar Agung.
Pendakian ke Gunung Agung merupakan perjalanan suci.
Beberapa kali dalam setahun, gunung itu ditutup untuk pendakian umum. Terakhir, pada Maret-April 2011, gunung itu ditutup 23 hari selama ritual Karya Betara Turun Kabeh. Dalam ritual itu pula warga melarung hewan kurban (pakelem) di puncak Gunung Agung.
Sikap takzim itu ditunjukkan ketiga mahasiswa tersebut selama pendakian. Mereka berdoa di setiap pura yang dilalui.
Rochtri mengatakan, penghormatan masyarakat Bali terhadap gunung telah lama terjadi. Itu tecermin dari keberadaan pemujaan berciri megalitik berupa batu-batu besar atau arca di gunung-gunung di pulau ini, antara lain di Gunung Batur dan Watu Karu.
Kedatangan Majapahit ke Bali tahun 1343 menguatkan penghormatan terhadap gunung itu. Seperti disebutkan David J Stuart-Fox dalam bukunya, Pura Besakih; Pura, Agama, dan Masyarakat Bali (2010), ”Dalam kepercayaan Majapahit-Jawa, gunung sebagai lokus dewata berperan penting.”
Dalem Kresna Kepakisan, penguasa pertama yang ditunjuk Majapahit di Bali, menguatkan posisi Gunung Agung sebagai pusat orientasi spiritual. Dia membangun banyak tempat pemujaan di Besakih.
Dalem Kresna Kepakisan digantikan putranya, Dalem Samprangan. Namun, penguasa baru ini dianggap gagal dan digantikan adiknya, Dalem Ketut Ngulesir, yang memindahkan ibu kota kerajaan dari Samprangan ke Gelgel. Pada masa Gelgel inilah peran Besakih sebagai pura jagat dan puncak hierarki menguat.
Dalam Babad Dalem, Ketut Ngulesir dianggap sukses, ”suasana damai menyelimuti seluruh negara”. Kesuksesan itu disebut berkat Ngulesir mampu menjalin harmoni dengan Hyang Tolangkir, penguasa Gunung Agung.
Menjaga gunung
Selepas Pura Besakih, pepohonan kian lebat. Hamparan bunga puspa (Schima wallichii) melapisi jalan setapak yang basah. Guguran bunga berkelopak putih itu melayangkan ingatan pada ucapan budayawan Bali, Cok Sawitri, ”Dalam Arjuna Wiwaha disebut tentang puspa warta yang berarti hujan bunga, perlambang Dewa merestui tapa sang arjuna.”
Di ketinggian 1.220 meter, tajuk cemara merapat. Jalanan beralas pasir dan kerikil licin. Matahari terhalang tajuk hutan. Kabut mengisi ruang di antara pepohonan, menghadirkan suasana mistis. Semakin menanjak, hutan kian padat.
”Orang Bali tidak berani sembarangan ambil tanaman atau hewan dari Gunung Agung, takut terkena petaka,” ujar Agung.
Orang Bali tidak berani sembarangan ambil tanaman atau hewan dari Gunung Agung.
Antropolog dari Universitas Udayana, Ida Bagus Gede Puja Astawa, mengatakan, rasionalitas konservasi dalam masyarakat Bali terbalut selubung budaya. ”Mereka hanya menyebutkan pantangan untuk tidak merusak dan mengganggu ekosistem gunung,” kata Astawa.
Sikap itu erat dengan konsepsi spiritual yang menyebutkan gunung ibarat kepala manusia. Dalam penghayatan masyarakat Bali kuno, kepala adalah organ tersuci dan terpenting. Gunung disucikan seperti layaknya menghormati kepala.
Kepercayaan merawat pepohonan itu ikut melestarikan sumber air, salah satunya tirta suci Giri Kusuma. Air itu menetes dari cerukan tebing kecil yang dikelilingi pepohonan. Berada di ketinggian 2.062 mdpl, mata air itu merupakan yang tertinggi di Gunung Agung.
Langit mulai gelap saat kami meninggalkan mata air. Perjalanan hari itu berakhir di batas vegetasi. Di dataran sempit, kami mendirikan tenda.
Sekitar pukul 03.00, kami mulai mendaki menuju Puncak Agung. Perlahan kami merayapi batuan terjal. Setelah dua jam pendakian dan berkali-kali terkecoh ”puncak bayangan”, kami akhirnya tiba di titik tertinggi Pulau Bali. Beberapa batang dupa tertancap di bebatuan yang disusun di puncak itu.
Inilah Puncak Agung. Negeri di atas awan, tempat dewa-dewa dipercaya mengamati pemujanya.
(INDIRA PERMANASARI/ AHMAD ARIF/ AGUNG SETYAHADI/ AGUSTINUS HANDOKO)