GUGATAN disuarakan lantang, tetapi faktanya citra Bali sebagai sejumput surga yang tersisa tetap lestari. Sebab, citra itu terus direpoduksi demi memutar roda ekonomi industri pariwisata. Tengoklah, iklan-iklan pariwisata Bali yang dibuat Pemerintah Indonesia. Sebagian masih menggunakan simbol-simbol lama: pantai indah, suasana desa, dan sosok perempuan Bali nan cantik meski kali ini tidak lagi bertelanjang dada.
Citra semacam itu masih ampuh untuk mendatangkan turis, bahkan hingga jutaan orang per tahun. Tahun 1985 ketika industri wisata Bali mulai digenjot, jumlah turis asing yang datang ke sana sekitar 211.000 orang. Tahun 1994 ketika sebagian fasilitas pendukung wisata rampung dibuat, turis yang masuk ke Bali menembus 1 juta orang. Tahun 2010, turis asing di Bali sekitar 2,2 juta atau sepertiga dari 7 jutaan orang turis yang datang ke Indonesia.
Basil dalam lawar itu ternyata diterima masyarakat sehingga jadi produk akulturasi. Di sini perbedaan dirayakan
Untuk memenuhi kebutuhan turis, pemerintahan Orde Baru atas bantuan konsultan asing mengembangkan sejumlah hotel, resor, dan fasilitas pendukung lainnya, seperti bandar udara, sejak tahun 1970-an. Lokasi utama yang dikembangkan adalah daerah di pinggir laut dan dekat bandara, seperti Nusa Dua, Sanur, Denpasar, dan Kuta. Pada saat yang sama, masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi wisata atas prakarsanya sendiri menyulap kediamannya menjadi penginapan turis.
Masyarakat juga membuka warung makan dan restoran yang hidangannya disesuaikan dengan cita rasa turis. Daerah di sepanjang Jimbaran yang tadinya desa nelayan miskin berubah menjadi pusat kuliner tepi pantai yang ramai nyaris setiap malam. ”Ini sesuatu yang normal sebagai konsekuensi keterbukaan,” ujar Konsul Italia Pino Confessa yang tinggal di Bali sejak 1980-an.
Adaptasi cita rasa asing, lanjut Pino, mendorong akulturasi lewat makanan. Prosesnya berjalan dua arah. Orang asing menerima cita rasa masakan Bali, orang Bali menyerap cita rasa orang asing. Ia mencontohkan, ada orang asing bernama Meyer membawa daun basil (semacam kemangi) yang digunakan pada masakan Eropa. Lalu dia memasukkan daun basil tersebut ke dalam lawar buatan sebuah banjar di Karangasem. ”Basil dalam lawar itu ternyata diterima masyarakat sehingga jadi produk akulturasi. Di sini perbedaan dirayakan,” tambahnya.
Pembaratan
Hiruk-pikuk industri pariwisata bukannya tidak mengandung masalah. Kedatangan turis-turis asing dikhawatirkan memicu pembaratan kebudayaan Bali yang telanjur dicitrakan sebagai pulau tanpa polusi pengaruh asing. Jika itu terjadi, dewa-dewa akan segera ”terusir” dari surganya. Meski ada pula yang berpendapat sebaliknya: serangan pengaruh asing justru akan memperkuat kebudayaan Bali.
Perdebatan itu demikian serunya sehingga dimanfaatkan oleh perusahaan pariwisata untuk mendorong turis segera datang ke Bali sebelum terlambat. Iklannya berbunyi: ”Bergegaslah ke Bali, siapa tahu sepuluh tahun lagi (Bali) mungkin sudah dicemari modernisme” (M Picard).
Perdebatan itu terus berlanjut dan memuncak terutama jika menyangkut agama. Yang paling dikecam adalah pencemaran pura oleh ketidaksucian, seperti perempuan haid, penyalahgunaan benda sakral sebagai ornamen hotel, pencurian benda-benda keagamaan hingga komersialisasi tarian ritual. Tari pendet yang biasanya dipersembahkan kepada dewa, misalnya, ditarikan untuk menyambut wisatawan di bandara dan hotel.
Hal itu juga terjadi di ranah kuliner. Bebek yang biasanya digunakan untuk persembahan kepada dewa dalam ritual suci, misalnya, kini dihidangkan di restoran untuk siapa saja. Banyak pula makanan yang kehilangan kesakralannya karena dibuat di luar konteks ritual atau minus persembahan.
Perdebatan-perdebatan di atas mendorong banyak pihak untuk membuat kategori mana yang sakral, mana yang profan. Mana yang menjadi wilayah ritual, mana yang masuk wilayah hiburan. Di bidang tari, respons yang muncul adalah penciptaan tarian khusus untuk menghibur turis yang disebut balih-balihan, seperti manukrawa, jenis-jenis tari legong, serta banyak tari yang diciptakan oleh para seniman sekolahan.
Bebek yang biasanya digunakan untuk persembahan kepada dewa dalam ritual suci, misalnya, kini dihidangkan di restoran untuk siapa saja.
Pengategorian juga dilakukan di ranah kuliner, mana makanan untuk persembahan kepada dewa, mana makanan yang bisa jadi suguhan untuk tamu termasuk turis. Namun, pengategorian itu lebih menyangkut pada tata cara pengolahan dan penyajian, bukan penggolongan jenis makanan persembahan dan suguhan berdasarkan jenis makanannya. Lembaga yang pernah membuat pengategorian makanan Bali antara lain Universitas Udayana bekerja sama dengan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1986.
Perdebatan soal sakral dan profan tampaknya tidak akan berhenti dengan perumusan kategori-kategori. Sebab, di lapangan kategori-kategori itu sulit diterapkan. Upacara ritual dan tontonan telanjur campur aduk, nyaris tanpa batas.
Acharyananda menjelaskan, semua sarana yang digunakan untuk ritual, mulai tarian sampai makanan, secara teologi merupakan materialisasi ide-ide ketuhanan. Dengan demikian, sarana itu mengandung ide dan simbol-simbol. Namun, dampak dari materialisasi ide-ide ketuhanan rentan praktik desakralisasi. ”Yang awalnya sakral bisa berubah tidak sakral karena komodifikasi. Makanan persembahan untuk dewa, misalnya, ketika diperjualbelikan dia menjadi komoditas pemuas lidah, apalagi jika prosesnya tidak dikerjakan orang Hindu,” ujarnya.
Praktik desakralisasi itu, kata Acharyananda, hampir tak terhindarkan karena kehidupan masyarakat Bali makin terbuka. Yang harus dijaga sekarang tinggal aspek spiritual pada diri masing-masing. Itulah bentengnya!
Senada dengan Acharyananda, Geriya berpendapat pergeseran makna simbolik yang terkandung dalam sarana-sarana upacara, termasuk makanan akan terus berjalan. Sekat-sekat kategori sakral-profan, ritual-tontonan, makanan persembahan-makanan suguhan dan lain-lain akan terus mengalami interpretasi ulang karena masyarakat terus bergerak.
Dalam konteks itu, makanan merupakan arena paling terbuka untuk diinterpretasikan ulang. Betapa tidak, di zaman sekarang makan dan makanan dirayakan masyarakat urban di mana pun mereka berada. Orang asing ingin mencicipi makanan Bali, begitu pula sebaliknya. Generasi Bali yang lebih urban kini cenderung berdiri di dua kaki, yakni di dunia lokal dan dunia global. Lidahnya bisa mencecap lawar sekaligus burger McDonald’s. Makanan yang dikonsumsi jadi sangat beragam, begitu pula makanan yang dipersembahkan kepada dewata.
Kini, kita sangat mudah menemukan makanan dan minuman olahan pabrik, seperti wafer, Yakult, jus Ale-ale, teh kotak di dalam sesajen yang dipersembahkan pada dewa di pura-pura. Makanan pabrik itu bersanding dengan kue-kue tradisional buatan ibu-ibu Bali yang variasi rasa dan bentuknya sarat dengan simbol. Lawar juga bersanding dengan daging mentah kemasan supermarket yang masih ditempeli label harga.
Rasanya tinggal menunggu waktu ayam goreng KFC, burger McDonald’s, dan Coca-Cola masuk dalam sajen persembahan untuk dewata. Mungkin tak lama….
(Budi Suwarna/ Aryo Wisanggeni Gentong/ Benny Dwi Koestanto/ Putu Fajar Arcana/ Bey julianery/ Arjendro Darpito/ Myrna Ratna M/ Frans Sartono)