JIKA pengaruh India dalam kuliner Aceh memang tak terbantahkan lagi akibat hubungan dagang yang panjang di masa lalu, bagaimana dengan perang panjang yang menempa Aceh? Adakah jejaknya dalam kuliner mereka?
”Pengaruhnya jelas sekali,” kata Reza Idria, antropolog dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry, Aceh. ”Perang tidak hanya berpengaruh terhadap jenis makanan, tetapi juga sikap dan cara makan.”
Sikap itu terekam dalam ungkapan pajoh laju, prang-prang kalehbu (makan dulu, kalaupun perang kita sudah kenyang) yang sangat populer di Aceh. ”Ungkapan itu pasti lahir dari pengalaman panjang semasa perang,” kata Reza.
Azhar Abdurrahman, mantan Sekretaris (Arakata) Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Meureuhom Daya yang kini menjabat Bupati Aceh Jaya, merasakan betul tuah ungkapan itu. Suatu ketika, ia menyusup ke dapur rumahnya tepat saat azan maghrib berkumandang. Sang istri segera menyiapkan makanan dan berkata, ”Pajoh laju prang-prang kalehbu.”
Sikap itu terekam dalam ungkapan pajoh laju, prang-prang kalehbu (makan dulu, kalaupun perang kita sudah kenyang) yang sangat populer di Aceh.
Azhar segera mengikuti saran istrinya. Di suapan terakhir, tiba-tiba ia melihat pasukan lawan berkelebat di balik pintu. Ia melirik jendela yang terbuka dan secepat kijang melompatinya. Azhar berlari sekencang mungkin ke dalam hutan dan bersembunyi untuk menghindari kejaran. Hingga malam esok harinya, ia baru bisa makan lagi. ”Bayangkan kalau saya tidak sempat makan, bisa kelaparan,” ujar Azhar yang bergerilya sejak 2003-2005.
Pengalaman nyaris serupa dialami Fauzan Azima, mantan Panglima GAM Wilayah Linge, Gayo Lues, Alas, dan Tanah Karo. Suatu hari, Fauzan dan lima rekan sesama tentara GAM bertemu di dalam hutan. Pengalaman mengajarkan, setiap ada kesempatan mereka harus makan. ”Di Gayo, kami menyebutnya dengan istilah, ike terjadi sesanah kite nge mangan, yang artinya sama dengan pajoh lajo prang-prang kalehbu,” kata Fauzan.
Begitu selesai makan, tiba-tiba mereka diserbu pasukan lawan. Tiga teman Fauzan tewas tertembak dan seorang tertangkap. Fauzan dan seorang teman lagi berhasil melarikan diri. Mereka masuk ke hutan dengan arah berbeda. Selama satu bulan bersembunyi di hutan, Fauzan hanya bisa makan dua kilogram gula merah yang tersisa di tasnya. ”Selain gula, saya cuma makan kura-kura yang saya temukan di hutan,” ujarnya.
Fauzan yang bergerilya dari 1999 hingga 2005 kini menikmati masa damai. Ia bisa menyeruput kopi di kedai sambil berpikir bagaimana menata masa depan keluarga lewat perkebunan kopi. Masa-masa perang tinggal kisah yang tertanam dalam kenangan, termasuk gaya makan yang serba cepat. ”Perang menuntut kita untuk selalu siaga. Dan, itu memengaruhi cara kita makan,” tutur Fauzan.
TAK hanya memengaruhi cara makan, perang juga berpengaruh terhadap menu makanan dan bagaimana menyiapkannya.
Untuk menandai tentara GAM yang baru turun gunung, lanjut Fauzan, sebenarnya bisa diperhatikan dari cara makannya yang sangat cepat. Dalam dua menit, makanan disantap sampai tak bersisa. Mereka juga selalu mencengkeram sisi piring agar tidak mudah lepas jika ada guncangan. Kebiasaan itu terbawa di masa damai dan menjadi gaya makan orang Aceh secara umum.
Sejarah perang panjang membuat kebiasaan makan cepat menjadi semacam tuntutan sosial. ”Orang Aceh yang makan lambat sering diolok-olok sebagai orang yang tidak sanggup perang,” kata Azhar.
TAK hanya memengaruhi cara makan, perang juga berpengaruh terhadap menu makanan dan bagaimana menyiapkannya. Azhar mengatakan, tentara GAM yang beroperasi di wilayah Lhong sampai Arongan biasa membuat marhaban, yakni camilan dari labu, beras, dan gula yang direbus bersama. Setelah matang, adonan itu dilabur kapur lalu dijemur. ”Rasanya seperti kurma dan bisa disimpan lama,” katanya.
Jika punya kesempatan menyusup ke kampung, Azhar biasanya mencari ikan keumamah yang bisa tahan hingga berbulan-bulan. Dalam situasi darurat, Azhar kerap memakan keumamah tanpa dimasak. Di warung-warung makan di seantero Aceh, keumamah biasa ditumis, dimasak gulai, atau jadi campuran sambal. Rasanya gurih.
Meski nikmat, Rahman—mantan petinggi GAM yang namanya minta disamarkan—enggan menyantap keumamah selama bergerilya. ”Kalau makan keumamah, gigi bisa sakit karena kami jarang gosok gigi,” ujar Rahman. ”Kalaupun di masak, baunya bisa tercium hingga jauh.”
Rahman memilih membawa sie reboh atau daging yang direbus bersama cuka aren atau air jeruk. Setelah matang, daging disimpan dalam kuali tanah. Dengan cara itu, sie reboh bisa bertahan satu tahun. Di warung makan, sie reboh biasanya dimasak dengan rempah dan cabai. Rasanya gurih dan asam. ”Saat gerilya, sie reboh cukup diiris tipis dan langsung dimakan,” kata Rahman.
Menurut Reza Idria, sie reboh merupakan teknik pengawetan daging yang telah lama dikenal orang-orang Aceh Besar. ”Sie reboh biasa dibuat menjelang hari meugang, menjelang bulan puasa. Tetapi, sie reboh juga menjadi bekal perang sejak zaman dulu,” katanya.
Selain sie reboh, tentara GAM yang beroperasi di antara perkampungan dan hutan biasanya juga mengonsumsi nasi yang dimasak bersama ampas minyak kelapa, lalu ditabur ikan teri, setengah potong telur balado, kelapa gongseng, dan kacang tanah. Nasi ini kemudian dibungkus dalam porsi kecil dengan daun pisang. Karena sering dibawa sebagai bekal perang, nasi bungkus ini dijuluki ”bu prang” atau nasi perang. Rasanya gurih seperti rasa nasi lemak. Bu prang bisa bertahan selama dua hari.
Di daerah Gayo, tentara GAM biasanya mengonsumsi janing—umbi tanaman rambat yang tumbuh di pinggir sungai. Umbi itu beracun hingga babi hutan pun enggan menyantapnya. ”Saya pernah juga keracunan janing. Kepala pusing dan pohon-pohon terlihat membesar,” kata Fauzan Azima.
Agar tidak keracunan, janing harus diolah terlebih dahulu. Kulit janing dikupas lalu diberi kapur dan direndam di air mengalir selama tiga hari. Setelah itu, janing bisa dikeringkan. ”Janing ada di hampir semua tas tentara GAM yang ada di Gayo,” ujar Fauzan.
Karena pembuatannya cukup lama, setiap kali situasi aman, anggota GAM langsung membuat janing. Bahan bakunya melimpah di pinggir sungai. Setiap ditebang, dia akan tumbuh lagi. ”Karena itu, kami biasanya memilih tempat sembunyi di sekitar sungai yang banyak janing-nya,” ujar Fauzan.
”Makanan untuk perang itu mesti instan. Kalau perlu bisa langsung dimakan tanpa dimasak,” ujar Rahman yang juga pelatih pasukan GAM.
Perang panjang membuat orang Aceh belajar menyiasati keadaan agar bisa bertahan. Mereka menciptakan jenis-jenis kuliner yang cocok sebagai bekal perang atau setidaknya menyeleksi mana makanan yang bisa dibawa perang dan bagaimana memperolehnya. ”Makanan untuk perang itu mesti instan. Kalau perlu bisa langsung dimakan tanpa dimasak,” ujar Rahman yang juga pelatih pasukan GAM.
Pada saat yang sama, mereka belajar memilah makanan yang dilarang dimasak saat perang. Cara memasak pun ada aturannya. Fauzan selalu memilih ranting kayu bulak angin yang tidak mengeluarkan asap dan tidak berbau.
Yang jelas, pasukan GAM tidak akan memasak ketika sedang dikejar musuh. Pasalnya, kegiatan memasak akan meninggalkan jejak berupa asap, bau, dan bekas pembakaran. ”Saat di hutan, berjalan pun harus mundur demi mengecoh lawan,” kata Azhar.
Dari mana mereka belajar itu semua? ”Perang itu warisan. Orang Aceh punya pengalaman perang sejak zaman Belanda, Jepang, DI TII, dan semasa konflik. Tak hanya taktik gerilya yang diwariskan, tetapi juga makanannya,” ujar Azhar.
Namun, di antara segenap kesusahan untuk menyiapkan bekal selama perang, menurut Fauzan, kenduri tetap digelar. ”Mau menggunakan senjata baru pun ada kendurinya. Mau operasi ada kendurinya. Mau buka markas baru ada kendurinya,” katanya. ”Makanan yang harus ada saat kenduri itu adalah pisang tiga, telur kampung, dan bertih (ketan yang digongseng).”
Berbeda dengan Gayo yang bersahaja, bagi pasukan GAM di pesisir, kenduri tetap tidak lengkap jika tidak ada kari. ”Saat umur anak saya 40 hari, saya turun ke kampung buat kenduri. Masak kari juga,” kata Azhar.
Semasa perang, Azhar dan pasukannya mendirikan markas di dalam hutan yang bisa dicapai 2-3 hari perjalanan dari kampung. Di markas itu ada 80 pondok yang rata-rata dihuni empat orang untuk satu pondok. Bahan makanan penghuni markas dipasok langsung dari kampung.
”Kami mendapatkan beras, biji-bijian, garam, gula, kopi, rokok, sampai daging sapi dari keluarga, kerabat, dan kenalan di kampung-kampung di pinggir hutan. Bahkan, kami bisa mendapatkan genset, printer, komputer, dan telepon satelit,” tutur Azhar.
Kehidupan relatif berjalan normal di markas meski makanan tetap saja terbatas. Itulah yang membuat Azhar berani membawa istrinya tinggal di hutan. Ketika istrinya hamil besar, Azhar membawanya turun ke kampung untuk melahirkan. Setelah kenduri, Azhar membawa istri dan bayinya kembali ke dalam hutan.
Untuk mengantisipasi serangan, Azhar menyembunyikan bahan makanan di pondok-pondok darurat di tengah hutan. Biasanya, bahan makanan dimasukkan ke dalam botol-botol minuman dan ditanam di tanah. Ketika diperlukan, bahan makanan itu tinggal digali.
Selama pasokan bahan makanan dari kampung-kampung di pinggir hutan lancar, Azhar menegaskan, 100 tahun berperang pun sanggup. Apalagi, jika pasokan kari kambing dari kampung ke hutan berlangsung lancar yang menandakan adanya dukungan warga.
Kami pun teringat dengan pengalaman saat dijamu pasukan GAM di kawasan Aceh Timur, beberapa saat sebelum perjanjian damai, pertengahan 2005. Setelah berjalan kaki dengan mata ditutup, kami tiba di pondokan kecil di tepi hutan. Dan begitu duduk, kami segera dijamu kare kameng yang masih hangat. Kari kambing itu telah menjadi semacam alat politik untuk menggambarkan betapa mereka yang berada di hutan berkelimpahan logistik.
Propaganda serupa telah dilakukan sultan-sultan Aceh kala menjamu para pendatang dari Barat. Anthony Reid (2005) menuliskan, ketika menjamu utusan Belanda, Thomas Best, Sultan Iskandar Muda (1607-1636) menyuguhkan paling tidak 400 jenis makanan dan minuman yang cukup untuk menjamu ratusan prajurit.
Namun, dari segenap ironi di Aceh, para pendatang dari Barat mengakui tentang kemegahan kenduri dan legitnya makanan Aceh.
Padahal, masyarakat Aceh saat itu, menurut Denys Lombard (1991), mengalami krisis beras karena nyaris seluruh tenaga rakyat terserap untuk menanam lada dan sebagian lagi menjadi pasukan Sultan. ”Semua penjelajah Eropa menegaskan bahwa beras (di Aceh) jarang ada dan mahal,” kata Lombard. Dia mengutip catatan perjalanan James Lancaster ke Aceh pada 1602: ”Beras didatangkan dari tempat lain….” Dan berdasarkan catatan Beaulieu, kira-kira 20 tahun kemudian, beras yang ”didatangkan dari Pidir (Pidie) dan dari Daya tidak memadai, maka diadakan pengiriman lewat laut dari Semenanjung (Malaya).”
Namun, dari segenap ironi di Aceh, para pendatang dari Barat mengakui tentang kemegahan kenduri dan legitnya makanan Aceh. Bahkan, pasukan marsose Belanda yang pernah mengalami hidup mati saat berperang di Aceh memiliki kerinduan terhadap aneka kuliner Aceh. Untuk menarik para mantan anggota pasukan agar datang dalam ulang tahun ke-40 Korps Marsose Aceh yang digelar di kamar bola De Witte di Gravenhage, Belanda, pada 2 April 1930, panitia menyebar undangan yang diberi judul ”Kandoeri Rajeu” atau kenduri besar.
Dalam undangan disebutkan aneka jenis makanan khas Pidie, Bakongan, Takengon, dan Meulaboh yang mereka santap kala perang. Rupanya para serdadu Belanda itu rindu masakan Aceh, terutama kari yang membuat nagih. Jangan-jangan mereka pun sudah terkena bakung Aceh yang sohor itu….
(Ahmad Arif/ Budi Suwarna/ Aryo Wisanggeni Gentong/ Aufrida Wismi Warastri/ Umi Kulsum/ Myrna Ratna/ Frans Sartono/ Putu Fajar Arcana)