DIA TELAH MENJUAL SELURUH MILIKNYA
WILLIAM Michael Carr (46) bisa disebut sangat kukuh untuk mewujudkan gagasannya yang mirip mimpi. Mulanya adalah acara Ring of Fire yang ditayangkan teve Inggris. Acara itu menayangkan berbagai ragam perahu tradisional dari seluruh penjuru dunia. Dan perahu yang paling memikat hati mantan pelaut profesional berkebangsaan Inggris ini adalah pinisi, perahu tradisional Bugis berciri dua tiang dengan tujuh layar. Dia pun mulai bermimpi ingin mengarungi samudera dengan menggunakan perahu itu. Jalur pilihannya adalah Ujungpandang (sebagai tempat asal perahu pinisi) dengan tujuan ke Madagaskar, di sebelah timur benua Afrika.
Michael pun kemudian berunding dengan istrinya Ann (45), untuk mewujudkan impiannya. Mulailah pasangan suami-istri ini menjual harta yang sudah dengan susah payah mereka kumpulkan. Mula-mula sebuah restoran mereka jual, dan uangnya kemudian digunakan untuk meneliti perahu-perahu tradisional di berbagai museum dan perpustakaan di Eropa, termasuk juga meneliti lintasan sejarah pelayaran perahu pinisi. Dari hasil studinya inilah tekad Michael semakin menyala, dan memutuskan berangkat ke Indonesia untuk membuat perahu tradisional pinisi.
Biaya untuk ke Indonesia, diperoleh pasangan suami-istri itu dengan menjual rumah dan mobil serta harta benda lainnya. Sejak itu, praktis tak ada lagi harta yang dimiliki karena hampir seluruhnya sudah ludes terjual. Yang tinggal hanya dua kopor berisi pakaian, dan tekad yang terus berkobar untuk membuat sebentuk mimpi itu menjadi nyata. Dan sejak Oktober tahun lalu, Michael serta istrinya “terdampar” di Tanaberu, tempat dia memesan sebuah perahu pinisi dari Ahmad Nur, penduduk asli Tanaberu yang memang dikenal sebagai pembuat perahu.
Akhir tahun lalu, perahu pinisi pesanan Michael itu mulai dikerjakan, dan tujuh bulan berikutnya sudah rampung sesuai dengan keinginan. Panjang perahu sekitar 17 meter, dengan lebar 4,5 meter, perahu yang kemudian diberi nama “Ammana Gappa” itu ramping namun gagah dan seakan-akan menyatakan siap untuk mewujudkan mimpi Michael, mengarungi samudera hingga ke Madagaskar.
Seluruh proses pembuatan perahu itu dilakukan secara manual, dengan bahan-bahan kayu terpilih. Dilakukan hanya oleh empat orang pembuat perahu yakni seorang tukang berpengalaman dibantu tiga orang keponakannya, presisi dan akurasinya ternyata sesuai dengan yang diinginkan, terbukti ketika pertama kali diluncurkan ke laut tanggal 15 Juli lalu, disaksikan oleh sekitar 200 orang termasuk beberapa turis asing yang ikut menyemarakkan upacara peluncuran itu, perahu itu tidak miring ke kiri atau ke kanan.
Hampir gagal
Seluruh pengorbanan Michael itu, hampir saja sia-sia. Baru empat bulan pembuatan perahu berlangsung, dia sudah kehabisan dana. Padahal, pengerjaan baru selesai sekitar 75 persen. Namun nasibnya sedang mujur, karena tiba-tiba saja ada pihak yang bersedia menjadi dewa penyelamat. Secara kebetulan saja, di saat-saat kritis itu salah seorang pejabat Blohm + Voss (sebuah perusahaan perkapalan di Hamburg, Jerman) sedang berada di Ujungpandang menghadiri salah satu acara tentang kemaritiman. Dan secara kebetulan pula, bertemu Michael.
“Saya ditanya, sedang apa di Tanaberu. Saya bilang sedang bikin perahu dan mau berlayar ke Madagaskar, namun kesulitan dana. Tiba- tiba saya langsung ditawari untuk bertemu dengan perwakilan Blohm + Voss di Jakarta. Saya sanggupi, padahal saat itu uang saya hanya pas-pasan untuk biaya tiket Ujungpandang-Jakarta,” papar Michael. Di Jakarta, Blohm + Voss mengundangnya bertemu sambil makan di salah satu hotel mewah. Dan di sanalah perusahaan perkapalan itu menyatakan kesediaannya mendanai kelanjutan pembangunan pinisi, sekaligus menanggung biaya ekspedisi.
Pejabat perwakilan Blohm + Voss, Uwe HJ Thomas, Dipl. Ing. sendiri, ketika ditanya tentang alasannya membantu proyek ini hanya mengatakan ada kesamaan antara Tanaberu dengan negerinya, khususnya Hamburg, tempat induk perusahaannya berada. “Kedua tempat itu sama- sama kota maritim. Hanya saja, kalau Hamburg memproduksi kapal-kapal besar, di Tanaberu mengerjakan perahu-perahu, ” ujar Thomas seraya menambahkan bahwa dia sendiri juga merasa kagum dengan sejarah bahari bangsa Indonesia.
Berapa besar dana yang sudah dihabiskan untuk pembuatan pinisi ini, belum bisa diketahui. Sebab, untuk mendapatkan kayu terpilih saja, harus tersedia bahan bakunya sebanyak sekitar 4 kali dari yang dibutuhkan. Sisa kayu yang tak terpakai ini nantinya akan dibuat menjadi perahu-perahu kecil, dan dijual kepada yang berminat. Dari sini baru bisa dihitung berapa dana yang dihabiskan. Namun, menurut beberapa keterangan, tidak kurang dari Rp 40 juta yang dibutuhkan untuk membuat perahu ini. Belum lagi jika ditambah dengan biaya yang dibutuhkan untuk pelayaran selama lebih 1,5 bulan menuju ke Madagaskar.
Selama proses pembuatan perahu itu pasangan suami istri Michael berhasil menjalin hubungan baik dengan penduduk Tanaberu. Kontrak pembuatan perahu misalnya, hanya berdasarkan rasa saling percaya antara Michael dengan sang “kontraktor” Ahmad Nur, mantan pelaut tradisional Bugis-Makassar yang kini hidup dari usahanya membuka warung makanan. Michael dan istrinya bahkan diberi satu kamar yang ada di warung makan itu, sebagai tempat menginap.
“Setiap pagi, jika saya membuka jendela, pemandangan pertama yang saya lihat adalah perahu pinisi yang tengah dikerjakan para tukang,” kata Michael. Tempat pembuatan perahu pinisi “Ammana Gappa” itu memang terletak persis di seberang warung makan tempat Michael menginap di Tanaberu, hanya beberapa meter saja dari laut.
Museum bahari
Michael tampaknya telah menjatuhkan pilihan yang tepat, membuat perahu untuk mewujudkan mimpinya itu di Tanaberu. Daerah yang termasuk dalam Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba (sekitar 170 km arah tenggara Ujungpandang) memang sejak lama dikenal sebagai pusat pembuatan perahu tradisional di Sulsel. Penduduk di sini berbahasa Konjo, salah satu dialek Makassar, sehingga mereka sering juga disebut sebagai masyarakat Konjo, yang tersebar di lima desa masing-masing Ara, Lemolemo, Marumasa, Bira, dan Tanaberu.
Uniknya, seolah-olah ada kesepakatan tidak tertulis mengenai pembagian kerja di antara masyarakat Konjo ini. Orang Ara misalnya, sejak ratusan tahun lalu sudah tersohor keahliannya dalam membuat perahu. Sedangkan orang Marumasa dan terutama lagi Bira, dikenal sebagai pelaut ulung. Dalam buku Sejarah Melayu tulisan Tun Srilanang yang terkenal, disebutkan pada abad ke-15 sekitar 200 perahu Makassar menyerang Malaka, dengan para pelaut yang berasal dari Bira.
Lain lagi dengan orang Lemolemo. Mereka tidak dikenal sebagai pembuat perahu ataupun pelaut ulung, seperti kedua desa tetangganya, melainkan lebih dikenal sebagai para juragan pemilik perahu. Mereka ini kebanyakan kaum saudagar yang menggunakan perahu sebagai sarana untuk berlayar. Hanya saja, sekarang ini pembuatan perahu sejak beberapa waktu lalu memang telah bergeser ke Tanaberu, disebabkan kian langkanya kayu sebagai bahan baku perahu di daerah Ara, sehingga galangan perahu (dalam bahasa setempat disebut bantilang) akhirnya berpindah ke Tanaberu.
“SAYA mencintai Sulsel, khususnya Tanaberu,” kata Michael. Karena itu pula, dia masih memendam satu niat lain, yakni ingin mendirikan sebuah museum bahari di daerah Sulsel. Jika ekspedisi Ujungpandang-Madagaskar ini berhasil dan selamat tiba kembali ke Indonesia, Michael segera akan mewujudkan cita-citanya ini. Yang terbayang dalam pikirannya saat ini adalah membangun sebuah museum bahari yang sifatnya sebagai living museum, di mana ada sebuah dermaga yang cukup luas tempat bersandarnya berjenis-jenis perahu tradisional dari berbagai daerah di Nusantara.
Di lokasi yang sama, juga disediakan tempat bagi para perajin perahu untuk membuat perahu-perahu tradisional itu. Museum ini, laiknya dikelola secara profesional, seperti museum sejenis yang banyak terdapat di berbagai negara lain dengan sejarah maritim yang mirip dengan Indonesia. Para turis nantinya dapat pula menikmati wisata bahari menggunakan perahu-perahu tradisional yang ada di sana.
Di mana lokasi persisnya museum bahari ini, Michael belum berani banyak berkomentar. Semua masih tergantung dari ketersediaan lahan dan tentu saja sejumlah dana yang tidak kecil. Untuk lahan, mungkin tidak terlalu menjadi persoalan. *** (Fahmy Myala/Arya Gunawan)