Ekspedisi Barito-Muller-Mahakam Kompas
MENJEJAK BENTENG AKHIR BUDAYA DAYAK
Oleh: Rudy Badil
Awal mulanya ada karena rasa mau tahu. Apa saja yang tersisa dari hutan dan tanah Kalimantan, setelah bertahun-tahun dikuras dan dikorek habis, juga sudah hancur-hancuran ditebang dan ditambang segala sumber daya alamnya.
Rasa mau tahu itu akhirnya mendapat jawaban: bikin ekspedisi kecil-kecilan! Meski selalu dicurigai sebagai petugas pemilihan kepala daerah atau surveyor bahan tambang dan mata-mata perusahaan kayu, tim ekspedisi yang 15 orang ini akhirnya menemukan bahwa daerah sekitar Barito-Muller-Mahakam memang masih menjadi bentengnya hutan dan budaya Dayak.
Beberapa hari sebelum ekspedisi berlangsung dari 17 Juni sampai 2 Juli lalu, tim survei ekspedisi dua pekan sebelumnya sudah melintas rute yang akan dilalui, sambil mencari data lapangan untuk segala persiapan ekspedisi nanti. Di ujung-ujung Sungai Murung yang anaknya Sungai Barito, di Kampung Tumbang Topus, tim survei sudah mendapat percobaan dari penduduk pria dari perkampungan Dayak yang dimukimi aneka suku Dayak di pehuluan itu.
“Kami orang Punan! Mau ketemu Dayak Punan Kaki Merah? Mau lihat kuburan leluhur kami yang besar-besar? Hati-hati di hutan, jaga keselamatan diri! Adat menentukan bayaran sehari kerja Rp 350.000. Itu putusan adat! Turun naik di Batu Ayau harus kami yang urus. Kalau tidak, berbahaya! Mau cari badak, cari banteng, atau cari sarang burung walet?”
Masih segumpal pernyataan yang menjadi pertanyaan, apakah sesangar itu kehidupan orang Dayak di Kalimantan. Untuk itulah Marko Mahin, ahli antropologi dan pemimpin lembaga studi Dayak, sebagai oloh Ngaju atau orang Ngaju, tanpa memikirkan kesibukan rutin di Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis dan hari ulang tahun anaknya, segera masuk dalam tim tanpa tanya-tanya dapat honorarium atau tidak.
Marko berniat besar meneliti kehidupan suku-suku Dayak di pehuluan Barito-Mahakam, sambil mereferensi dirinya selaku pemuda Ngaju yang hidup di Banjarmasin. “Isu orang Punan amat menarik!” katanya.
Begitu pun dengan Setia Budhi. Dosen dan antropolog Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, ini kontan bergabung dengan tim untuk melacak jalur migrasi kelompok Dayak Bakumpai.
“Orang Bakumpai itu masih serumpun dengan etnis Dayak lainnya di Barito. Itu fakta budaya. Sejarah pun menyebutkan adanya migrasi dan persebaran Dayak Bakumpai hingga ke Mahakam melalui jalur Pegunungan Muller, lewat Batu Ayau yang ada kaitannya dengan budaya ayau atau mengayau, memenggal kepala manusia,” ujar Budhi.
Pernah makan beruang
Begitu pun dengan rombongan tiga peneliti ekologi dan konservasi hutan Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, mau-maunya bergabung dengan tim ekspedisi meski belum jelas sasaran penelitian lapangannya. Sebagai pakar ornitologi dan avifauna, Chandradewana Boer selalu membawa teropong dan siap bangun pagi-pagi.
“Nanti Rustam Fahmy akan memasang kamera jebakan untuk memotret mamalia besar. Siapa tahu kejepret foto badak,” katanya berharap- harap tanpa siap menerima kenyataan kalau kamera itu berhasil menjepret foto dua satwa liar langka Indonesia.
Juga Emi Purwanti dari Laboratorium Konservasi Tanah dan Air Unmul. Ia rela melewati dua kali malam minggunya di hutan Barito- Mahakam tanpa merasa risi menjadi satu-satunya perempuan di antara belasan lelaki termasuk empat wartawan Kompas.
Malah tim satwa liar dan konservasi ini pernah mendapat pengalaman mengejutkan saat mengunjungi sekolah dasar (SD) lokal di Tumbang Topus. Sebagai pencarian fakta lapangan, Rustam Fahmy dari Laboratorium Ekologi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Unmul selalu membawa-bawa gambar mamalia besar, termasuk badak, banteng, beruang madu, dan lainnya.
Dengan telaten pemuda itu memperlihatkan beberapa gambar seraya bertanya, “Pernah melihat binatang macam ini?” Saat tim Unmul memperlihatkan gambar beruang atau beruang madu, kontan ada anak SD angkat tangan dan berkata, “Saya pernah makan dagingnya!”
Urusan makan-memakan, logistik, dan peralatan perjalanan, itu urusan tim pendukung Yayasan Meratus Hijau dari Kandangan, Kalimantan Selatan, yakni Samsu Ancu Kandangan, Abdul Wahid Kandangan, Amat Lhoksado, dan Muhammad Rif’at. Juga bantuan Ajani yang pandai memasak, hingga hidangan hangatnya selalu hanya ada dua pilihan: enak dan sangat enak!
Rekan pendukung inilah yang menjadi andalan tim ekspedisi karena kepiawaian mereka mengatur perjalanan, termasuk membuka hutan, memasang alat bantu saat turun tebing Batu Ayau, juga mengatur porter dan angkutan sungai dan darat. Malah saat turun tebing nyaris tegak lurus, Ajani jatuh terperosok ke bawah sejauh enam meter dari 200-an meter. Untung tersangkut dan tidak apa-apa, kecuali sedikit memar dan pegal linu badan dan jantungan.
Berkat kehadiran lima pemuda pencinta alam yang berlatar belakang profesi macam-macam ini, perjalanan tim ekspedisi dan tim survei sungguh lancar dan nyaris tanpa gangguan. Kecuali, sempat kena denda adat atau jipen karena tim kecil kebetulan tidak tahu soal adanya acara adat. Atau tidak sadar kalau terjebak akal-akalan warga setempat memanfaatkan aturan adat demi denda atau jipen uang kontan.
Ikut sertanya lima anak muda yang terlatih masuk dan keluar hutan paling tidak bikin gede nyali anggota tim lainnya ketika perahu ces menabrak batu dan bocor, atau saat perahu kayu “mendaki” riam air deras. Anggota ekspedisi pun berbesar semangat ketika anak-anak Kandangan itu piawai menjalin tali-temali serta membuat tangga dahan kayu di tegakan tebing. Pokoknya kehadiran Tim Meratus Hijau asyik punya!
Owa di ketinggian 1.600 meter
Akhirnya tim menemukan sisa hutan tropis primer di sekitar garis khatulistiwa. Tim peneliti Unmul sungguh seakan-akan menemukan kembali “habitat” baru sebagai laboratorium alam maharaya. Sayang dua kali sayang, rencana pemasangan kamera trap amat terganggu karena kehadiran porter asal Tumbang Topus yang selalu menyoren mandau, juga selalu membawa rombongan anjing pemburunya.
Rustam Fahmy agak frustrasi. Akhirnya memutuskan memasang kamera perangkap itu sendirian saja karena suara anjing pemburu dan baunya dikhawatirkan menakuti satwa liar yang mau dipotret. Akhirnya kamera Rustam tercatat enam kali memotret. Film negatif disimpan baik-baik, sambil memendam harapan “siapa tahu dapat gambar badak”.
Chandra Boer yang selalu paling pagi bangun tidurnya menganggap pengorbanannya tidak sia-sia. Catatannya penuh dengan nama-nama jenis burung berikut lokasi penemuan unggas itu. Alhasil, ada 110-an spesies burung masuk catatan lapangan Chandra.
“Yang menyenangkan, kami melihat dan mendengar kicauan burung cucakrowo, murai batu, dan kacer. Juga menyaksikan rangkong badak. Tapi, potret burung tokhtor sunda atau carpococcyc radiceus di Muller itu luar biasa. Itu burung langka dan kita punya fotonya!” katanya.
Selain itu, tim Unmul dengan teropongnya berhasil melihat sekeluarga owa bergelayut di ketinggian 1.600-an meter dari dahan ke dahan pepohonan, tanpa terganjal “pagar” tebing Pegunungan Muller.
“Owa hylobates muelleri biasanya di dataran rendah, kali ini di ketinggian sekitar 1.600-an meter. Ini catatan baru karena di Kinabalu Sabah tercatat terlihat di ketinggian 1.500-an meter saja,” kata Rustam.
Adapun untuk sasaran mamalia besar lainnya, tim hanya mendapat catatan bahwa di kamp PT Nusantara Plywood, katanya, pernah terbunuh seekor kahiyu alias orangutan (pongo pygmaeus), lokasinya di antara Puruk Cahu dan Tumbang Keramu. Sedangan untuk tomora atau badak (dicerorhinus sumatrensis) yang diincar-incar, Chandra cs hanya mendapat informasi lisan. Katanya mudah terlihat badak di savana Sungai Boh, Kalimantan Timur, bersama kawanan banteng atau sapi hutan.
Ada “benteng” lain
Sumber catatan yang amat terbatas membuat tim ekspedisi ini memakai metode dan teknik kerja gaya reporter lapangan. Artinya selalu mencari narasumber entah itu pelaku, saksi, atau sekadar penutur dan pembawa berita.
Sedangkan bagi tim antropologi, info awal itu dijadikan dulu sebagai indikator. Misalnya, isu “Dayak Punan Kaki Merah” yang akhirnya bisa disimpulkan bahwa itu hanya akal pelobi sekelompok Dayak di hulu sungai, membuat merah kulit kaki dan tubuhnya agar merah, sehingga ditakuti karena sebaran isu.
Marko Mahin, meski sudah bertubi-tubi mengejar fakta lapangan, sementara ini harus cukup puas bahwa dalam perjalanannya itu berhasil menemukan Dayak Punan Murung, berdasarkan pengakuan kelompok masyarakat itu sendiri. “Mereka sendiri tidak pernah bertemu langsung dengan Dayak Punan Kaki Merah. Kami pun mengutip nama kelompok itu sesuai pengakuan mereka sebagai Dayak Punan Murung,” tutur Marko.
Sedangkan Setia Budhi yang peneliti Dayak Bakumpai makin teguh dengan tesisnya soal migrasi Dayak Bakumpai ke Mahakam karena di Long Iram berhasil menemukan generasi ketiga atau keempat dari orang Bakumpai, perintis migrasi ke Mahakam karena gejolak keamanan, juga mengejar hidup lebih baik di “ladang emas” Long Iram.
Dari hasil perjalanan singkat tim ekspedisi kecil ini, anggota tim sepakat bahwa rombongan itu sempat menjejakkan kaki mereka ke “benteng” terakhir hutan dan budaya Dayak Kalimantan. Temu gaul dan arena diskusi selama perjalanan, khususnya selama hidup sekilas dengan warga setempat, amatlah berkesan.
Sebab, dalam rentangan jarak ratusan kilometer dari kota besar terdekat, masih hidup komunitas Dayak Kalimantan yang sadar bernegara Republik Indonesia, senang mengikuti pilkada, serta masih menekuni adatnya soal konservasi hutan. Meski tidak jauh dari kampungnya, denging mesin gergaji chainsaw dan apungan balok kayu tebangan menjadi hiasan hari-hari sunyi di sisa hutan tropis primer Kalimantan.
Dari hasil perjalanan singkat gabungan macam-macam orang ini, mungkin bisa mengetuk juga rasa ingin tahu kelompok lain, mengingat hutan belantara Kalimantan masih luas, masih terbuka. Masyarakatnya masih senyum, juga masih menyiapkan lampit di lantai kayu rumah sederhananya walaupun sesekali ada juga cari untung dengan “denda adat”.
Kalau kini “benteng” Barito-Muller-Mahakam sudah didatangi, tidak mustahil akan ada kawasan “benteng hutan dan adat” lainnya yang juga akan dikunjungi tim kecil orang-orang yang senang bertanya-tanya dan membuat foto. Asal tujuannya cari berita dan kisah, tanpa niatan bikin susah. Ya sah!
“Sumber catatan yang amat terbatas membuat tim ekspedisi ini memakai metode dan teknik kerja gaya reporter lapangan.”