MADAGASKAR MENCARI AKAR
PEREMPUAN setengah baya itu tak kunjung melepaskan jabat tangan Prof Dr Timbul Haryono yang menemuinya di Pasar Andravohangy, pinggir Kota Antananarivo, ibu kota Madagaskar. Mata ibu itu menatap lurus ke muka arkeolog yang juga Dekan Fakultas Ilmu Budaya UGM tersebut dan tak henti-hentinya menggelengkan kepala keheranan. Ia merasa bertemu dengan kakaknya yang telah tiada. “Anda persis seperti kakak saya, sorot mata, dagu, dan senyum itu milik kakak saya!” katanya dalam bahasa Malagasi.
PERISTIWA semacam itu sering terjadi dan menimpa semua warga Indonesia yang berada di Madagaskar. Menilik bentuk wajah, sorot mata, warna kulit, rambut, bentuk tubuh, dan bahasa mereka, sebagian besar bangsa Madagaskar mirip bangsa Indonesia. Sebagian lainnya berkulit hitam bak bangsa Afrika daratan, lengkap dengan rambut keritingnya, sebagian lagi mengambil wajah India dan Komoro.
Itu baru dari bentuk tubuh. Dari makanan dan cara memasaknya juga tak banyak beda. Singkong, ubi jalar, talas, semua jenis sayuran, bahkan cara memasaknya tak jauh beda dengan di Indonesia. Hanya saja mereka tak mengenal santan. Buah mangga, lengkeng, jeruk, nangka, jambu mete, bahkan kemiri pun ada. Pohon-pohon itu seolah tumbuh begitu saja, menyebar nyaris di seluruh Madagaskar.
Di pasar-pasar tradisional, baik di Antananarivo maupun sepanjang jalan menuju kota pelabuhan Mahajanga, sekitar 600 kilometer barat laut ibu kota Madagaskar itu, tak ubahnya seperti di Indonesia tahun 1960-an. Mereka belum sepenuhnya menggunakan satuan kilogram tapi tumpukan. Misalnya tomat atau kentang ditumpuk masing-masing berisi lima buah, persis sebagaimana dilakukan pedagang di kota-kota kecil di Tanah Air. Satu hal lagi, jual beli selalu didahului dengan tawar- menawar. Dan, harga penawaran untuk orang asing, bisa lima kali lipat.
Pasar-pasar di Antananarivo, misalnya, di dalam gedung kosong atau hanya berisi kotak-kotak kayu mirip gudang, tetapi di luar pasar tenda-tenda didirikan memenuhi seluruh halamannya. Menurut Marbun, rohaniawan Indonesia yang sudah enam tahun bertugas di negeri itu, pasar itu muncul secara alami karena pertemuan kepentingan penjual dan pembeli. Ketika pemerintah membangun gedungnya, awalnya mereka masuk, namun akhirnya kembali membangun tenda-tenda di luar pasar. Tak ubahnya pasar di Palmerah, Jakarta, atau pasar-pasar lain di Jakarta.
Bentuk tubuh, keadaan alam, dan perilaku manusianya, membuat rata- rata bangsa Malagasi yakin bahwa mereka satu nenek moyang dengan bangsa Indonesia. Itulah sebabnya berbagai upaya untuk mempertegas pendapat tersebut dengan mengumpulkan bukti-bukti antropologi, sejarah, dan realita terus dikumpulkan. Bangsa Madagaskar benar-benar mencari akar siapa diri mereka.
***
BERKUNJUNG ke Antananarivo, ibu kota Madagaskar, pusat kotanya bak Semarang di Jawa Tengah, hanya saja perbukitannya lebih banyak. Sedangkan jika ke pinggir sedikit mirip Kota Cianjur di Jawa Barat. Bedanya, di ibu kota negara itu terdapat bangunan-bangunan peninggalan Prancis yang cukup kokoh dan megah. Toko-toko pada siang hari tutup untuk istirahat, sore buka kembali. Pada hari Sabtu kebanyakan tutup dan hari Minggu semua kantor dan toko tutup. Hanya pasar tradisional tetap buka dan pasar semacam ini banyak bertebaran di seluruh kota dalam skala kecil maupun besar. Kaki lima berderet sepanjang jalan besar.
Kota Antananarivo yang berpenduduk sekitar tiga juta orang itu, hingga luar kota dipenuhi pejalan kaki. Rata-rata penduduk Madagaskar pejalan kaki yang kuat. Mereka berjalan dengan cepat dan lincah kemungkinan karena tuntutan alam dan adanya musim dingin. Itulah sebabnya rata-rata postur bangsa Madagaskar, wanita khususnya, langsing dan indah. Bisa dikatakan, susah mendapatkan orang berbadan gemuk terkecuali keturunan Perancis atau India.
Kendaraan umum mayoritas produk Eropa, dua tahun terakhir masuk merek Toyota dan KIA dalam jumlah yang sangat sedikit. Bus kota rata- rata merek Mercedes keluaran tahun 1980-an, konon diimpor dalam keadaan bekas pakai, namun masih sangat bagus untuk ukuran Indonesia. Mobil merek Peugeot dan Renault mendominasi jalanan, namun hanya sedikit yang keluaran di atas tahun 2000.
Walau tarif bus kota sekali naik hanya 1000 franc Madagaskar atau sekitar Rp 1.250, namun rata-rata penumpangnya naik untuk jarak yang cukup jauh. Biasanya untuk jarak kurang dua kilometer mereka memilih jalan kaki. Maklum taraf hidup mereka masih rendah, rata-rata di bawah 500 dolar AS. Itulah sebabnya pejalan kaki begitu banyak terlihat di Antananarivo maupun kota-kota lain. Penduduk luar kota berjalan kaki berduyun-duyun, lelaki-perempuan, seolah tiada habisnya hingga malam hari.
Ibu kota negara itu terletak di sebuah lembah subur, dikelilingi bukit-bukit dari beberapa gunung. Jika kita pergi ke salah satu bukit, pemandangan Kota Antananarivo sungguh indah. Selain rumah- rumah dan bangunan Perancis tertata rapi, hamparan sawah masih tampak menghijau. Namun, jika kita mendekat akan segera menemui rumah-rumah penduduk miskin di antara gedung-gedung tersebut. Rumah terbuat dari tanah merah berlantai tanah bertebaran di segala penjuru kota.
Penduduk kota itu padat, namun keadaannya jauh dari jorok. Sampah tidak ada yang berserakan, apalagi di sungai. Penduduk sangat disiplin, tak ada yang membuang sampah ke dalam got atau sungai. Tak terlihat WC umum di pinggir-pinggir sungai atau got sebagaimana di Kota Jakarta atau kota lain di Indonesia. Tampaknya peninggalan disiplin dari Perancis ini tetap diterapkan walau penjajahannya sudah berakhir puluhan tahun lalu.
Di pinggir Kota Antananarivo, di beberapa area sawah yang belum diolah, penduduk membuat batu bata merah. Sistem pembuatannya tak beda dengan di Pulau Jawa, pembakaran dilakukan di tempat itu juga, hanya ukuran batu batanya lebih besar, mirip batu bata zaman dulu. Bulan Oktober merupakan bulan sibuk bagi pembuat batu bata karena mereka mengejar waktu agar sebelum musim dingin bulan Desember sudah selesai dibakar. Mereka menjual dengan harga sekitar Rp 2.000 setiap buah.
***
MEMASUKI kampung-kampung di Madagaskar dan mengikuti upacara di sebuah gereja Katolik, agama terbesar di Madagaskar, mendapatkan fakta bahwa kepercayaan tradisional justru mendominasi kehidupan masyarakatnya. Akulturasi yang kental dalam upacara gereja merupakan salah satu petunjuknya. Musik pujian yang dilantunkan ditambah tari- tarian tradisional yang mengiringi upacara, semua berbau tradisional.
Hal itu memperkuat dugaan bahwa bangsa Malagasi merupakan percampuran berbagai suku di Indonesia, bahkan dengan bangsa-bangsa lain yang datang terlebih dahulu maupun kemudian. Percampuran itulah yang memudahkan mereka untuk berakulturasi hingga kini. Menurut Romo Marbun, perkawinan antarsuku, antarbangsa, dan juga antaragama tidak pernah menjadi masalah di Madagaskar. Meskipun demikian tradisi tetap menyatukan mereka, misalnya dalam hal poligami, upacara kelahiran anak, dan kematian. Mereka mengikuti acara-acara gereja, namun hanya sedikit yang bersedia melakukan upacara perkawinan gereja. Aturan tentang perkawinan gereja tak sejalan dengan tradisi mereka yang memperkenankan kawin-cerai dan poligami.
Di sebuah taman makam di Antananarivo, bangunan makam tak beda dengan di Tapanuli. Di sini juga ada upacara pemindahan tulang, bangunan makam dibuat sekokoh mungkin bahkan dikunci kuat-kuat. Juga ada kepercayaan bahwa kematian merupakan sisi gelap sehingga begitu salah satu anggota keluarga meninggal, seluruh barang di rumah itu harus dibersihkan, minimal dicuci. Ini menjadi kepercayaan rata-rata suku Merina, bahkan mereka yang sudah modern pun melakukannya.
Lain lagi dengan suku Simiheti, mereka selalu mengenakan pakaian paling buruk ketika melayat orang meninggal. Tujuannya, begitu selesai melayat pakaian itu dibuang, tidak boleh masuk rumah lagi. Di beberapa suku, minimal suku Jawa, sehabis melayat orang harus membersihkan diri sebelum masuk rumah agar tidak membawa sial ke semua penghuni rumah itu.
Mengenal lebih banyak lagi masyarakat Malagasi, menurut Romo Marbun, kita akan menemukan budaya daerah Tapanuli, Aceh, Jawa, Bajo, Melayu, Flores, Dayak, dan lain-lain. Semula setiap daerah memiliki ciri budaya khas dan gampang ditengarai dengan nama kotanya. Misalnya, ada kota bernama Ramli Marantsetra yang dihuni penduduk yang kemungkinan berasal dari keluarga Ramli, tokoh Suny dari Aceh; Ambu Malasa yang berpenduduk asal Malaya; dan beberapa kota lain yang jika dirunut melalui kebiasaan penduduknya bisa menandakan dari mana kemungkinan mereka berasal.
Semua suku dari Indonesia tersebut akhirnya bercampur dengan budaya bangsa Komoro yang sekaligus membawa agama Islam dan India. Kini semua itu diyakini telah melahirkan satu bangsa: Malagasi yang bernaung dalam negara Madagaskar.
***
REPUBLIK Madagaskar yang nama resminya Repoblika Demokratika Malagasy terletak di sebuah pulau keempat terbesar di dunia setelah Greenland, Irian Jaya, dan Kalimantan. Menurut perkiraan, sekitar abad 8-9, penduduk Indonesia berimigrasi ke Madagaskar dan hidup bersama pendatang dari Afro-Arab sehingga melahirkan kelompok etnis Malagasi. Ketika orang Eropa mulai masuk ke sana dan mencari rempah- rempah, Madagaskar pun menjadi tempat perdagangan sekaligus daerah operasi perompak.
Di Madagaskar ketika itu terdapat beberapa kerajaan, antara lain Antemoro, Antesaka, Betsileo, dan Merina. Kerajaan Merina akhirnya mendominasi kerajaan lain, terutama dalam pemerintahan Raja Andrianaminimerina (1787-1810). Dan, ketika anaknya, Radama I, memerintah, ia mendapat bantuan dari Inggris untuk menguasai seluruh Madagaskar. Hubungan dagang juga dilakukan dengan Perancis, namun hubungan inilah yang menyebabkan Madagaskar menjadi wilayah jajahan Perancis pada tahun 1868.
Ketika akhirnya Madagaskar merdeka (1960), sepuluh tahun kemudian pertikaian politik di dalam negeri pun meledak. Pertikaian ini menyebabkan perekonomian Madagaskar terpuruk karena pengusiran orang asing, penindasan terhadap organisasi buruh, dan penahanan orang- orang sipil. Tahun 1975 Komodor Didier Ratsiraka menjadi presiden dan akhirnya membawa negara ini masuk dalam kelompok sosialis dan merasionalisasi semua perusahaan.
Setelah berkuasa 18 tahun, pada tahun 1993 Ratsiraka dikalahkan Albert Zafy dalam pemilu, namun di pemilu berikutnya ia berhasil merebut kembali jabatan presiden. Dan, terakhir dalam pemilu tahun 2002 ia dikalahkan oleh Marc Ravalomanana, politikus yang juga pengusaha.
Begitu pemilu usai terjadi pertikaian karena Didier Ratsiraka tidak mau mengakui kekalahannya. Keadaan ini memperburuk perekonomian Madagaskar, namun kini mulai bangkit setelah Didier Ratsiraka melarikan diri ke Perancis dan Marc Ravalomanana menggantikannya. Presiden baru yang berlatar belakang pengusaha itu mulai memprivatisasi perusahaan-perusahaan negara, dan itu juga tidak mudah. Terakhir beberapa kali terjadi pemogokan buruh stasiun pompa bensin karena begitu diswastakan, buruhnya merasa terancam PHK dengan kedatangan para ahli dari Eropa.
Sisa-sisa sifat sosialis masih terasa hingga kini. Para pejabatnya berpakaian sederhana, bahkan sangat sederhana bagi ukuran protokoler yang umumnya berlaku. Wali Kota Mahajanga, misalnya, berkantor dengan mengenakan sandal, bertopi, dan menyapa siapa saja yang ditemuinya. Sekjen Kementerian Luar Negeri Madagaskar bahkan hanya berkaos oblong warna oranye ketika mendampingi menterinya merundingkan kerja sama dengan delegasi Indonesia.
Pemerintahan Ravalomanana ini tampaknya membawa angin baru bagi hubungan dengan Indonesia. Seorang sejarawan Madagaskar menginformasikan, pada zaman Didier Ratsiraka pencarian jati diri bangsa Madagaskar seolah dinadirkan. Dari awal, Perancis seolah memang menghindari pimpinan dari suku Merina berkuasa karena suku tersebut merupakan mayoritas bangsa Madagaskar dan kerajaannya pernah menguasai seluruh negara itu. Suku ini sangat dekat dengan budaya Melanesia. Perancis lebih dekat dengan suku-suku di luar Merina, dan Ravalomanana merupakan orang pertama dari suku Merina yang memerintah Madagaskar setelah merdeka.
Akibatnya, menurut Dr Christian, di Madagaskar terdapat dua kelompok sejarawan, kelompok kampus yang propemerintah (didukung Perancis) dan kelompok nonkampus yang masih merindukan jati diri nenek moyangnya.
Diduga Perancis takut jika sejarah asal muasal bangsa ini diungkit, akan membangkitkan fanatisme kelompok etnis kerajaan Merina. Itulah sebabnya hubungan Madagaskar-Indonesia tidak kunjung ditingkatkan karena Pemerintah Madagaskar tidak membuka perwakilan di Indonesia.
Perubahan sikap Pemerintah Madagaskar ini jelas tercermin dari pernyataan para pejabatnya. Presiden Ravalomanana sendiri ketika menerima awak perahu bersama Kepala Perwakilan RI Richard Simbolon tegas menyebutkan bahwa kita bersaudara. Sebelumnya, dalam upacara menyambut kedatangan awak kapal Borobudur di Pelabuhan Mahajanga tanggal 15 Oktober lalu. Gubernur Mahajanga, Kolonel Toto Vincent menegaskan bahwa ekspedisi Indonesia untuk meyakinkan siapa mereka sudah dilakukan tiga kali: Saremanuk (1985), Ammana Gappa (1991), dan terakhir Samudraraksa Borobudur bulan Oktober ini. Bukti sudah nyata, sebaiknya ditindaklanjuti.
Pernyataan Menteri Kebudayaan Madagaskar lebih tegas lagi: bangsa Indonesia memang nenek moyang bangsa Madagaskar dan itu tak perlu diperdebatkan lagi. Begitu usai upacara ia mengajak delegasi Indonesia berunding mengenai langkah apa setelah ekspedisi ini. Dan, sore itu juga lahirlah beberapa kesepakatan yang akan segera disusun dalam kesepakatan bersama (MOU), antara lain menyangkut pertukaran misi kebudayaan, pengisian museum dengan benda-benda yang berkait dengan kedua bangsa, pertemuan para ahli sejarah dari kedua negara untuk rekonstruksi asal-usul penduduk Madagaskar, dan kunjungan menteri itu ke Indonesia bulan Januari mendatang.
Ekspedisi sudah cukup, Madagaskar sudah mengaku Indonesia-lah nenek moyangnya, sesudah itu mau apa? Jawaban itu yang diharapkan Madagaskar.
(MAMAK SUTAMAT)