Hari ketiga, salah satu tim Susur Selatan Jawa 2009 memasuki “etape” Tulungagung-Pacitan. Semua anggota tim sepakat, inilah jalur rollercoaster yang indah.
Jalan ini naik-turun dengan belokan tajam ke kanan dan kiri di tengah kondisi jalan rusak parah dengan batu-batu besar menghadang. Tim merasakan lintasan ini penuh rintangan, untuk tidak menyebutnya berbahaya. Jalurnya turun-naik dengan kemiringan ekstrem lebih dari 45 derajat, melampaui standar toleransi kemiringan jalan maksimal 17 derajat.
Di sisi lain, udara pegunungan amat sejuk dan menawarkan berpuluh “lukisan” pantai yang indah. Di jalur ini pengguna jalan bisa menikmati dan menemukan kekayaan alam pantai selatan yang belum banyak dikenal dan dimanfaatkan.
Kalau di sisi kiri (dari Pantai Prigi Tulungagung) orang bisa menikmati keindahan pantai, di sisi kanan, potensi hortikultura tersebar di hutan serta kebun milik Perhutani dan masyarakat.
Jalan lintas selatan (JLS) dari Pantai Prigi diawali dengan konstruksi jalan sepanjang 4 kilometer (km) hingga Sungai Cengkrong. Jalur itu menghubungkan Prigi dengan Kecamatan Munjungan, tetapi terputus di Sungai Cengkrong karena belum ada jembatan penghubung.
Musijan (65), pedagang pengepul hasil bumi setempat, mengemukakan, ia dan rekan-rekannya sangat mengharapkan selesainya jalur JLS arah Pacitan yang melintasi punggung gunung itu. “Mengantar pisang, padi, dan lain-lain harus masuk lewat Desa Bandung. Kembali ke Tulungagung. Lha kalau tujuannya Jakarta, ini namanya boros ongkos,” katanya.
Akhirnya, Musijan dan pedagang lain terpaksa menggunakan jasa nelayan untuk mengangkut hasil bumi dari lahan pertanian mereka di sekitar Prigi dan Pulau Damas.
Tiga lokasi berbahaya
Jalan alternatif penghubungnya kemudian masuk ke arah kanan lewat perkampungan dengan kondisi jalan beraspal tidak mulus. Selanjutnya, bersambung dengan jalan aspal dan jalan makadam berliku menanjak setidaknya di tiga lokasi.
Yang pertama, jalan naik-turun dengan kemiringan lebih dari 45 derajat di punggung Gunung Kukusan, tepatnya di Desa Pondokwiji, Kecamatan Munjungan. Selain amat curam, aspal jalan itu mengelupas dan batu-batunya hancur berantakan. Saking gawatnya, kami berdoa mohon keselamatan dari Tuhan.
Lokasi gawat kedua di jalan Gunung Clegrek. Meski tidak seterjal Gunung Kukusan, di titik ini muncul “ancaman” jurang menganga di kiri-kanan. Lokasi gawat ketiga adalah turunan jalan di Desa Bendoroto, Kecamatan Munjungan. Persisnya di kawasan hutan Resor Pemangkuan Hutan Munjungan Barat. Lokasi ini mirip Clegrek.
“Saya malah belum pernah lewat sana Mas,” kata Faham Suyudi (47), konsultan dari PT Triple’s yang memantau pelebaran jalan “paket” Trenggalek-Tulungagung-Pacitan sepanjang 12 kilometer.
Faham memantau pelebaran jalan dari tiga meter menjadi enam meter bersama Sudarman, pengawas Dinas Pekerjaan Umum, Binamarga Provinsi Jatim.
“Untuk kondisi jalan dengan kemiringan ekstrem seperti itu, biasanya dicari solusi. Maksimal, menurut standar PU, 17 derajat. Kalau jalan sudah resmi dinyatakan siap pakai, pasti akan dinormalisasikan,” kata Sudarman tentang proyek senilai Rp 22 miliar yang dimulai 24 Maret hingga 30 Agustus 2009 itu. (SYAMSUL HADI/HARIADI SAPTONO)
Industri Kriya: Kesulitan Bahan Baku, Banyak Perajin Bangkrut
Para perajin marmer dan oniks di Desa Gamping, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur, kesulitan mendapatkan bahan baku marmer batu putih dan batu hitam. Harga bahan baku meningkat 50 persen setahun terakhir.
Menurut pengawas pabrik CV Permata Onix Tulungagung, Syarifudin, harga bahan baku batu putih kini Rp 2 juta per kubik dan batu hitam Rp 1,2 juta per kubik. Kondisi itu memicu turunnya penjualan hingga 40 persen. “Biasanya kami mengirim pesanan lima kali sebulan. Saat ini paling banyak tiga kali,” kata Syarifudin, Rabu (29/4) di Tulungagung.
Ratusan perajin marmer dan oniks kini gulung tikar akibat kenaikan harga bahan baku. Kalaupun ada yang bertahan, jumlahnya tinggal belasan perajin.
Perajin harus menekan biaya operasional untuk bertahan. Menurut Syarifudin, proyek Jalan Lintas Selatan (JLS) bisa menjadi sarana untuk menekan biaya operasional. Saat ini para perajin di Tulungagung masih harus melewati jalur Trenggalek dan Ponorogo untuk mengirim barang ke Cirebon serta Jakarta.
“Kalau ada JLS, kami bisa langsung ke Pacitan-Wonogiri-Solo dan bisa menghemat biaya operasional dari Rp 2,2 juta menjadi Rp 1,8 juta sampai ke Cirebon,” kata Syarifudin.
Pengamatan tim Ekspedisi Susur Selatan Jawa 2009, di sepanjang Jalan Raya Campurdarat, Kecamatan Campurdarat sampai Jalan Raya Besuki, Kecamatan Besuki, puluhan kios dan ruang pamer oniks kini kosong. (RIZ/NIK)
Nelayan Prigi: Tempat Pendinginan Ikan Terbatas, Nelayan Merugi
Nelayan mengeluhkan kurangnya tempat pendinginan ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Prigi, Trenggalek, Jawa Timur. Di tempat itu hanya ada dua unit tempat pendinginan ikan dan sering kali penuh. Akibatnya, nelayan terpaksa menjual ikan dengan harga murah.
Agus, nelayan Prigi yang biasa menangkap ikan lemuru, mengatakan, di masa panen ikan, nelayan sulit menjual hasil tangkapan ke tengkulak. Alasan tengkulak, tempat pendinginan ikan di Prigi penuh sehingga mereka tak mau membeli ikan lagi. Akibatnya, nelayan menjual ikan dengan harga murah kepada pedagang ikan di tempat pelelangan ikan.
“Normalnya harga lemuru Rp 150.000 per kuintal, tapi para pedagang itu hanya menghargai Rp 80.000-Rp 90.000,” kata Agus, Rabu (29/4) di Trenggalek. Akibatnya, nelayan tidak mendapatkan keuntungan.
Hal senada diungkapkan Biran, nelayan Prigi yang biasa menangkap ikan tongkol. Saat tempat pendinginan ikan penuh, dia terpaksa menjual ikan kepada pedagang dengan harga separuhnya. “Kami harap ada cold storage baru,” katanya.
Mulai bulan April, nelayan Prigi semakin banyak memperoleh ikan tuna. Panen ikan tuna, menurut sejumlah nelayan, akan berlangsung hingga Oktober. Puncaknya bulan Juni.
Menurut nelayan Purnomo, selama empat hari melaut, dia memperoleh 15 tuna dengan berat satu ton. (APA/ODY)