Kerajaan Sriwijaya memiliki peranan penting di kawasan Asia Tenggara pada abad VII hingga X atau 300 tahun lebih. Salah satu faktor yang membuat Sriwijaya menjadi negara yang kuat adalah dipimpin sosok yang mengutamakan kepentingan rakyat, pemersatu bangsa, bijaksana, dan taat beragama.
Kebesaran Sriwijaya juga terlihat dari salah satu pemimpinnya, Dapunta Hyang, yang terlibat dalam penaklukan Bhumi Jawa. Dapunta Hyang tercatat dalam prasasti “Kedukan Bukit” tertanggal 16 Juni 682 Masehi melakukan perjalanan dengan jumlah pasukan yang spektakuler pada masanya, yakni dengan membawa 20.000 tentara melalui perairan dan 1.312 melalui darat, serta dengan perbekalan 200 peti. Sementara itu, dalam prasasti “persumpahan Kota Kapur” diperoleh informasi bahwa prasasti dibuat ketika pasukan Sriwijaya sedang mengadakan perjalanan menaklukkan Bhumi Jawa.
Perjalanan Dapunta Hyang merupakan bukti Sriwijaya merupakan negara bahari yang tangguh. Bahkan, kemampuan bertahan hingga 300 tahun diyakini karena kemampuan menguasai wilayah perairan.
Dalam makalah yang dipersiapkan sebagai bahan “Ekspedisi Sriwijaya” berjudul Arkeologi dan Sejarah Kebaharian Sriwijaya, yang disusun Bambang Budi Utomo, menyebutkan bahwa pada masa keemasannya, Sriwijaya menguasai Selat Malaka yang merupakan jalur perdagangan penting. Kala itu siapa yang menguasai selat Malaka, dialah yang dapat menguasai perekonomian.
Selain itu, kebanyakan dari saudagar asing menunggu angin musim yang tepat untuk berlayar sehingga memicu transaksi jual-beli di pelabuhan Sriwijaya. Hal ini memicu pertumbuhan ekonomi yang diperoleh dari perdagangan hasil bumi dan upeti dari saudagar.
Setiap kapal niaga yang melalui Selat Malaka wajib membayar cukai kepada penguasa selat yang pada masa itu adalah Sriwijaya. Dalam hal cukai ini, diduga menimbulkan insiden dengan Kerajaan Cola, yang melindungi para saudagar Tamil yang dibebani pungutan terlampau berat.
Akibatnya, Kerajaan Cola menyerang Sriwijaya sebagai upaya melindungi pedagang Tamil. Setelah serangan tahun 1025 tersebut, Sriwijaya tidak lagi berjaya menguasai Selat Malaka.
Tak ada data yang menyebutkan waktu keruntuhan dari Kerajaan Sriwijaya, tetapi yang pasti dalam prasasti Rajaraja Idari Tanjore yang berangka tahun 1030/31 Masehi menyebutkan, secara jelas penaklukan dan rajanya, Sangramawijayottungawarman, berhasil ditawan tentara Cola.
Belajar dari Sriwijaya
Dalam makalah Sondang M Siregar, Sriwijaya dan Perannya di Asia Tenggara, disebutkan, keruntuhan Sriwijaya tidak terlepas dari kesibukannya mengatur lalu lintas perdagangan di Selat Malaka. Penguasa lantas melupakan kepentingan dari rakyat di dalam negeri dan negara-negara yang menjadi bawahan.
Akhirnya Sriwijaya tak mampu menghadapi serangan dari luar dan tidak dapat mempertahankan wilayah kekuasaannya. Satu per satu negeri bawahan menarik diri.
Padahal, sebelumnya, Sriwijaya tercatat menjalankan politik perluasan wilayah dengan menundukkan negara yang memiliki potensi dan strategis untuk mencapai tujuan menguasai perdagangan dunia. Selain itu, menjalin hubungan baik dengan negara lain, khususnya dalam bentuk misi agama bersama India dan China.
Terkait dengan misi agama, Sriwijaya lalu menjadi pusat agama Buddha di Asia Tenggara. Prasasti Nalanda menyebutkan, pendirian biara oleh Raja Balaputradewa di Nalanda, termasuk membuka hubungan dagang dengan Benggala yang merupakan salah satu sumber perdagangan di Asia.
Raja Balaputradewa juga mendirikan candi Buddha di Negapatam yang diperuntukkan bagi saudagar Sriwijaya yang berdiam di sekitar pantai Coromandel, India. Dalam History of the Sung, Raja Sriwijaya, Sri Culamaniwansadeva mendirikan candi Buddha untuk mendoakan kaisar China pada tahun 1003. Diplomasi agama ini menghasilkan izin perdagangan bagi saudagar China dan India.
Melalui ekspedisi Sriwijaya, pengenalan mengenai kerajaan Sriwijaya diharapkan makin mendalam sehingga bisa memetik pelajaran mengenai pencapaian kejayaan negara dan kemakmuran rakyat. (BOY)