Jenis batu berwarna hitam, keras, tetapi getas, yang dikenal sebagai mangan, sesungguhnya bukan benda asing bagi warga Nusa Tenggara Timur. Di desa-desa, batu alam itu sejak lama mudah dijumpai di permukaan dan di dalam tanah.
Semula warga tak menyangka mangan adalah benda berharga. Setelah warga sadar, mangan yang dulu tidak dihiraukan kini mengubah peradaban mereka. Mereka beralih dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat pertambangan.
Saat menyusuri Pulau Timor, Tim Ekspedisi Jejak Peradaban Nusa Tenggara Timur (NTT) melewati Desa Nonotbatan, Kecamatan Biboki Anleu, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Desa itu masih terisolasi. Padahal, jaraknya hanya 80 kilometer dari Kefamenanu, ibu kota Kabupaten TTU, dan lebih kurang 280 kilometer dari Kupang, ibu kota Provinsi NTT.
Warga di sana turun-temurun menggantungkan hidup dari pertanian ladang kering yang ditanami jagung, padi, dan umbi-umbian. Mereka juga beternak kecil-kecilan sapi, babi, dan ayam.
Salah satunya Hendrikus Kollo (50). Seperti umumnya petani di Timor, Hendrikus akrab bertani dengan pola berladang tebas bakar dan berpindah-pindah. Pola tradisional itu mengikuti ketersediaan humus tanah yang terbentuk di kawasan hijau atau hutan.
Dulu, ia sering kesal karena baru sebagian lahan dia garap ternyata tanahnya berupa lapisan mangan. Produktivitas pertaniannya pun menurun. Kini tidak lagi. Sejak dua tahun lalu Hendrikus malah mendambakan tanah yang dipenuhi mangan.
Dari bongkahan mangan yang ditambang memakai peralatan sederhana, Hendrikus bisa memperoleh uang tunai Rp 50.000 per hari. Kini, ia dan keluarga tidak harus menunggu 4-5 bulan panen padi atau jagung untuk mendapat uang.
Bersama Hendrikus juga ada ribuan warga NTT yang giat memburu mangan. “Mangan sangat membantu ekonomi keluarga. Uang dari mangan bisa untuk membeli kebutuhan makan sehari-hari, membayar biaya sekolah anak, dan kebutuhan lain. Kami tidak pernah menyangka mangan jadi berharga seperti sekarang,” kata ayah lima anak dan kakek dari enam cucu itu.
Ada dua kelompok warga yang kini giat berburu mangan, yaitu yang bekerja sebagai buruh perusahaan pertambangan yang menambang dengan alat-alat berat. Kelompok lain adalah bekerja sendiri atau berkelompok tanpa investor.
Di Desa Oelais, Kecamatan Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), tim Kompas bertemu kelompok pertama. Mereka tengah memilah bongkahan mangan dari material lain. Mereka dibayar Rp 700 per kilogram mangan, Rp 100 dari jumlah itu disisihkan untuk gereja dan pemerintah desa setempat.
Hendrikus termasuk kelompok penambang mandiri. Bersama ratusan warga asal Nonotbatan dan desa tetangga, seperti Motadik, Maokabatan, Kotafoun, Nifutasi, Sifanika, dan Kelurahan Ponu, mereka mengais mangan di kawasan Sifanika, Kecamatan Biboki Anleu.
Dalam sehari, tiap orang bisa mengumpulkan rata-rata 50 kg mangan. Bongkahan mangan itu dijual Rp 1.200 per kg kepada pengepul, pedagang keliling, atau saudagar yang berkeliaran hingga kampung-kampung.
Dari harga Rp 1.200 per kg, Hendrikus dan warga lain hanya berhak mengantongi Rp 1.000, sisanya disisihkan untuk pemilik lahan atau tuan tanah lokasi penambangan.
Marcel Klau (32), penduduk Desa Sumlili, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, bersama puluhan warga lain memburu mangan secara manual sampai kawasan hutan Oeseni yang berjarak sekitar 50 km sebelah barat Kota Kupang.
Seperti Hendrikus Kolla dan warga lain di NTT, Marcel Klau pun tak menyangka mangan jadi berharga seperti sekarang. “Mangan adalah rezeki baru. Kalau musim sedang kering, kami mencari mangan dan kami berkebun saat hujan turun,” kata dia.
Konflik tanah
Perubahan nilai ekonomi mangan menimbulkan dampak sosial. Konflik horizontal antara penambang dan tuan tanah mulai sering terjadi. Di Desa Sumlili, misalnya, sekelompok warga mempertanyakan keberadaan para tuan tanah atas lokasi tambang di kawasan hutan Oeseni. Alasannya, kawasan hutan seluas lebih kurang 115 hektar itu telah menjadi milik Pemerintah Kabupaten Kupang sejak diserahkan oleh sekelompok tetua tahun 1981.
Salah seorang tetua, Daniel Hailitik (72), di Sumlili, menyatakan keheranan ketika ada sejumlah warga desa tiba-tiba mengaku sebagai tuan tanah atas kawasan hutan Oeseni hingga merasa berhak atas Rp 100 per kgdari penjualan mangan di desa itu. “Perlu ada penertiban atas status sejumlah warga yang tiba-tiba mengaku sebagai tuan tanah,” kata dia.
Daniel beranggapan, tidak ada yang berhak mengklaim diri sebagai tuan tanah atas kawasan Oeseni. “Saya adalah satu dari lima tetua yang menyerahkan kawasan ini kepada Bupati Kupang Paul Lawarihi tahun 1981,” kata Daniel yang saat itu ditemui Markus Natonis, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja, dan Stef Baka, pelaksana tugas Kepala Bagian Humas Kabupaten Kupang.
Selain membawa berkah, penambangan mangan berpotensi mengancam jiwa. Sejak awal tahun 2010, setidaknya ada 34 warga Timor tewas tertimbun lubang galian mangan yang mereka buat sendiri.
Terkait penambangan yang banyak merenggut puluhan nyawa, anggota DPRD NTT, Ferry Kase, di Atambua, ibu kota Kabupaten Belu, mengingatkan pemerintah kabupaten setempat bersama investor pemilik izin usaha penambangan agar tidak lepas tangan.
Menurut Kase, meski sebagian besar penambangan dilakukan sendiri oleh masyarakat, rata-rata kawasan berpotensi mangan di Pulau Timor sudah dikapling investor. Namun, karena masih tahap eksplorasi, investor belum mengerahkan alat berat untuk penambangan. Mereka mendorong masyarakat agar menambang secara tradisional, kemudian hasilnya dijual kepada investor. “Jaringan kerjanya seperti itu,” kata anggota Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat itu.
Saat ini, mangan menjadi “emas baru” yang diandalkan untuk mengatasi kemiskinan yang sejak lama membelenggu warga NTT. Apalagi kandungan mangan dari NTT, terutama di Pulau Timor, dinilai merupakan yang terbaik di dunia.
Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana penambangan dilakukan secara aman sehingga tidak menambah kepedihan penduduk yang kehilangan keluarga. Selain itu perlu diantisipasi masalah kelestarian lingkungan. Jangan sampai penambangan menyebabkan hutan gundul sehingga menimbulkan bencana banjir saat musim hujan. Selain itu perlu ada aturan dan penegakannya untuk memastikan lubang-lubang yang ditinggalkan seusai penambangan direklamasi dan dihijaukan kembali.
Menjadi tugas pemerintah mengatur hal itu agar kesejahteraan benar-benar mewujud bagi seluruh masyarakat NTT.
Perlu kebijakan yang tepat dan berpihak kepada masyarakat. Jika kebijakan yang dibuat hanya berpihak kepada investor, peradaban bukan tidak mungkin justru semakin hancur.