Era tahun 1980-an, ketika pemerintah membuka lahan untuk perkebunan kelapa sawit di wilayah Arso, masyarakat asli Papua umumnya hanya menurut saja. Kini, mereka giat beralih ke tanaman kakao. Tanaman kakao lebih akrab dengan pola bertani orang-orang pesisir Papua.
Kornelis Kewa Ama dan A Ponco Anggoro
Dalam hal pemilihan tanaman dan komoditas, warga setempat belum mampu melompat begitu cepat. Kelapa sawit adalah tanaman industri. ”Ingat, warga masih ada dalam tradisi subsisten,” kata Ketua Dewan Adat Papua Wilayah Keerom, Hubert Kwambre.
Meskipun perkebunan yang dikelola PT Perkebunan Negara II tersebut menerapkan sistem inti-plasma, toh akhirnya kebun-kebun milik warga beralih pengelola. Sebagian dijual, dan sebagian lainnya disewakan kepada warga transmigran.
Dibandingkan dengan kelapa sawit, orang asli Papua memang lebih berminat membudidayakan kakao. Hingga tahun 2010, di seluruh Papua tercatat ada 26.701 hektar kebun kakao rakyat, dan hanya 9.855 hektar kebun kelapa sawit rakyat. Di Papua, kakao banyak ditemukan di kampung-kampung, tumbuh di antara pohon-pohon hutan.
Kakao tergolong tanaman yang tidak ”rakus” lahan dan unsur hara seperti halnya kelapa sawit. Warga pun mampu mengolah buahnya secara sederhana menjadi biji kering, dan menjualnya ketika harga membaik. Coba bandingkan dengan kelapa sawit yang harus segera dikirim ke pabrik saat tandan buah masih segar. Harga sawit pun ditentukan bursa minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dunia.
Tak mengherankan jika warga lebih memilih kakao daripada kelapa sawit. Tak hanya di Keerom, di wilayah lain seperti Nabire, Sarmi, Yapen, Waropen, dan Jayapura pun kakao sudah mulai dibudidayakan warga secara masif.
”Apalagi sejak zaman Belanda, kami bergantung pada kakao untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari,” ujar Gerardus Sem (45), petani di Kampung Yakasik, Distrik Namblong, yang berada di kawasan Lembah Grime, Kabupaten Jayapura.
Pilihan Jayapura
Kebun milik Gerardus seluas satu hektar dan ditumbuhi kakao yang bibitnya berasal dari kakao yang dibudiyakan era pemerintahan Belanda. Saat ini kebunnya bertambah seluas seperempat hektar setelah mendapat bantuan 300 bibit kakao dari Pemerintah Kabupaten Jayapura.
Saat panen puncak kakao, biasanya bulan April, setiap minggu Gerardus memperoleh 200 kilogram. Dengan harga Rp 14.000-Rp 18.000 per kilogram (kg), Gerardus memperoleh uang Rp 2,8 juta-Rp 3,6 juta. Di luar masa panen, setiap dua minggu kebunnya memproduksi 50 kg biji kakao kering. Hasil penjualan kakao itu cukup untuk menghidupi Gerardus dan keluarganya. Bahkan, dia mampu membiayai kuliah anak-anaknya.
Potensi itu yang kemudian dilirik oleh Pemerintah Kabupaten Jayapura. Melalui Instruksi Bupati Jayapura Habel Melkias Suwae Nomor 1 Tahun 2006, gerakan wajib tanam kakao dimulai. Untuk menstimulasi gerakan itu, pemerintah memberikan bantuan kepada para petani pada 19 distrik di Jayapura.
Selain bibit, pada awal program petani mendapat bantuan uang senilai Rp 1,4 juta untuk setiap hektar kakao. Pada tahun 2007 bantuan yang diterima petani sebesar Rp 1,25 juta, dan pada tahun 2008 Rp 1,150 juta per hektar.
”Jumlah bantuan yang diberikan terus menurun dan kemudian terakhir diberikan pada tahun 2008 agar petani bisa mandiri, tidak selamanya tergantung pada bantuan pemerintah,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Jayapura Anna Sawai.
Jumlah bibit yang telah diserahkan kepada 14.000 petani mencapai sebelas juta pohon. Pengadaannya dibiayai dana Otonomi Khusus, besarnya mencapai Rp 35 miliar.
Perluas lahan
Luas areal kakao pun meningkat signifikan dari 3.000 hektar pada tahun 2006 menjadi 13.588 hektar pada tahun 2011, dan telah menghasilkan sekitar 8.389 ton biji kakao kering.
Kepala Dinas Perkebunan Kabupaten Jayapura Tasrief memperkirakan, jumlah itu dipastikan bakal meningkat karena ada lebih dari lima juta pohon akan memasuki masa produksi.
Maraknya penanaman kakao sejak 2006 itu berimbas pada kontribusi subsektor perkebunan dalam pendapatan domestik regional bruto (PDRB) Kabupaten Jayapura. Saat program tersebut diluncurkan pada tahun 2006, subsektor perkebunan memberikan sumbangan sebesar Rp 61,527 miliar pada PDRB. Pada tahun 2010 sumbangan sektor itu meningkat hampir dua kali lipat menjadi Rp 111,521 miliar.
Akan tetapi, keberhasilan selalu tak lepas dari masalah. Fluktuasi harga jual kerap menjadi persoalan utama petani. Markus Yaong, petani kakao di Kampung Sarmai Bawah, Namblong, mengatakan bahwa saat pasokan berlimpah, harga kakao anjlok hingga Rp 11.000 per kg. Sebaliknya, ketika kakao langka di pasaran, harganya melonjak sampai dengan Rp 25.000 per kg.
”Kelembagaan petani masih lemah sehingga harga kakao dengan mudah dipermainkan para pengumpul kakao. Mereka mengirimkan kakao Jayapura ke Surabaya dan Makassar,” ujar Tasrief, menjelaskan.
Permintaan kakao dari luar Papua bisa mencapai 94.000 ton per tahun, sedangkan produksi yang ada sekarang hanya sekitar 8.000 ton. ”Dengan kondisi ini, harga kakao seharusnya tidak turun,” katanya.
Guna menjawab persoalan itu, menurut Anna Sawai, penguatan kelembagaan petani akan menjadi prioritas pemerintah. Selain itu, pemerintah akan mengupayakan membangun pabrik pengolahan kakao.
Peluang produksi hilir pun telah ditunjukkan Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Cenderawasih Made Budi. Ia mengolah biji kakao rakyat jadi cokelat. Makanan kemasan itu laku di pasar lokal sebagai cendera mata khas Papua.
Jika masalah pasar dan produk hilir petani bisa dijawab, kontribusi kakao untuk memberdayakan masyarakat Papua niscaya akan lebih besar. Setidaknya, para petani akan memiliki masa depan yang lebih baik. (B JOSIE SUSILO HARDIANTO)