Cacu (65), Ketua RT 02 RW 06, Kampung Cibulao, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, mewakili semua warganya, Minggu (18/1), bersungguh-sungguh mengatakan, mereka tidak berani lagi menebang pohon di hutan yang mulai rusak sejak tahun 1987-an.
“Pohon yang semakin jarang terlihat di telaga air akibat penebangan liar mengkhawatirkan warga. Awalnya karena takut ditangkap polisi hutan, tetapi sekarang karena warga takut kesulitan mengalirkan air dari telaga ke rumah-rumah,” ujar Cacu.
Kerusakan hutan di sekitar Telaga Saat dan Telaga Gayonggong, yang merupakan daerah penyimpan air dan mengalirkannya ke Sungai Ciliwung melalui sungai bawah tanah, menyebabkan kualitas kedua telaga ini menurun.
Kini, Cagar Alam Telaga Warna memang tidak sepenuhnya bebas dari perambahan. Sewaktu harga minyak tanah naik tahun 2005, Cagar Alam Telaga Warna dirambah penduduk di sekitar kawasan dengan mengambil ranting kayu.
Tekanan biaya hidup dan kondisi ekonomi yang serba sulit membuat masyarakat mencari jalan pintas untuk mendapatkan kayu bakar.
Namun, kesadaran masyarakat untuk menjaga hutan perlahan pulih tatkala penduduk dihadapkan pada pilihan kerusakan hutan yang mengancam erosi dan longsor di hunian mereka. Apalagi, kerusakan di kawasan penyangga cagar alam dan telaga yang merupakan puncak keseimbangan ekosistem kini terus berlanjut.
Saat musim kemarau, air dari Telaga Gayonggong yang dialirkan melalui pipa ke rumah warga terhenti karena kedalaman air bisa turun hingga 2-3 meter. Adapun Telaga Saat tidak lagi dipakai warga karena tercemar buangan limbah dari vila dan wisatawan yang datang.
“Tidak banyak yang bisa diperbuat warga, sebab warga disini untuk hidup saja sudah sulit. Paling kami mulai terlibat dengan penghijauan hutan yang mulai dilakukan pemerintah,” ujar Cacu.
Pada kawasan penyangga Cagar Alam Telaga Warna, sekitar 70 persen areal berbatasan dengan lahan Perum Perhutani, 25 persen areal perkebunan rakyat, dan 5 persen merupakan tanah hak milik. Alih fungsi kawasan, di antaranya untuk kebun kopi, memicu laju erosi.
Hutan seluas 496 hektar yang melingkupi wilayah Kabupaten Cianjur dan Bogor di Provinsi Jawa Barat itu adalah salah satu sumber mata air Ciliwung dengan keseimbangan ekosistem yang masih lestari. “Di hutan ini, beberapa satwa endemik Jawa Barat masih bisa ditemukan, seperti owa jawa (Hylobathes moloch) dan surili (Presbytis comata),” tutur Siswoyo, Kepala Resor Taman Wisata Alam (TWA) Telaga Warna Bogor, yang juga mengurusi Cagar Alam Telaga Warna.
Pria yang baru menjabat selama dua bulan itu takjub bahwa di hutan yang luasnya tidak seberapa itu masih dapat ditemukan jejak spesies khas dan dilindungi. Owa jawa di kawasan itu diperkirakan sebanyak enam ekor dan surili 13 ekor. Dalam satu bulan terakhir, pihaknya bahkan menemukan sarang elang jawa (Spizaetus bartelsi) dan jejak cakar macan tutul (Panthera pardus melas) yang saat ini populasinya terancam punah.
Hutan dengan ketinggian 1.400-1.884 meter di atas permukaan laut itu memiliki 11 anak sungai yang bermuara ke Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung. Di cagar alam itu terdapat tidak kurang dari 106 spesies fauna, dengan 15 satwa di antaranya tergolong endemik dan dilindungi.
Adapun potensi flora sedikitnya berjumlah 212 jenis, meliputi tanaman obat, tanaman hias, tumbuhan aromatik, tumbuhan bahan baku kerajinan, bahan minuman, dan tumbuhan penghasil bahan warna.
Cagar Alam Telaga Warna itu berbatasan dengan TWA Telaga Warna di Kabupaten Bogor, kawasan penampung air tertinggi di Bogor yang juga memasok sumber air ke Ciliwung. Luas telaga itu 7.156 meter persegi dengan kedalaman mencapai 15 meter.
“Berdasarkan hasil penelitian mahasiswa Universitas Indonesia beberapa waktu lalu, Telaga Warna masih banyak didatangi spesies capung. Spesies ini merupakan salah satu indikator bahwa kualitas air telaga tergolong baik. Ini tidak akan terjadi jika kawasan cagar alam dan telaga alam rusak,” papar Siswoyo.
Ancaman kerusakan
Perambahan kawasan juga berlangsung di Taman Nasional Gede Pangrango (TNGP). Di kawasan TNGP, dari areal seluas 7.000 hektar yang merupakan eks hutan produksi Perum Perhutani, hampir separuh arealnya digarap oleh masyarakat untuk perkebunan sayur dan kebun kopi. Hal itu mengakibatkan berkurangnya resapan air dan mempercepat laju erosi.
Total luas TNGP saat ini 21.975 hektar. Banyak mata air dari kawasan TNGP juga menyumbang air bagi DAS Ciliwung. Di kawasan itu terdapat satwa yang dilindungi, di antaranya macan tutul dan elang jawa. Kerusakan yang terjadi di kawasan taman nasional merupakan ancaman bagi bertahannya keanekaragaman hayati. (LKT/MUK/ONG/MZW)