Hari keenam susur Ciliwung Tim Ekspedisi Kompas Ciliwung 2009, Rabu (21/1), mengambil rute Pintu Air Manggarai hingga Jalan Hayam Wuruk, Jakarta, dengan istirahat di Pintu Air Istiqlal. Hanya ruas Matraman-Salemba-Raden Saleh-Kwitang-Pejambon yang dapat dilalui dengan perahu. Dari Istiqlal-Juanda hingga Hayam Wuruk, tim menyusurinya dengan jalan darat karena rendahnya ketinggian air dan banyaknya jembatan rendah yang menyulitkan pelayaran.
Biasanya, ruas Ciliwung di jalur ini debitnya sangat kurang, lapisan tanahnya selalu terlihat, airnya hitam, dan menebarkan aroma tak sedap. Kondisi itu membuat Kompas meminta pengelola Pintu Air Manggarai menaikkan ketinggian air sehingga dapat dilalui perahu karet.
Bertambahnya debit air itu sempat menimbulkan pertanyaan masyarakat sekitar. Ruas itu biasanya memang tidak mendapat air cukup banyak untuk menjaga agar Istana Negara di Jalan Medan Merdeka Utara tidak banjir.
Dangkalnya air sungai membuat perahu yang ditumpangi tim kandas beberapa kali. Dayung yang digunakan pun sering tersangkut pada sampah organik dan anorganik. Kangkung, eceng gondok, dan rumput banyak tumbuh di pinggir kali.
Bau yang pertama kali tercium adalah bau anyir dari permukiman warga dan tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK) umum yang bertebaran di sepanjang bantaran sungai, mulai dari Kelurahan Pegangsaan, Kenari, Kwitang, hingga Senen. Bau tak sedap itu juga berasal dari tumpukan sampah yang sengaja dibuang warga ke sungai maupun dari tempat penampungan sementara dan pengumpulan sampah pemulung.
Di sejumlah kolong jembatan, banyak ditemukan permukiman kumuh warga. Permukiman dalam bentuk rumah papan itu mengambil tempat di kedua sisi kaki jembatan.
Bau sedap sempat beberapa kali tercium, terutama bau makanan dari dapur warga yang banyak terdapat di sepanjang kali hingga bau produksi roti dari salah satu hotel berbintang didaerah Tugu Tani. Bau-bau itu seolah menjadi penawar berbagai bau anyir dan busuk yang tercium sebelumnya.
Selain itu, ruas Kwitang-Senen banyak mengalami pendangkalan parah. Dari jarak antartalud sungai di kedua sisi selebar 14 meter, banyak yang menyisakan lebar sungai 2-5 meter. Sisanya menjadi tumpukan lumpur yang ditumbuhi aneka tumbuhan liar.
Bahkan, warga antara ruas Kwitang dan Senen banyak yang sengaja menguruk tepi sungai. Lahan urukan itu biasanya digunakan untuk beternak ayam, kolam pemancingan ikan, hingga sekadar lapangan terbuka.
Susur sungai kemarin diakhiri di jembatan Pejambon yang ada di samping kantor Departemen Luar Negeri dan dilanjutkan dengan pemantauan dari darat antara Juanda dan Hayam Wuruk. Tim ekspedisi Kompas sempat mampir ke Pintu Air Istiqlal dan bersama tim Dana Kemanusiaan Kompas menyalurkan bantuan bahan pokok kepada Soleh dan Suhardi, penjaga pintu air. (NEL/MZW/MUK/LKT/WAS/ELN/ONG/NUT/RZF)