KOMPAS/ IWAN SETIYAWAN

Warga mengikuti upacara penyucian sumber air di kaki Gunung Agung di Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Selasa (4/10/2011).

Hidup Mati di Agung-Rinjani

Rendah Hati Dihadapan Gunung Agung

·sekitar 5 menit baca

”HIDUP berharmoni berarti jangan sampai ada korban jiwa saat gunung api mencari keseimbangan baru,” ujar Indyo Pratomo, vulkanolog dari Museum Geologi, Bandung.

Siang itu, Indyo menelusuri jejak letusan Gunung Agung melalui singkapan di Tukad Lengu di sekitar Sogra dan Badeg Dukuh. Dia menemukan kenyataan bahwa masyarakat sebenarnya memiliki waktu yang cukup untuk mengungsi saat Gunung Agung meletus pada tahun 1963.

Berdasarkan perlapisan material di Tukad Lengu, ada endapan awan panas yang terdiri atas abu, kerikil, dan pasir. Di atas endapan awan panas itu terdapat endapan lahar yang lebih padat. Ada pula material erosi awan panas yang lebih terstruktur. ”Lapisan material ini menunjukkan sekuen letusan yang terjadi beberapa kali,” ujar Indyo.

Sekuen letusan itu menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat memiliki cukup waktu untuk menyelamatkan diri sebelum terjadi letusan besar pertama pada Maret 1963. Kejadian letusan per satuan waktu itu merupakan peringatan alam yang bisa menjadi landasan mengosongkan lokasi yang rawan bencana.

KOMPAS/ ANGGER PUTRANTO

Kondisi Gunung Agung dipantau dari bendungan lahar dingin di Desa Tianyar, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, Rabu (20/9/2017).

”Pengalaman di Gunung Agung ini adalah pelajaran berharga. Pemangku kebijakan harus mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai hidup berharmoni dengan gunung api,” kata Indyo.

Konsepsi tentang harmoni menjadi dilematis karena, sikap budaya sebagian masyarakat Badeg Dukuh dan Sogra waktu itu jelas-jelas berbeda. Sebagian dari mereka yang bertahan di pura itu meyakini bahwa kematian karena letusan Gunung Agung bukanlah hal yang perlu dihindari. Mereka bahkan bersiap menyongsongnya dengan odalan. Adapun mitigasi modern menekankan tiadanya korban (zero victim) dalam letusan gunung api.

Mitigasi modern menekankan tiadanya korban (zero victim) dalam letusan gunung api.

Wakil Bupati Karangasem I Made Sukarena mengakui, mitigasi bencana untuk mengantisipasi letusan Gunung Agung merupakan proses yang tak gampang. Alasannya, bagi sebagian masyarakat Bali, gunung itu masih dianggap bukan penyebab bencana. Sebaliknya, bencana akan datang karena ulah manusia sendiri yang merusak kesucian gunung.

Pemerintah, kata Sukarena, lebih memilih pendekatan fisik dengan menyiapkan infrastruktur jalan agar proses evakuasi mudah dilakukan seandainya terjadi bencana.

KOMPAS/ BAHANA PATRIA GUPTA

Petugas dari Tim Drone BNPB melepaskan drone tawon dari Desa Kubu, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, Rabu (11/10/2017). Penggunaan drone dilakukan untuk mengambil data visual kondisi kawah serta areal di sekitar puncak dari Gunung Agung.

Meski demikian, Made Sukarena mengatakan, belum semua jalan ke arah permukiman penduduk di sekitar puncak Gunung Agung selesai dibangun. Akses ke Desa Ban, Kecamatan Kubu, misalnya, masih sulit karena masih berupa jalan tanah. Padahal, desa itu hanya berjarak sekitar 1 kilometer dari puncak Gunung Agung dan dihuni sekitar 8.500 orang.

Sementara Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Karangasem Sutirtayasa mengatakan, proses mitigasi dan sistem peringatan dini di Gunung Agung belum disusun. Alasannya, lembaganya baru terbentuk pada 2011. Setelah para pejabat resmi dilantik, rencana kerja, termasuk merumuskan mitigasi bencana, akan disusun mulai 2012.

Sutirtayasa mengakui, seandainya terjadi letusan Agung, evakuasi paling sulit akan terjadi di Desa Ban, Kecamatan Kubu. ”Untuk wilayah itu, jalur evakuasi memang belum terang. Wilayah lain relatif lebih baik,” ungkapnya.

Bagi Cok Sawitri, pendekatan mitigasi di Gunung Agung yang bertumpu pada fisik tidak akan menjawab permasalahan. Masyarakat Bali yang tinggal di lereng gunung memiliki konsepsi dan cara pandang sendiri, yang selama ini tidak dipahami pemangku kekuasaan.

KOMPAS/ P RADITYA MAHENDRA YASA

Kemegahan dan keindahan Gunung Agung terlihat dari Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, MInggu (24/9.2017). Letusan besar Gunung Agung pada tahun 1963 menewaskan 1.549 orang.

”Orang-orang gunung akan bicara dengan bahasa kepercayaan,” ujarnya.”Sebenarnya apa yang dialami orang gunung itu sangat logis dan rasional. Hanya saja, pilihan kata dan bahasa yang tidak nyambung dengan ilmu modern yang mendasarkan pada penelitian,” ujar Sawitri.

Sawitri yakin, orang-orang gunung ini juga mampu membaca tanda-tanda alam. ”Cara pandang tidak beda, hanya cara tuturnya yang berbeda. Mereka juga takut sama gunung meletus, tetapi rasa takut itu dimanifestasikan, misalnya, dengan menyebut gunung sebagai bapak yang sedang batuk-batuk,” katanya.

Orang-orang gunung ini juga mampu membaca tanda-tanda alam.

Proses pengalaman orang gunung ini, menurut Sawitri, sering dibahasakan dengan cara yang berbeda. ”Mereka juga berdasarkan pengalamannya memikirkan bagaimana cara menghindari, kapan harus menghindari,” katanya.

Namun, menurut Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Surono, pengetahuan itu juga harus terus diasah dan diperbarui. ”Masyarakat biasanya membaca tanda-tanda alam menggunakan feeling atau ilmu titen (kebiasaan) dalam bahasa Jawa,” katanya.

KOMPAS/ IWAN SETIYAWAN

Kompleks Candi Gunung Kawi di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar, Bali, Sabtu (8/10/2011), yang dibangun pada abad ke-11 mengapit Sungai Pakerisan. Candi ini dipahat pada tebing batuan vulkanik dan difungsikan sebagai tempat pemujaan dan petirtan.

Ilmu titen ini biasanya didasarkan pada kebiasaan dan perilaku gunung api yang pernah dialami masyarakat. Padahal, ingatan manusia sangat pendek, sedangkan periodisasi letusan gunung api sangat panjang. Selain itu, karakter dan sifat gunung api juga bisa berubah-ubah.

Surono mengingatkan, beberapa indikator alam yang kasatmata, seperti binatang-binatang yang turun dari gunung menjelang letusan, juga sudah sulit jadi ukuran. ”Sekarang binatang diburu dan jarang sekali ada di gunung, jadi indikatornya sudah berubah,” ujarnya.

Karena itu, lanjut Surono, ilmu bumi yang kuat dan didasarkan pada penelitian serius serta penyediaan alat-alat pemantauan yang kuat mutlak diperlukan untuk memperbaiki kemampuan mitigasi.

Sawitri mengatakan, seharusnya ada dialog kebudayaan yang menjembatani kesenjangan antara pemangku kekuasaan yang menggunakan pendekatan mitigasi modern dan masyarakat tradisional yang masih memegang kepercayaan spiritual terhadap gunung. Pendekatan antropologi harus dilakukan dalam mitigasi bencana, sejalan dengan kemajuan alat-alat pemantauan modern.

KOMPAS/ BAHANA PATRIA GUPTA

Umat Hindu mengikuti sembahyang Purnama Kapat di Pura Agung Besakih di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Kamis (5/10/2017). Sembahyang ini digelar dengan pengamanan ketat aparat karena Pura Agung Besakih berada pada zona kawasan rawan bencana Gunung Agung.

Surono membuka tangan lebar-lebar terhadap upaya dialogis ini. ”Peran pemerintah daerah untuk masuk ke dimensi ini dan berdialog dengan warganya. Kami akan membantu dengan menyampaikan pendapat dan hasil pemantauan termutakhir,” katanya.

Terkait dengan bencana alam, semua pihak semestinya rendah hati.

Terkait dengan bencana alam, semua pihak semestinya rendah hati. Hal ini karena persoalan bencana alam tidak bisa sepenuhnya diselesaikan dengan modernisasi pengetahuan ataupun oleh ingatan manusia yang terbukti terlalu pendek untuk membaca semua pola letusan Gunung Api. Ingatan dan budaya tanggap bencana harus terus diperbarui dengan semangat rendah hati karena ada sesuatu yang tidak terukur terkait dengan perilaku alam. Orang Bali menyebut perilaku alam yang sulit diraba ini sebagai niskala.

Artikel Lainnya