Kompas/Lucky Pransiska

Nelayan Muara Gembong mengumpulkan ikan hasil tangkapan di Dusun Muarajaya, Desa Pantai Mekar, Kecamatan Muaragembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Minggu (27/3). Tangkapan ikan nelayan setempat menurun, salah satunya karena kualitas air yang bermuara ke lokasi tersebut tercemar beragam limbah. Foto di halaman 15

Pangan

Ekspedisi Citarum: Mereka Terus Terjerat Lingkaran Kemiskinan

·sekitar 4 menit baca

Jerat kemiskinan seolah tak mau lepas dari kehidupan warga pesisir. Hal itu pula yang dialami masyarakat di hilir Sungai Citarum, Jawa Barat. Bagai di dalam jebakan, mereka tak bisa lepas dari kemiskinan struktural yang diakibatkan buruknya kualitas lingkungan, rendahnya pendidikan, bobroknya infrastruktur, dan minimnya perhatian pemerintah.

Sukandi (40), warga Muarajaya, Desa Pantai Mekar, Kecamatan Muara Gembong, Kabupaten Bekasi, sejak 15 tahun lalu berupaya mengurai jerat kemiskinan itu dengan setia menata jaringnya setiap pagi. Dibantu dua anak perempuannya, ia menata jaring rajungan yang akan dibawa melaut bersama adiknya, Sukana (35).

“Tiga tahun terakhir rajungan sangat sulit didapat. Banyak rajungan yang mabuk karena terkena limbah. Dulu saya bisa memperoleh 15-20 kilogram rajungan. Sekarang bisa menjaring 1 kilogram rajungan sudah untung. Saya pernah hanya mendapatkan 4 ons dalam sehari,” tutur bapak tujuh anak itu.

Padahal, sekali melaut ia memerlukan 8 liter solar. Harga per liter solar Rp 6.500 sehingga untuk biaya bahan bakar saja ia perlu Rp 52.000. Dengan hanya memperoleh 1 kg rajungan seharga Rp 23.000 dari bandar ikan, Sukandi pun merugi. Ia dan adiknya terpaksa berutang ke warung atau bandar untuk modal melaut esok hari.

“Utang baru tertutup kalau besok mendapatkan rajungan lebih banyak. Namun, sering kali enggak tertutup dan utang malah menumpuk,” ujarnya sambil terus mengurai jaring di tangannya. Jaring itu akan dipasang pada sore hari dan diambil besok paginya.

Jadi pemulung

Untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, Sukandi dan nelayan lain di Muarajaya menjadi pemulung plastik, botol air mineral, dan barang bekas di tepi hutan bakau. Anak-anak nelayan setempat seusai pulang sekolah langsung mencari plastik. Mereka menyebut sampah plastik dengan “mainan”. Plastik itu dijual kepada pengepul keliling seharga Rp 1.700 per kg. Dalam sehari, anak-anak itu bisa mendapatkan 4 kg sampah.

Istri Sukandi, Inah (34), yang masih menyusui anak berusia dua tahun, juga membanting tulang dengan membuat ikan asin bersama ibunya. Satu ikan asin ukuran sedang dijual Rp 1.000. Dalam sehari ia bisa memperoleh Rp 5.000 dari menjual ikan asin. “Hasil ini lumayan untuk jajan anak-anak,” kata Inah.

Ali (68), nelayan lain, juga merasakan tangkapan ikan terus menurun. Setiap hari ia berangkat subuh dan pulang pukul 13.00. Ali yang berani melaut hingga 500 meter dari mulut muara ini mampu membawa pulang ikan belok atau kembung rata-rata 1-2 kg. Namun, lebih sering ia gagal total.

Pencemaran sungai dan terbatasnya alat tangkap membuat hasil tangkapan menurun dari waktu ke waktu. Belum lagi kenaikan harga ikan tidak sebanding dengan lonjakan harga beras, elpiji, dan bahan kebutuhan lain. Setelah dipotong biaya balok es dan pengiriman oleh pengepul, Ali hanya mendapat Rp 25.000-Rp 30.000. Itu belum dikurangi biaya 4 liter solar sebesar Rp 22.000 untuk bahan bakar perahu. Artinya, penghasilan bersihnya Rp 3.000 sehari.

Beban hidup nelayan di hilir Citarum kian mencekik manakala abrasi menerjang perkampungan mereka. Jalan kampung sejauh 7 kilometer di Muarajaya rusak parah akibat abrasi. Jalan beton pecah dan mengelupas sehingga tidak bisa dilewati kendaraan bermotor. Rumah nelayan yang berhadapan dengan mulut muara Citarum pun hancur.

Abrasi di pesisir Muarajaya memang dahsyat. Sekitar 10 tahun lalu, menurut Ali, jarak laut dengan rumahnya masih 100 meter. Namun, kini tinggal 5 m. Saat memasuki rumah Ali, lantainya gelap dan kotor karena endapan lumpur. Tak ada perkakas berharga selain televisi 14 inci. Selain rumah Ali, terdapat tiga rumah lain yang roboh.

Kerusakan infrastruktur

Kerusakan infrastruktur akibat abrasi lambat ditangani pemerintah. Selama empat bulan, jalan kampung yang rusak berat tak diperbaiki. Sebelum abrasi, jalan kampung itu pun sudah tidak layak dilewati. “Anak saya sulit sekolah karena jalan rusak. Tidak ada ojek mau masuk kampung sehingga ia harus berjalan kaki keluar kampung sejauh 7 km,” ungkap Sukandi.

SMP terdekat dengan Muarajaya berjarak sekitar 15 km, sedangkan SD terdekat berjarak 6 km. Adapun puskesmas berjarak sekitar 5 km. Ketiadaan jalan darat yang baik membuat warga kesulitan bersekolah dan mendapatkan layanan kesehatan yang optimal. Selain jalan kaki, perahu menjadi pilihan utama. Namun, perahu tidak selalu ada sebab jumlahnya terbatas. Tak mengherankan, pendidikan warga di hilir Citarum masih rendah.

Keberadaan sejumlah tempat pariwisata ternyata tak mampu mendongkrak perbaikan hidup warga di hilir Citarum. Misalnya, Pantai Tanjungpakis, Karawang. Pantai yang berjarak sekitar 100 km dari pusat kota itu hanya ramai pada akhir pekan, libur sekolah, dan hari raya. Padahal, lokasi ini menjadi unggulan pariwisata di Kabupaten Karawang.

Masyarakat di hilir Citarum sudah lama mendambakan bisa keluar dari jebakan kemiskinan dan meraih kualitas hidup yang lebih baik. Namun, impian mereka masih sulit diraih karena selalu terabaikan. Menyedihkan. (GREGORIUS M FINESSO/CORNELIUS HELMY)

Artikel Lainnya