KOMPAS/MUKHAMAD KURNIAWAN

Warga memperbaiki perahu di area genangan Waduk Ir H Djuanda yang surut di Desa Jatimekar, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Rabu (9/3). Tinggi muka air waduk terus menurun dalam dua bulan terakhir seiring berkurangnya curah dan intensitas hujan di daerah aliran Sungai Citarum.

Industri

Industri Perahu: Karamnya Industri Perahu Cikaobandung

·sekitar 3 menit baca

Selamat Dtang di Kampung Perahu Kampung Batujaya Desa Cikaobandung. Kalimat sambutan tanpa huruf “a” pada kata “datang” itu terpampang di gapura besi setinggi 10 meter di jalan masuk menuju Desa Cikaobandung, Kecamatan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat. Gapura itu seperti ingin menegaskan Cikaobandung sebagai sentra pembuatan perahu kayu.

Akan tetapi, informasi tentang banyaknya pembuat perahu di desa itu belum terlihat buktinya. Di jalan desa sejauh dua kilometer (km) hanya satu perahu yang ditinggalkan perajinnya. Indikasi karamnya pembuatan perahu di desa yang berjarak sekitar 15 km dari pusat kota Purwakarta ini menguat.

Berdasarkan cerita para perajin, ketenaran Cikaobandung sebagai kampung perahu tidak lepas dari peran Haji Mansyur. Perajin hawu (kapur) ini adalah pembuat perahu pertama di Cikaobandung. Perahu itu digunakan mengangkut bahan baku hawu berupa cangkang kerang. Rutenya adalah Sungai Cikaobandung-Sungai Citarum-Muaragembong-Tanjung Priok.

Menilik penggunaan Citarum sebagai jalan utama, bisa disimpulkan aktivitas itu dilakukan sebelum 1925. Alasannya, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda membendung Citarum dengan membangun Bendungan Walahar untuk irigasi pada 1925. Keberadaan Walahar membuat alur Citarum memiliki pintu yang tidak bisa dilewati oleh perahu.

Entang, salah satu perajin, mengatakan, masa emas pembuatan perahu terjadi hingga akhir 1990. Saat itu, ada 20 perajin aktif membuat perahu. Setiap perajin memiliki 4-5 pekerja. Dalam sebulan menerima pesanan rata-rata 20 perahu. “Dari perahu, saya mampu membangun rumah seharga Rp 21 juta,” ujarnya bangga.

Adi (61), perajin lainnya, mengaku memproduksi sekitar 600 perahu berbagai ukuran sejak 1980. Sebanyak 400 unit di antaranya dipesan penambang pasir di Citanduy dan 200 lainnya dipesan penambang pasir di Citarum.

Sebuah perahu biasanya dikerjakan perajin selama empat hari. Bagian tersulit adalah membuat sambungan antar lembar kayu jati di dinding perahu. Keduanya penentu perahu tidak oleng atau bocor saat berlayar. Perajin membanderol perahu seharga Rp 2 juta dengan jaminan tiga tahun. Konsumen terbesar perahu Cikaobandung adalah penambang pasir Sungai Citarum dan pembudidaya ikan di Waduk Jatiluhur.

Minim pesanan

Nama besar kampung perahu itu kian tenggelam karena minimnya pesanan. Ini diakibatkan makin berkurangnya aktivitas penambangan pasir di Citarum. Pasir sulit didapat karena dasar Citarum tertutup lumpur. Akibatnya, penambang beralih profesi jadi buruh tani. Sentra produksi perahu Cikaobandung kini menyisakan dua perajin dengan empat pekerja.

Ledakan pembudidaya ikan di Jatiluhur mengakibatkan waduk kian sesak sehingga tidak ada pembukaan usaha jaring apung baru. Akibatnya, perahu pun jarang dipesan.

Entang menuturkan, pada era 90-an pesanan perahu mulai turun drastis. Sebelumnya, ia bisa meraih penghasilan Rp 600.000 per hari. Kini, Entang terpuruk sebagai buruh pembuat perahu yang setiap harinya dibayar Rp 60.000. Padahal, untuk membiayai lima anggota keluarganya dibutuhkan Rp 40.000 per hari. Ia pun kini terpaksa menumpuk utang di warung tetangga sebesar Rp 600.000.

Sepinya pesanan perahu besar bagi penambang pasir membuat Entang mengalihkan pembuatan ke perahu yang lebih kecil untuk transportasi petambak ikan Jatiluhur. Jika harga perahu besar berukuran 9 m x 7 m mencapai Rp 2 juta, perahu kecil ukuran 7 m x 12 m hanya Rp 500.000. Perahu jenis ini biasanya lebih cepat terjual karena harganya lebih murah. Dalam sebulan biasanya ada dua perahu kecil yang terjual.

Adi menambahkan, hingga kini ia masih menyimpan perahu yang belum laku terjual sejak 5 tahun lalu. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia menjadi buruh pencari kayu bakar yang kemudian dijual Rp 30.000 per kubik.

Krisis itu membuat generasi muda setempat mulai kehilangan semangat meneruskan pembuatan perahu. Yusuf (32), misalnya, memilih jadi perajin mebel lemari, pintu, atau kusen. Untuk lemari harganya Rp 1 juta-Rp 1,5 juta tergantung ukuran, sedangkan kusen Rp 500.000 per pintu. Keuntungan Rp 300.000-Rp 500.000 per bulan.

Pembuat perahu juga semakin jarang ditemui di Tegalwaru. Oman (45), pembuat perahu kayu yang tersisa di Kampung Cilangohar, Desa Pasanggrahan, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Purwakarta, mengatakan, sekitar 1980 hingga awal 1990 masih ada empat pembuat perahu di Kampung Cilangohar. Namun, sekarang yang bertahan hanya dirinya.

Kini, perahu bikinan Oman untuk muatan 4 ton dihargai Rp 12 juta, sedangkan perahu bermuatan maksimal 6 ton seharga Rp 15 juta. Kebanyakan konsumen memesan perahu kecil dengan panjang lima meter seharga Rp 5 juta. Perahu buatan Omen berbahan baku kayu jati.

Seiring makin berkurangnya pembuat perahu, sejarah panjang Citarum sebagai jalur transportasi air yang ramai kian mendekati masa akhir. Budaya sungai pun tanpa disadari kian terkikis karena perbuatan manusia yang banal dan abai pada lingkungan. (CHE/REK/GRE)

Artikel Lainnya