Kompas/Totok Wijayanto

Anak-anak, Senin (25/4), bermain bola di bekas lapangan futsal di Desa Citeureup, Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang tidak terawat karena terlalu sering digenangi banjir dari luapan Sungai Citarum. Tempat yang dahulu sempat menjadi lokasi ibu kota Bandung yang didirikan Tumenggung Wiraangun-angun pada abad ke-18 itu saat ini telah menjadi daerah langganan banjir.

Industri

Industrialisasi: Kala Bandung Lupa Sungai

·sekitar 4 menit baca

Industrialisasi di Bandung tidak hanya mengubah wajah Sungai Citarum, tetapi juga mengubah cara hidup “urang” Bandung. Perekonomian warga berkembang, tetapi warganya kian terasing dari sungai.

Begitu perupa Tisna Sanjaya memarkir motornya di depan hamparan padang plastik berukuran sekitar 25 meter x 25 meter, warga Kelurahan Cigondewah Kaler langsung mengelukannya. “Kumaha damang Kang Kabayan?” beberapa warga menyapa bertanya kabar, berebut bersalaman.

Tisna memang terkenal sebagai Kang Kabayan, lantaran ia menjadi pembawa acara talkshow televisi lokal, Kabayan Nyintreuk. Si Kabayan menjejaki hamparan sampah itu, mengenang masa kecilnya.

“Dulu ini kolam, situ, yang airnya begitu jernih. Warga bahkan mengambil air wudu di situ itu,” tutur Tisna.

Kini, sampah plastik aneka warna, karton bekas, juga potongan busa dan beling, terhampar menjadi pemandangan setiap rumah yang berjajar mengelilingi bekas situ tersebut. Tisna bersemangat mengisahkan cita-citanya menyulap hamparan plastik itu menjadi hutan kota yang teduh dan hijau tanpa plastik. Namun, “protes” Amas (62) membuyarkan angan Tisna.

“Kalau Kang Kabayan membuat hutan di sini, lalu di mana saya harus menjemur plastik? Lapangan ini satu-satunya tempat menjemur plastik dan kertas semen saya,” ujar Amas.

Tisna merindukan sungai yang berair jernih. Tetapi air di tempat itu kini selalu berganti warna mengikuti warna limbah buangan pabrik. Namun, Amas yang juga orang asli Cigondewah Kaler punya ingatan masa yang berbeda.

“Dulu Cigondewah memang lumbung beras. Saya dulu buruh tani, tidak pernah punya sawah meski Blok Sawah di Cigondewah kondang sebagai lumbung beras. Kini saya pengumpul plastik dan kertas semen, dan memiliki penghasilan yang lebih baik daripada menjadi buruh tani. Memang air tanah kami kini rusak sehingga kami harus membeli air untuk memasak seharga Rp 1.500 per 20 liter,” ujar Amas.

Kumuh miskin

Pabrik aneka industri di Kabupaten Cimahi dan Bandung tidak hanya memerah-kuning-hijaukan Sungai Cikendal, anak Sungai Citarum yang membelah Cigondewah Kaler. Industrialisasi yang dimulai sejak akhir tahun 1970-an itu juga menyediakan peluang usaha baru.

Cigondewah Kaler yang dulu kampung jawara, “Jago Bobok – Jago Tarok”, kini dikenal sebagai kampung “Kuya-Kumis”. Kuya-Kumis itu satir kehidupan Cigondewah Kaler, pelesetan kata “kumuh kaya” dan “kumuh miskin” yang hidup dengan menampung aneka sampah pabrik.

Plastik dilebur ulang menjadi bijih, sisa kain pabrik tekstil menjadi keset perca, karung bekas dicuci, kardus bekas dipilah, makanan kedaluwarsa disulap menjadi pakan ternak. Segala sampah pabrik menjadi pundi-pundi uang di Cigondewah.

Di kelurahan seluas 140 hektar itu ada 1.687 usaha kecil dan menengah, 432 usaha perdagangan, 65 warung, dan toko. Dari 16.000 penduduknya, hanya 278 orang yang menjadi petani. Jika 30 tahun lalu 90 persen lahan di Cigondewah Kaler adalah sawah, luasan sawah tersisa kurang dari 16 hektar.

“Puncaknya pertumbuhan ekonomi Cigondewah Kaler terjadi sebelum krisis moneter 1997. Mobil mewah itu barang biasa di Cigondewah. Saya kerap mencicipi rasanya menyetir mobil keluaran terbaru, diajak warga menjajal mobil baru mereka,” tutur Lurah Cigondewah Kaler Maulana Fatahudin.

Arif (24) dan adiknya, Ujang (23), bekerja di penimbunan plastik orangtuanya. Setiap hari mereka membakar hingga 200 kilogram sampah plastik menjadi gumpalan plastik yang lantas dicacahnya menjadi bijih plastik siap daur ulang. “Untuk membakar plastik, kami memakai plastik tidak lolos sortir,” kata Arif. Setiap bulan, bapak satu anak itu menerima upah Rp 1,1 juta hingga Rp 1,7 juta.

Kemenakan dan tetangga mereka, Yusuf (13) dan Nanan (13), mulai “magang” bisnis sampah dengan menjadi buruh cuci plastik. “Saya tidak melanjutkan sekolah ke SMP, lebih baik bekerja daripada sekolah,” kata Yusuf sembari menjejalkan segunung plastik bening yang telah dicucinya di Sungai Cicukang ke dalam karung goni.

Yusuf dan teman-temannya adalah saksi bagaimana belajar mengurus sampah lebih menjanjikan masa depan ketimbang sekolah. Separuh warga Cigondewah Kaler tidak pernah bersekolah, atau tidak lulus SD, seperempat lainnya hanya “Sarjana Dasar”. Tak ada SMP dan SMA di Cigondewah Kaler.

Beberapa tahun mendatang, Yusuf akan menikahi gadis Cigondewah. “Sangat jarang terjadi orang Cigondewah menikahi orang luar Cigondewah. Urbanisasi ke Cigondewah hampir tidak ada, jadi akulturasi jarang terjadi. Mereka yang ‘kuya’ orang asli Cigondewah, yang ‘kumis’ juga asli Cigondewah. Industrialisasi memberikan segala peluangnya, tetapi kualitas hidup masyarakat kami tidak lebih baik,” ujar Usep Yudha Prawira, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Cigondewah Kaler.

Perubahan hidup

Cigondewah Kaler hanya potret kecil perubahan hidup permukiman di Daerah Aliran Sungai Citarum dan anak-anak sungainya yang dikepung pabrik.”Ada yang menjadi kantong urbanisasi, ada pula yang menjadi gudang pengusaha seperti Cigondewah,” kata antropolog Universitas Padjajaran, Budi Rajab.

Bukan sungai yang tercemar yang memaksa warga bersalin jalan hidup. Namun, daya pikat peluang yang dimunculkan industrialisasilah yang mengubah mereka.

“Bagi orang Sunda, sungai dan air hanya instrumen ekonomi. Berbeda dengan orang Dayak misalnya, yang menempatkan sungai sebagai bagian dari kehidupan ritualnya,” tutur Budi Rajab.

Warga mengabaikan kerusakan DAS Citarum dan anak sungainya, karena merasa manfaat ekonomi pabrik pencemar dianggap cukup menggantikan manfaat ekonomi sungai, bahkan dengan pendapatan yang lebih besar.

“Kalau kami tidak segera membangun kebudayaan sungai kami, pastilah DAS Citarum akan semakin hancur,” kata Budi.

Tisna mencoba membangunnya di Cigondewah melalui Pusat Kebudayaan Cigondewah, yang kerap menggarap kehancuran lingkungan Cigondewah sebagai inspirasi proses kreatif bersama warganya. “Kami tidak bisa mengkritik frontal kehancuran lingkungan Cigondewah. Melalui seni, kami mencoba menginspirasi, mengajak warga memikirkan sungai dan airnya. Memang tidak mudah,” ujar Tisna. (ARYO WISANGGENI G)

Artikel Lainnya