Kompas/Dedi Muhtadi

Comro kering (comring), makanan ringan hasil karya usaha ibu-ibu rumah tangga di Kota Cimahi, dikemas secara baik. Selain agar terjamin kesehatannya, juga dimaksudkan untuk menarik minat konsumen.

Industri

Kesejahteraan Daerah: Cimahi Punya Rumah Desain dan Kemasan

·sekitar 5 menit baca

Di sebuah toko makanan di Kota Cimahi, Jawa Barat, ada makanan ringan comring terbungkus dengan dus cantik berwarna kuning kemerahan. Di belakang dus berukuran 10 x 25 sentimeter tertulis izin Depkes-MUI yang menyatakan makanan itu sehat dan halal, produksi Mustika Sari dengan huruf tebal hitam cukup profesional.

Sepintas makanan kecil berkomposisi singkong, cabai, bawang, gula, garam, dan ketumbar tersebut seperti produk industri besar. Padahal, camilan yang terbungkus rapi lengkap dengan ukuran beratnya itu buatan ibu-ibu rumah tangga yang tinggal di gang sempit, Jalan Leuwi Gajah Blk 128, Kelurahan Cigugur Tengah, Kota Cimahi.

Begitu juga sumpia, makanan renyah dan gurih berbahan baku udang kering yang terbungkus dengan dus warna kuning dan merah jambu. Produsennya tertulis ChanTika Dewi beralamat di Jalan Raya Cilember Cigugur Tengah, Kota Cimahi. Ternyata, “pabrik”-nya terletak di gang sempit Tunggal Bakti 5/7 RT 04 RW 06 yang tempat penggorengannya bersatu dengan teras rumah berukuran 5 x 7 meter.

“Kami sudah 11 tahun memproduksi comring (comro kering),” ungkap Sardjo, suami Bu Enok, panggilan akrab Ny Warni, sambil membungkus comring yang sudah digoreng. Comring-comring tersebut diletakkan di sebuah wadah di atas kursi panjang tengah rumah yang bersatu dengan dapur. Comro sendiri adalah makanan tradisional Sunda yang berarti oncom dijero (di dalam). Sebelum digoreng, oncom diletakkan di dalam parutan singkong yang dibentuk bulat-bulat.

Dalam pembuatan comring, Bu Enok bertugas membuat adonan dari singkong parutan dan membumbuinya. Setelah siap goreng lalu disebarkan ke 5 kelompok ibu-ibu tetangganya yang masing-masing kelompok beranggotakan 3 orang. Setelah comring matang disetorkan kembali ke Bu Enok untuk dibungkus dan diberi label.

Dari hasil penggorengan itu, tiap anggota memperoleh penghasilan rata-rata Rp 30.000 per hari. “Lumayan untuk meringankan beban suami,” ujar Ny Ika Rostikawati (31) yang menjadi mitra Bu Enok. Dengan pola tersebut, selain menyebarkan usaha dan menambah penghasilan rumah tangga, juga menyebarkan usaha.

Hal yang sama juga dilakukan Ny Ai Tarmini bersama 10-15 ibu-ibu tetangganya. Selain di Cimahi dan Bandung, Ai juga menjual makanan tradisional tersebut ke Jakarta dan area istirahat di Jalan Tol Cikampek dan Cipularang.

“Kami juga membantu menjualkan comring dan beberapa makanan ringan hasil ibu-ibu lainnya di Cimahi,” ujar Ai Tarmini yang menggeluti sumpia sejak tahun 2005. Merek dari hasil kerajinan tangan Ai Tarmini sudah memperoleh hak cipta dari Departemen Hukum dan ham. Di kartu namanya juga tercantum alamat lengkap website dan e-mail.

Layanan RDKC

Ibu-ibu rumah tangga itu merupakan dua di antara 30 pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menerima bantuan stimulan kemasan dari Rumah Desain Kemasan Kota Cimahi (RDKC), unit pelaksana teknis di bawah Dinas Koperasi Perindustrian, Perdagangan, dan Pertanian (Diskopindagtan) Kota Cimahi yang bertugas melayani kebutuhan UMKM melalui berbagai konsultasi.

Mereka, misalnya, memberi informasi detail proses desain, dan aliran proses pembuatan bungkus produk sampai pencetakan. Dengan begitu diharapkan setiap pembungkusan atau pengemasan yang dikeluarkan punya karakteristik dan memberi dampak lebih besar terhadap usaha mereka.

Konsultasi pengembangan pemasaran produk-produk UMKM setelah mendapatkan kemasan baru melalui akses pasar yang dijalin oleh tim RDKC ataupun informasi-informasi potensi pasar untuk produk-produk itu. Konsultasi manajemen baik produksi, keuangan, maupun pemasaran dan distribusinya di mana bagi UMKM yang telah mapan agar dapat melakukan kegiatan produksinya dengan nuansa pemberdayaan.

Yaitu, melibatkan masyarakat sekitar agar ikut dalam kegiatan usaha itu. Atau melakukan hal yang sama dan produksinya ditampung dan dipasarkan melalui akses pasar yang telah berjalan. “Dengan begitu diharapkan dapat tercipta sentra produksi sejenis di wilayah tersebut,” kata Harjono, Kepala Humas Pemerintah Kota Cimahi.

Menawarkan kerja sama dalam pengemasan produk melalui fasilitas mesin-mesin kemasan yang dimiliki oleh RDKC. Setelah itu, konsultasi tentang perizinan yang menjadi persyaratan sebuah produk. Khususnya produk olahan makanan serta konsultasi persyaratan-persyaratan kemasan untuk dapat masuk dalam beberapa segmen pasar.

Didukung APBD

Tiap tahun, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Cimahi menganggarkan belanja langsung untuk UMKM ini sekitar Rp 5 miliar. Akan tetapi, khusus untuk RDKC dialokasikan dana Rp 300 juta-Rp 500 juta per tahun. Wali Kota Cimahi HM Itoc Tochija menjelaskan, pengembangan UMKM didasari oleh kenyataan bahwa warga Cimahi tingkat daya belinya masih di bawah rata-rata Jabar.

Padahal, derajat kesehatan dan pendidikan sudah di atas rata-rata Jabar. Karakteristik Kota Cimahi ini adalah industri, tetapi sejak krisis ekonomi berlangsung sudah 58 industri berhenti. Dengan komposisi tenaga kerja 60 persen dari luar dan 40 persen dari Kota Cimahi, hal itu berpengaruh terhadap pendapatan warga.

Akibatnya, di daerah kantong-kantong di dekat industri penghasilan warga terbatas. Malah penghasilan mereka banyak yang kurang dari upah minimum kota. Dari kenyataan itu, Pemkot Cimahi lalu mencari formulasi untuk mengembangkan UMKM. Pertama, memfasilitasi program maklun, yakni mengupahkan pengerjaan barang pada pihak lain.

Misalnya, industri komponen kendaraan yang memaklunkan suku cadangnya kepada UMKM. Ini terjadi di industri otomotif, misalnya karet-karet penahan benturan antarbesi dengan besi. Kedua garmen yang sekarang ini pasarnya masih bisa diandalkan.

Ketiga adalah kuliner yang terutama diarahkan untuk kemampuan meningkatkan kualitas higienis produk hingga memasarkannya. Pemkot Cimahi lalu menyediakan Sekolah Jumat yang dikelola oleh ibu-ibu PKK. Di sini para pelaku UMKM dilatih cara dari memproduksi, menggoreng, hingga membungkus makanan sehat.

Hingga kini sudah 86 pengusaha UMKM bidang kuliner dibimbing mulai dari pembungkusan hingga pemasaran. Untuk mendukung tenaga ahli, disediakan Jurusan Tataboga pada SMK III Cimahi. Di SMK ini terdapat tempat pelatihan bagi para pelaku UMKM.

Cimahi yang letaknya terjepit oleh Kota Bandung, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat memiliki 3 kecamatan, 15 kelurahan, 307 rukun kampung/warga, dan 1.675 rukun tetangga (RT), berpenduduk 522.731 jiwa (2007). Kota dilewati Sungai Cimahi yang bermuara ke Sungai Citarum.

Melihat fakta tersebut, program pembangunan harus langsung diarahkan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat berbasis keluarga. Di tiap-tiap RT yang memiliki potensi usaha dibuat proyek perintis lalu dibina oleh RDKC. Kemudian ada pelatihan sehingga mereka memiliki kemampuan berusaha.

Asisten Ekonomi Pembangunan Kota Cimahi, Syamsul Hidayat, menambahkan, RDKC juga diarahkan menjadi badan usaha milik daerah (BUMD). Pelaku UMKM yang sudah menerima stimulan kemasan, seterusnya berlangganan bungkus/kemasan bagi produknya yang desainnya dibuat di RDKC. (DEDI MUHTADI)

Artikel Lainnya