KOMPAS/ARUM TRESNANINGTYAS

Pabrik Tekstil Belum Beroperasi - Meski banjir sudah surut, sejumlah pabrik tekstil di kawasan Dayeuhkolot dan Baleendah masih belum beroperasi. Banjir masih menyisakan lumpur seperti terlihat di depan pabrik PT Tridaya Sinarmas Meski banjir sudah surut, sejumlah pabrik tekstil di kawasan Dayeuhkolot dan Baleendah masih belum beroperasi. Banjir masih menyisakan lumpur, seperti terlihat di depan pabrik PT Tridaya Sinarmas Pusaka yang berlokasi di Kampung Cieunteung, Kelurahan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.

Industri

Kerusakan Citarum: Industri Tekstil – Kerap Hadapi Dilema

·sekitar 3 menit baca

Banjir tahunan Sungai Citarum di Cekungan Bandung menimbulkan dilema bagi sekitar 600 industri tekstil dan produk tekstil yang berlokasi di sepanjang daerah aliran sungai itu. Kendati dituduh sebagai penyumbang pencemaran Citarum, ada keterikatan ekonomi kuat antara industri dan masyarakat setempat selama puluhan tahun.

Ini sebabnya wacana relokasi tidak mudah diwujudkan. Padahal, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang menjadi penopang roda ekonomi di Majalaya, Baleendah, Banjaran, Dayeuhkolot, hingga Rancaekek, Kabupaten Bandung, itu merugi hingga Rp 60 miliar per tahun tiap kali dilanda banjir. Di luar itu, kerusakan jalan kian parah dan terimpit permukiman penduduk memicu biaya ekonomi tinggi.

Bahkan, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat Deddy Wijaya mengatakan, saat banjir Citarum melanda selama sebulan pada Maret 2010, kerugian semua jenis industri di Kabupaten Bandung, Purwakarta, dan Karawang mencapai Rp 200 miliar. Kerugian dialami lebih dari 200 perusahaan. Selain TPT, pabrik-pabrik yang berhenti operasi juga bergerak dalam bidang otomotif, elektronik, dan tekstil.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudradjat mengatakan, bencana banjir di wilayah Bandung selatan makin parah sejak awal 2000. Selain berhenti beroperasi, industri TPT juga harus menanggung upah buruh yang libur selama banjir, kerusakan bahan baku dan mesin, serta denda dari importir akibat keterlambatan pengiriman.

“Untuk mengejar tenggat waktu pengiriman, pengusaha terpaksa mengirimkan barang melalui pesawat yang harganya enam kali lebih mahal dibandingkan lewat jalur laut,” ujar Ade yang juga mantan Ketua API Jabar tersebut, akhir Maret lalu.

Ketua Apindo Kabupaten Bandung Jimmy Kartiwa menilai, tekstil China siap menguasai pasar dunia. Jika industri TPT lokal tidak mampu memenuhi pesanan karena terhambat banjir, importir bakal beralih ke produk China yang harganya lebih murah.

Bandung selatan menjadi sentra TPT sejak 1970. Wilayah itu termasuk penyumbang utama ekspor tekstil nasional. Dari data API, ekspor tekstil nasional tahun 2010 mencapai 11,2 miliar dollar AS atau sekitar Rp 100,8 triliun. Pangsa pasar lokal Rp 4,5 triliun. Sekitar 60 persen dari omzet Rp 105,3 triliun atau Rp 60 triliun disumbang Jabar.

Sekitar Rp 40 triliun di antaranya adalah penjualan produk TPT di wilayah Bandung dan sekitarnya. Industri tekstil di sekitar alur Sungai Citarum mempekerjakan sedikitnya 500.000 tenaga kerja.

Sumbang pencemaran

Kendati demikian, kehadiran industri TPT kerap menimbulkan pencemaran DAS Citarum. Industri tersebut jarang mengoperasikan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) yang baik, bahkan sebagian besar membuang limbahnya secara langsung ke Sungai Citarum tanpa diproses terlebih dulu.

Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung melansir, setiap hari limbah yang dibuang industri-industri ke dalam DAS Citarum di Kabupaten Bandung sekitar 1.320 liter per detik atau setara 270 ton. Realita ini tidak ditampik pihak pengusaha.

Dari sekitar 600 industri TPT di Citarum, hanya 10 persen mengoperasikan IPAL sesuai standar. Suplai limbah terbesar adalah industri pencelupan yang jumlahnya sekitar 35 persen. Disusul pintal, tenun, perajutan, pengecapan, dan garmen.

“Sebenarnya bisa saja dibuat IPAL terpadu yang biayanya mencapai Rp 100 miliar dan bisa diakses 30 industri. Namun, jika tidak dibantu pemerintah, tetap saja pengusaha akan berhitung untung ruginya,” terang Ade Sudradjat. (GRE)

Artikel Lainnya