KOMPAS./RETNO BINTARTI

TIBA DI GANA--Kapal Borobudur akhirnya tiba di Pelabuhan Tema, Accra, setelah menempuh perjalanan sekitar enam bulan. Rencananya, kapal ini akan dijadikan monumen di kawasan Borobudur agar masyarakat tahu bahwa kapal kayu ini telah berhasil mengarungi samudra sejauh 11.000 mil.

Pelayaran Kapal Borobudur

Di Gana Ekspedisi Pun Berakhir

·sekitar 4 menit baca

DI GANA, EKSPEDISI PUN BERAKHIR

SUASANA penuh kegembiraan cukup terasa dalam resepsi menyambut keberhasilan pelayaran kapal Borobudur, Rabu malam, di sebuah gedung pertemuan, di Accra, Gana. Sekitar 200 orang yang hadir sebagian besar belum juga beranjak pulang, bahkan setelah acara resmi dan pertunjukan tari selesai sekitar pukul 22.30 waktu setempat.

ACARA tersebut memang khusus diadakan untuk menyambut pelayaran kapal Borobudur yang dua hari sebelumnya secara mengagumkan berhasil menyelesaikan misinya, menyelusuri kembali rute yang dulu ditempuh nenek moyang bangsa Indonesia.

Kapal kayu Borobudur berlabuh dengan selamat di Accra, ibu kota Gana, Senin (23/2), setelah mengarungi samudra sejauh sekitar 11.000 mil sejak 15 Agustus 2003. Rute tersebut dulu dikenal dengan sebutan rute kayu manis, dimulai dari Jakarta menuju Maldives-Madagaskar- Afrika Selatan melalui Tanjung Harapan, sebelum akhirnya berlabuh di Accra.

Para awak yang baru saja menyelesaikan perjalanan panjang itu tentu saja ada di antara tamu, yang terdiri dari keluarga Kedutaan Besar RI yang datang dari Nigeria, warga Indonesia di Gana, dan juga tuan rumah dari Kantor Kebudayaan Gana. Sama sekali tidak terlihat kelelahan di wajah para peserta pelayaran.

“Rasanya aneh, semalam kita tidur kok enggak ada goyangan. Soalnya, kalau mendarat pun kami tetap tidur di kapal,” ujar Niken Maharani, yang malam itu menunjukkan kebolehannya menari jaipongan bangau putih. Perempuan berusia 27 tahun ini merupakan salah satu dari dua wanita Indonesia yang ikut dalam ekspedisi Borobudur. Niken termasuk yang tuntas bergabung dari awal sampai selesai.

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika mengatakan, ekspedisi telah mencapai tiga sasaran. Salah satunya adalah keberhasilan dalam upaya melestarikan kembali tradisi nenek moyang.

Ia memberi apresiasi sangat tinggi kepada putra-putri Indonesia yang ikut serta dalam misi besar ini. Menurut Gede Ardika, prestasi yang telah mereka capai adalah di luar prestasi rata-rata warga.

Khusus kepada Philip Beale asal Inggris, yang menggagas ekspedisi ini, Gede Ardika menyampaikan penghargaannya. “Mimpi Anda telah menjadi kenyataan. Ekspedisi sudah berakhir, tetapi bukan berarti selesai. Justru inilah awal kita membuka cakrawala baru.”

***

BANYAK cerita menarik sepanjang perjalanan. Buat orang pada umumnya, pasti ngeri membayangkan perjalanan melewati samudra ketika ombak setinggi enam atau tujuh meter bergulung. Sementara besarnya kapal tak seberapa, dengan panjang 18,29 meter dan lebar 4,25 meter saja. Ditambah lagi, kapal sengaja dibuat semirip mungkin dengan yang dipakai nenek moyang bangsa Indonesia ketika berlayar ke Afrika pada abad ke-9. Tak satu pun paku besi digunakan untuk merangkai sambungan.

“Soal sambungan itu yang bikin takut kalau ombak sedang keras. Kalau ada bagian yang lepas gimana ya,” begitu cerita Irvan Risnandar yang baru bergabung dari Mossel Bay. “Soalnya, bagian bawah sebelah kanan bunyinya krek-krek-krek, keras sekali kedengaran di kuping,” ujarnya.

Seperti sudah diduga, perjalanan bukan tanpa hambatan. Bahkan, sempat terbetik kabar perjalanan akan dihentikan sebelum sampai Accra. “Dalam perjalanan Madagaskar-Afrika Selatan, kapal terkena badai dan layar hancur lebur. Ada info agar perjalanan jangan dilanjutkan karena kebanyakan orang tak selamat melewati Tanjung Harapan,” tutur Sulhan, yang sebelumnya sudah berpengalaman berlayar di Nusantara.

Kapten kapal I Gusti Putu Ngurah Sedana mengatakan, setelah melewati Tanjung Harapan, yang memang dikenal dahsyat, perasaan menjadi sangat lega. “Kita enggak lagi harus melotot dan baru setelah Cape Town kita benar-benar bisa menikmati perjalanan,” ucap kapten kapal ini.

Menurut dia, kalau angin atau hujan, mereka cukup mampu mengatasi dengan mulus. Namun, badai yang berkali-kali mereka alami diakui sulit diantisipasi. “Kondisi benar-benar tak menentu. Hari ini bagus, besok berubah drastis. Kita tidak pernah tahu. Saat sudah berada di tengah, tiba-tiba angin berubah,” katanya tentang perjalanan sebelum Tanjung Harapan.

Namun, di balik cerita mengenai kedahsyatan laut dan kisah kesulitan di perjalanan, toh banyak sekali terselip cerita-cerita menyenangkan. Sudirman, misalnya, mengaku menikmati betul perjalanan Borobudur. Buktinya, pria berusia 29 tahun ini badannya membengkak sampai 11 kilogram. “Makan terus mungkin, dulu berat saya sebelum berangkat 55 kg, sekarang 66 kg,” kata Sudirman, yang oleh rekan- rekan seperjalanannya dikenal pandai menyanyi.

Begitu juga Niken, yang berat badannya sempat naik sampai 12 kg. “Orang yang kenal saya pasti heran. Waktu berangkat berat saya 40 kg, waktu turun di Port Elizabeth, bulan Desember, eh 52 kg,” ucapnya.

Kemungilan wanita lulusan ilmu kelautan Institut Pertanian Bogor ini memang menjadi selorohan. “Waktu pertama lihat Niken, saya bilang apa dia kuat, ditiup saja mungkin jatuh. Benar-benar saya dulu meragukan lihat fisiknya, tetapi setelah dicoba ternyata bisa,” begitu komentar Gede Ardika tentang kesannya pada awal ekspedisi.

***

CERITA soal makan menjadi bagian tersendiri yang secara otomatis terlontar dalam pertemuan-pertemuan makan bersama dengan awak Borobudur. Mujoko, atau yang akrab dipanggil Joko, dikenali selalu sigap memanggil teman-temannya pada waktu makan. “Lucunya, waktu dia manggil, dia sudah mulai makan,” seloroh teman-temannya.

Makanan yang nyaris tak pernah absen dari menu harian adalah mi instan. Bukan sehari-dua hari, mereka menyantap mi instan tiga kali sehari, selain makan nasi. “Mungkin itu ya yang bikin gemuk, ha-ha- ha,” ucap Sudirman.

Philip Beale dan beberapa orang kulit putih lainnya akhirnya tertular kebiasaan makan mi ini. “Padahal, sebelumnya mereka hanya liatin kita makan, lama-lama mereka ikutan. Apa yang dimakan orang Indonesia, mereka akhirnya jadi suka,” tutur Niken. “Sampai Philip punya penelitian kecil-kecilan tentang beberapa cara makan mi,” kata Putu Sedana.

Logistik mi instan tercatat termasuk yang terbanyak dikonsumsi, yakni 224 pak untuk perjalanan sekitar enam bulan. Kalau mau tahu mana jenis mi yang enak dimakan mentah, mana yang awet disimpan, mana yang rasanya cocok untuk orang asing, barangkali mereka sudah bisa secara akurat menjawabnya. “Tolong kasih tahu produsen mi, yang kemasan dalam gelas gampang jamuran.”

Karena perjalanan berakhir selamat sampai tujuan, kisah-kisah menarik menjadi lebih dominan saat berbicara dengan tim kapal Borobudur. Tak seorang pun menyatakan kapok, bahkan dengan suara gagah mereka mengatakan sanggup untuk mengulang perjalanan serupa. Luar biasa. (Retno Bintarti, dari Accra)

Artikel Lainnya