Ekspedisi Kapal Borobudur
MENYUSURI KEMBALI JALUR KAYU MANIS
WAJAH pria berkulit coklat itu terlihat serius sebelum menjawab pertanyaan, apakah ia yakin kapal layar bercadik tersebut mampu selamat menyeberangi Samudera Hindia. Namun, dengan seulas senyum, yang ternyata Kapten Laut Pelaut I Gusti Putu Ngurah Sedana (32) itu, ia menjawab, “Kapal ini memang belum teruji. Kami ini istilahnya mission impossible.”
Wajar kalau kesangsian terlintas saat melihat sekilas rupa kapal yang tengah bersandar di Pelabuhan Benoa, Denpasar, pekan lalu. Merapat di antara kapal milik TNI Angkatan Laut (AL) dan kapal komersial di pelabuhan itu, kapal berlayar tiga dan bercadik ganda ini ukurannya terlihat mungil.
Terbuat dari kayu yang berukuran panjang 18,29 meter, lebar 4,25 meter, dan tinggi 2,25 meter, serta memiliki berat 30 gross ton (GT), kapal tersebut sepintas mirip perahu penangkap ikan yang kerap melintas di perairan Bali-Jawa. Wakil Gubernur Bali I Ketut Widjana sempat bertanya kepada Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika, “Pak, kapalnya yang mana?”
Belum lagi ketika dijelaskan, rute perjalanan kapal layar ini masih berdasar perkiraan. Bahkan, pencetus ide dan para pembuat kapal tidak memiliki panduan pasti saat membangun kapal bercadik itu. Ide pembuatan kapal berawal dari sebongkah relief Candi Borobudur panil nomor 6 bidang c, yang terletak di lorong pertama sisi utara candi tersebut, dan selanjutnya direka-reka gambarnya.
“Desain digambar dari batu candi (Borobudur) dan rancangan kapalnya dibuat Mister Nick (Nick Burningham). Tetapi, setiap dikerjakan, ukuran dan gambar kapal sepertinya sudah terbayang di depan mata,” kata pembuat kapal, AsÆad Abdullah al Madani (70). Sejak tahun 1969, AsÆad memang kerap membuat kapal nelayan. Akan tetapi, proyek kapal layar bercadik yang satu ini diakuinya sebagai pengalaman pertamanya.
Kapal kecil tersebut terbuat dari 125 meter kubik kayu dan dikerjakan hanya dalam waktu empat bulan enam hari oleh 26 orang, termasuk AsÆad dan 13 tukang perahu di sebuah desa di Pulau Kangean. Tepatnya, di Desa Pagerungan Kecil Sapeken Sumenep, Jawa Timur. Bahkan, dalam buku panduannya disebutkan, tidak ada satu pun paku dan besi digunakan dalam pembuatan kapal ini. Sekitar Rp 250 juta dihabiskan untuk menyiapkan kapal ini.
Tidaklah mengejutkan kalau inisiator kapal, Philip Beale (42), pun menyatakan “fantastik” ketika kapal itu mampu berlayar untuk pertama kalinya dan menempuh jarak sejauh 65 mil laut dari Sumenep melewati Banyuwangi dan akhirnya merapat di Pelabuhan Benoa hari Selasa lalu.
***
KETIKA dilihat lebih lama, kesan kokoh membalur kapal bercadik ganda itu. Keseluruhan rangka, penutup badan, dan sepasang cadiknya dibuat dari tujuh kayu lokal pilihan, misalnya, kayu ulin (Eusideroxylon gwagerri), kayu bungor (Lagerstroemia speciosa), kayu jati (Tectona grandis), dan kayu kalimpapa (Vitex gofassus) serta kayu bintagor (Colopphyllum inophyllum).
Ini belum termasuk sejumlah peralatan navigasi modern yang dipasang di kapal tersebut, misalnya global positioning satelite (GPS), saluran telekomunikasi Inmarsat, Navtex, dan Ecosonar. “Radar memang tidak ada. Kami akan melek betul kalau malam,” ujar Sedana.
Tugas kapal ini tidak sekadar mengarungi ganasnya samudera luas. Kapal layar dengan 14 awaknya ini mengemban misi sejarah, menyusuri ulang jalur perdagangan rempah-rempah yang pernah dilakukan para pelaut dari Kepulauan Indonesia menuju Afrika di awal milenium. Rute Kayu Manis (The Cinnamon Route) -demikian istilahnya-akan ditempuh ulang dalam waktu empat sampai lima bulan pelayaran, mulai dari Jakarta- Kepulauan Maladewa-Madagaskar-Cape Town-Tanjung Harapan, dan berakhir di Accra, ibu kota Ghana, di pesisir barat Afrika.
Dalam sambutannya di acara inaugurasi ekspedisi Kapal Borobudur di Pelabuhan Benoa hari Selasa lalu, I Gede Ardika mengatakan, kapal dan para awaknya itu membawa misi kebudayaan sekaligus menjadi duta bangsa Indonesia ke mancanegara. Namun, diakui, awak kapal belum terpilih seluruhnya dan kapal layar ini baru akan memiliki nama setelah Presiden Megawati Soekarnoputri meresmikannya pada 15 Agustus mendatang.
Meskipun begitu, kapal layar Borobudur itu punya makna penting, yaitu agar bangsa Indonesia tak melupakan laut. Sejarawan Anhar Gonggong mengatakan, bangsa Indonesia selama ini selalu berorientasi daratan, padahal laut juga bagian dari darat. “Untuk dapat mengelola laut dengan baik, kita memerlukan keterampilan berkapal,” ujarnya.
MENGUTIP sambutan Direktur Regional, Sains, dan Perwakilan untuk Indonesia dari Kantor Unesco (Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Masalah Pendidikan, Sains, dan Kebudayaan) di Jakarta Profesor Stephen Hill, yang dibacakan oleh Culture Program Specialist Unesco, Phillipe Delanghe, ekspedisi Kapal Borobudur merupakan aktualisasi nilai-nilai dan pesan-pesan tentang supremasi dan kemajuan teknologi para nenek moyang di masa lampau yang kini terpahat di relief Candi Borobudur.
Kapal layar versi rekaan relief Candi Borobudur memang tidak secanggih dan sehebat kapal-kapal yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini. Namun, rasa memiliki dan mencintai laut saat ini mungkin tidak sekuat masa kakek dan nenek moyang zaman dulu.
Memang diakui, jaminan kesuksesan pelayaran kapal ini belum ada. Namun, ekspedisi Kapal Borobudur akan tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia bahwa bangsa dengan lebih dari 200 juta penduduknya itu masih menghargai lautan. Pelayaran Kapten Sedana dan 13 awak kapal ini akan menjadi bukti bahwa generasi muda Indonesia mampu setangguh nenek moyangnya. (COK)