Kompas/Amir Sodikin

Basie Idah, rohaniawan Hindu Kaharingan sedang merokok tembakau yang dibungkus daun sirih. Tembakau dan daun sirih ini merupakan sesaji yang digunakan untuk mengantarkan arwah dalam upacara Mandung di Desa Tumbang Topus, Kalimantan Tengah.

Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam 1

“Mandung”, Ritual Kematian di Kaki Muller-Schwanner

·sekitar 7 menit baca

“MANDUNG”, RITUAL KEMATIAN DI KAKI MULLER-SCHWANNER

* Ekspedisi Lintas Barito Muller-Mahakam 2005

TUBUH Basie Idah (45) yang tadinya menari-nari ritmis mengikuti tabuhan ketambung (kendang mirip tifa-Red) spontan berubah menjadi tak terkontrol. Liukan tubuhnya melambai-lambai ringan dan terlihat luwes seolah hendak terbang. Tubuh itu terus meliuk-liuk mengelilingi pandung, tempat sesaji dipusatkan.

IDAH saat itu sedang mengalami trance (kesurupan) yang menyebabkan tubuhnya menari- nari dengan sendirinya. Idah adalah basie, yaitu pimpinan upacara agama atau imam dalam agama Hindu Kaharingan yang bertugas mengantarkan arwah orang-orang yang meninggal menuju ke kesempurnaan, berpisah dengan keluarganya di Bumi menuju Sorga Loka atau Lewu Tatau.

Bersama Basie Lean (50), Idah diundang khusus oleh Kepala Desa Tumbang Topus, Marudin, untuk melaksanakan hajat Mandung, yaitu upacara kematian khas Dayak Siang Murung dan Dayak Punan di Desa Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng), sekitar 560 kilometer dari Kota Banjarmasin.

Tumbang Topus merupakan desa terakhir di hulu Sungai Barito, tepatnya di tepi Sungai Murung di kaki Pegunungan Muller-Schwanner. Untuk mencapai kampung ini dibutuhkan lima hari perjalanan darat dan sungai dari Palangkaraya, Kalteng, melalui Banjarmasin, Kalsel.

Basie merupakan sebutan khas bagi pimpinan agama Dayak Kaharingan, khususnya Dayak Ot Danum dan Dayak Siang Murung yang tinggal di hulu Sungai Barito, sedangkan Dayak Ngaju yang berada di sepanjang Sungai Kahayan menyebutnya basir. Para pimpinan ritus yang dua-duanya perempuan tersebut didatangkan dari Saripoi, Kecamatan Tanah Siang, Kabupaten Murung Raya, sekitar dua hari perjalanan sungai menuju Tumbang Topus.

Upacara Mandung ini merupakan salah satu rangkaian ritual kematian sebelum dilaksanakan tiwah. Tiwah sendiri merupakan upacara terakhir kematian Hindu Kaharingan yang akan menjadi penyempurna bagi pengantaran arwah menuju Sorga Loka. Tiwah ini mirip dengan upacara ngaben di Bali.

Sementara itu, basie lainnya, yaitu Lean, terlihat masih tenang. Tubuhnya terus mengitari pandung, disaksikan keluarga Marudin sebagai pemilik hajat dan juga warga desa. Dua perempuan itu, Idah dan Lean, memang sedang konsentrasi penuh untuk memanggil Sangiang, yaitu roh- roh leluhur.

Sambil tetap mengitari pandung, Lean mengambil minuman anding, yaitu minuman tradisional khas pedalaman, untuk menyembuhkan Idah dari pengaruh kesurupan. Tak berapa lama Idah mulai sadar. Tubuhnya terlihat lunglai dan keringat deras mengucur. Idah beristirahat sejenak, sementara Lean terus melanjutkan ritual.

Berbagai sesaji dihampar di sekitar pandung tersebut, mulai dari hewan korban babi, ayam, hingga berbagai sesaji lainnya. Warga satu desa mengitari pandung tersebut, menyaksikan ritual mengantar roh menuju Sorga Loka.

Puncak ritual dilakukan dengan menyembelih babi sebagai hewan persembahan. Darah babi kemudian digunakan untuk mencuci boneka yang menjadi simbol orang yang akan menjalani Mandung.

Darah itu kemudian juga digunakan anggota keluarga yang masih hidup untuk syarat mandi guna melepaskan segala keterikatan dengan arwah. “Upacara Mandung ini intinya untuk mengantar arwah ke surga, selain itu juga untuk memisahkan arwah dari keluarga yang masih ditinggalkan,” papar Idah.

Walaupun Mandung bukan tahapan terakhir upacara kematian, menurut Idah, arwah yang meninggal sudah memiliki jalan lapang menuju Lewu Tatau Je dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamalesu Uhate, yaitu tempat yang mahamulia yang disediakan Tuhan. Tiwah diyakini untuk lebih menyempurnakan jalan lapang tersebut.

Upacara Mandung digelar selama lima hari lima malam. Setiap harinya sang basie terus menerus melantunkan mantra-mantra dalam bahasa Sangiang, yang hanya dimengerti oleh orang tertentu. Siang malam juga warga satu desa menari-nari mengelilingi pandung untuk ikut menyemarakkan upacara.

***

ANTROPOLOG dari Sekolah Theologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT GKE) Marko Mahin menjelaskan, tujuan akhir dari rangkaian upacara kematian Dayak Kaharingan adalah untuk menyatukan tiga unsur penyusun manusia. Penganut Dayak Kaharingan meyakini, apabila manusia mati, maka rohnya akan terbagi menjadi tiga unsur.

Unsur pertama adalah Salumpuk teras liau atau penyalumpuk liau, roh utama yang menghidupkan manusia, yang pada saat meninggal langsung kembali ke Ranying Mahatala, Langit Sang Pencipta. Unsur kedua adalah Liau balawang panjang ganan bereng, yaitu roh dalam tubuh yang dalam upacara Balian Tantulak Ambun Rutas Matei diantar menuju Lewu Balo Indu Rangkang Penyang.

Unsur ketiga adalah Liau karahang tulang, silu, tuntang balau, yaitu roh yang mendiami tulang, kuku, dan rambut. Pada saat mati, roh ini tinggal di dalam peti mati.

“Tiwah merupakan upacara terakhir untuk menyatukan kembali ketiga roh tadi dan mengantarkannya ke Sorga Loka atau Lewu Tatau,” tutur Marko seraya menegaskan, tiwah bukanlah upacara bagi roh leluhur yang bergentayangan seperti yang dinyatakan seorang peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Tiwah, menurut Marko, merupakan upacara suci mengantar roh keluarga yang meninggal menuju Sorga Loka, dan tak ada kaitannya dengan memanggil roh-roh leluhur untuk keperluan lainnya. Marko perlu menegaskan itu karena sebuah buku hasil penelitian LIPI mengaitkan konflik etnis di Sampit tahun 2001 dengan tiwah sebagai ritual memanggil roh- roh leluhur untuk membantu melawan etnis Madura.

Dalam upacara kematian roh-roh leluhur atau Sangiang utama yang dipanggil ada dua, yaitu Sangiang Duhung Mama Tandang-Langkah Sawang Mama Bangai dan Rawing Tempon Telu.

Kedua Sangiang Utusan Tuhan itu turun untuk melepaskan pali atau tabu dari pribadi atau keluarga atau desa yang melaksanakan upacara. Melepaskan pali juga untuk membebaskan orang yang mati dari kesalahan selama dia hidup.

Penganut Hindu Kaharingan tidak mengenal teologi hari kiamat dan konsepsi hari pengadilan terakhir.

“Ketika seorang Dayak meninggal, keluarganya melakukan upacara Balian Tantulak Matei, kemudian acara tiwah, maka rohnya dapat langsung masuk Sorga Loka tanpa harus menunggu pengadilan terakhir atau Hari Kiamat,” papar Marko.

Dibandingkan dengan Dayak di Kalsel, Dayak di Kalteng memang memiliki banyak ritual kematian. Sebaliknya, Dayak di Kalsel lebih mementingkan ritual-ritual dalam penyelenggaraan kehidupan di dunia, seperti ritual Aruh yang digelar tiga kali dalam setahun untuk mengawali menanam padi, memelihara padi yang tumbuh, dan mensyukuri panen.

Dayak di Kalteng juga memiliki banyak versi upacara kematian. Dayak Ngaju di tepi Sungai Kahayan, misalnya, menyebut upacara kematian terakhir sebagai tiwah. Dayak di tepi Sungai Barito seperti di Barito Utara menyebutnya sebagai Wara. Ada juga yang menyebutnya sebagai Ijambeh bagi Dayak di Barito Timur. (Amir Sodikin)

“ANDING”, MINUMAN “PENYARING” SANG PEMIMPIN

PADA hari kedua pelaksanaan upacara Mandung, mata laki-laki dan perempuan yang ada di Desa Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, itu terlihat memerah. Hampir semua warga di desa itu mabuk karena sepanjang hari menenggak minuman anding sambil menganjan, menari-nari mengelilingi pandung, pusat sesaji.

Anding adalah minuman tradisional yang dibuat dari beras ketan merah yang diperam beberapa hari dan diambil sarinya. Dengan komposisi ramuan yang telah menjadi rahasia setiap rumah tangga di desa itu, maka anding menjadi minuman memabukkan.

Tidak semua warga desa itu mabuk dan tidak setiap warga mau menenggak anding. Akan tetapi, kebanyakan orang di desa itu memberi penghormatan terhadap upacara kematian Mandung itu dengan ikut menari- nari mengelilingi pusat sesaji sambil meminum anding.

Walaupun mereka mabuk, hanya sebagian kecil yang terlihat tak terkontrol, terutama para generasi mudanya. Generasi tua, termasuk Kepala Desa Tumbang Topus Marudin dan Kepala Adat Tumbang Topus Arjiman serta para sesepuh lainnya, tampak sehat walaupun juga menenggak banyak minuman anding.

Para tamu yang datang ke desa itu juga disuguhi anding. Tuan rumah, dalam hal ini keluarga Marudin sebagai penyelenggara hajat, akan merasa dihormati jika para tamu berkenan meminum anding buatan mereka. Meski begitu, tuan rumah tak memaksa tamu untuk minum anding.

Kesalahpahaman antara warga desa dan para tamu sebagai dampak anding ini sering terjadi. “Hati-hati kalau ngomong dengan orang yang mabuk, bisa-bisa kalau salah ucap sedikit, mereka tidak terima dan marah,” ujar seorang warga mengingatkan.

Upacara kematian dan hajatan adat lainnya serasa tidak lengkap jika tanpa anding. Kepala Adat Tumbang Topus Arjiman mengungkapkan, acara adat dan anding memang sudah bersanding dan susah untuk dilepaskan.

Lebih lanjut Arjiman menuturkan, minuman anding bisa menjadi penyaring bagi generasi yang sehat. Generasi yang sehat akan tetap terkontrol dalam hal tindakan dan ucapan walaupun dia minum anding. Sebaliknya, generasi yang tidak sehat akan dengan mudah tak terkontrol emosinya.

“Anding ini bagi kami bisa menjadi penyaring akal,” ujar Arjiman. Oleh karena itu, ajang minum minuman anding bisa menjadi “penyaring” bagi orang yang berhak memimpin.

Calon pemimpin harus bisa membuktikan emosinya terkontrol dan tak selayaknya mabuk hanya karena minum sari beras ketan merah. Karena itu, bagi yang sudah terbukti lepas kontrol dan mudah emosi akibat anding ini, maka dia tidak layak memimpin.

Bagi komunitas Tumbang Topus, anding bisa menyaring pemimpin. Namun, anding bukan satu-satunya penyaring, hanya bagian kecil dari salah satu cara memilih pemimpin “tanpa sengaja”. Anding hanyalah pesta terkontrol di pedalaman ketika pesta-pesta lain yang borjuis dan mahal tidak bisa mereka jangkau. (AMR/RAY)

Foto-foto: Kompas/Amir Sodikin

MERAMAL MASA DEPAN – Melalui hati babi yang disembelih dalam rangka upacara kematian Mandung di Desa Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, ini seorang basie bisa melihat nasib orang-orang yang ditinggalkan.

 

“TRANCE” – Basie Idah (paling kanan) yang memimpin upacara Mandung di Desa Tumbang Topus tampak sedang trance (kesurupan). Mandung merupakan ritual suci untuk mengantarkan roh menuju Sorga Loka.

 

RITUAL “MANDUNG” – Ini merupakan satu adegan dalam upacara kematian Mandung di Desa Tumbang Topus, Kalimantan Tengah. Ritual ini dipimpin oleh dua basie, pemimpin upacara keagamaan Hindu Kaharingan yang semuanya perempuan. Basie perempuan di pedalaman semakin langka sejak masuknya pengaruh budaya baru.

 

Image: 1 Peta Desa Tumbang Topus

Artikel Lainnya