Kom,pas/Amir Sodikin

Bersama dengan anjing pemburu, warga Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, ini siap berburu babi di hutan dengan menggunakan perahu. Berburu bagi masyarakat di hulu Sungai Barito kini bukan lagi sebagai pekerjaan utama. Sekarang mereka memilih menetap menjadi pencari gaharu (penggaru) dan sarang burung walet.

Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam 1

Potret Kampung Terakhir Hulu Sungai Barito: Dari Peramu dan Pemburu ke “Penggaru”

·sekitar 6 menit baca

Potret Kampung Terakhir Hulu Sungai Barito

DARI PERAMU DAN PEMBURU KE “PENGGARU”

MALAM mulai larut. Sudah tiga hari Tim Perintis Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam telah menyelesaikan sepertiga perjalanan setelah menuruni dan mendaki perbukitan dari Puruk Cahu, ibu kota Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, menuju Desa Tumbang Keramu, Kecamatan Sumber Barito.

SESAMPAINYA di Desa Tumbang Keramu yang berada di tepi Sungai Murung (hulu Sungai Barito-Red), rombongan diarahkan menuju tempat tinggal Kepala Desa Tumbang Keramu Aden Juli. Suasana rumah Aden sepi dan gelap gulita, hanya ada cahaya beberapa lampu teplok. Tim kemudian menginap di tempat kepala desa tersebut.

Selama satu malam tim mendapat informasi berharga soal rute perjalanan menuju Tumbang Topus, desa yang paling hulu di Sungai Barito. Desa ini harus ditempuh menggunakan perahu ces (perahu bermotor khas pedalaman) selama dua hari satu malam. Tumbang Keramu bersama Tumbang Topus termasuk desa paling hulu dari anak Sungai Barito yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Jumlah penghuninya ada 79 keluarga.

Warga menuturkan, kampung-kampung di hulu Sungai Murung itu berdiri bersamaan dengan maraknya aktivitas kerja kayu serta kerja rotan. Sebelumnya mereka nomaden (berpindah-pindah) dari tempat satu ke tempat lain untuk mencari makanan dan berburu binatang di hutan.

Namun, sejak beberapa dekade terakhir para pemburu dan peramu itu rela mengubah strategi hidup dari nomaden menjadi menetap. Mereka mulai mengumpulkan hasil hutan mulai dari kayu hingga produk nonkayu yang memiliki nilai jual.

“Dulu kami semua mencari rotan dan getah-getahan yang laku dijual, seperti getah damar, getah hangkang, dan getah nyatuh. Kemudian mulai tahun 1990-an kami juga sempat menebang kayu,” kata Imau (30), warga Tumbang Keramu. Menebang pohon terpaksa dilakukan warga setelah harga berbagai komoditas andalan jeblok dan ada kesempatan untuk menjual kayu kepada cukong.

“Tapi sejak beberapa tahun terakhir semua kampung sudah menghentikan kegiatan menebang kayu karena aturan sekarang ketat,” kata Imau.

Diceritakan, akhir-akhir ini warga Tumbang Keramu dan warga yang lebih hilir sudah jarang bepergian ke Tumbang Topus.

Sepinya jalur sungai itu tak lain akibat perdagangan berbagai komoditas hutan dari hasil kayu dan dan nonkayu mulai meredup. “Getah- getahan sekarang sudah tidak ada lagi karena banyak kayunya yang ditebang,” kata Imau.

Aden menambahkan, selain getah-getahan, sekarang harga komoditas andalan (rotan) jatuh. “Satu pikul hanya Rp 100.000 atau Rp 1.000 per kilogram, dulu sempat sampai Rp 700.000,” katanya.

Selama bekerja satu hari rata-rata mereka hanya mendapat satu pikul, atau berpenghasilan Rp 100.000. Pendapatan sebesar itu tak sebanding dengan pengeluaran warga untuk bekal makanan dan bahan bakar perahu ces. “Satu liter bensin masak (bensin campur-Red) Rp 6.000,” kata Aden.

Sekali jalan dalam satu hari bisa menghabiskan bensin senilai Rp 400.000. Karena itu, kini komoditas hutan nonkayu ditinggalkan warga.

***

KINI warga mulai beralih profesi menjadi pencari gaharu dan sarang burung walet. Mereka pergi ke hutan dalam satu rombongan tiga hingga enam orang. Pendapatan mereka tidak menentu, tetapi dengan harga gaharu yang bagus, pekerjaan “menggaru” (mencari gaharu-Red) ini menjadi pekerjaan utama.

“Biasanya kami pergi ke hutan selama satu hingga dua bulan dengan perbekalan-terutama beras dan rokok-nilainya Rp 600.000,” kata Imau.

Harga gaharu kini sedang bagus, mencapai Rp 10 juta per kilogram untuk kualitas bagus. “Kalau dari hutan bisa mendapat gaharu sampai dua kilogram, kami sudah lega untuk beberapa bulan,” kata mereka.

Semua hasil gaharu dari kampung-kampung di hulu Sungai Barito dihasilkan dari hutan inti yang masuk dalam gugusan Pegunungan Muller- Schwanner. Jalur Tumbang Keramu-Tumbang Topus kini praktis hanya dilalui para pemburu dan para pencari gaharu.

Oleh karena itu, selama perjalanan dari Tumbang Keramu menuju Tumbang Topus, tim perintis ekspedisi bertemu dengan para pemburu dan pencari gaharu ini.

Tidak jauh berbeda dengan Tumbang Keramu, masyarakat Tumbang Topus yang didominasi Dayak Siang Murung dan Dayak Punan kini sudah lama tinggal menetap dan tidak lagi berpindah-pindah.

Warga suku Dayak Punan yang tinggal di kampung terakhir hulu Sungai Barito itu tidak lagi berburu, melainkan mencari gaharu dan sarang burung walet. Hal menarik diungkapkan Kepala Adat Tumbang Topus Arjiman yang kini risau melihat gaharu dan sarang burung walet bergerak ke arah kepunahan.

Jika benar-benar dua komoditas tersebut habis, apakah Punan di hulu akan menjadi pemburu lagi? Ataukah mereka akan kembali berpindah- berpindah di seputar Pegunungan Muller bagian dalam yang masih berlimpah dengan kayu? (Amir Sodikin)

KISAH DAYAK PUNAN BERKAKI MERAH, MITOS ATAU KENYATAAN?

MALAM di hutan Penyinggahan Penyungkat yang berada di tepi Sungai Sebunut, anak Sungai Mahakam di Kutai Barat, Kalimantan Timur, semakin larut. Di hari kedelapan perjalanan, warga Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito, Kalimantan Tengah, yang mengawal Tim Perintis Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam terus menuturkan berbagai kisah soal kampung mereka.

Salah satu kisah yang membuat tim tertarik adalah informasi suku Dayak Punan Siau atau Ot Siau atau Punan berkaki merah yang katanya hingga kini masih ada. “Di Tumbang Tujang sana ada warga yang pernah diajak Punan Siau itu ke goanya,” kata Golo (40), warga Tumbang Topus.

Punan Siau dilukiskan sebagai orang Dayak yang berkaki merah yang tinggal di goa-goa yang penyebarannya mulai dari pedalaman Kalimantan Tengah hingga Kalimantan Timur. Warga menggambarkan, Punan Siau selalu menyalakan kayu bakar di dalam goa untuk perapian.

“Suku ini tidak pernah mau bertemu dengan warga lain, bahkan dengan Dayak Punan seperti kami ini mereka tidak mau ketemu,” kata Golo. Suku Siau ini dilukiskan hanya mengenakan pakaian dari kulit kayu dan bisa berjalan cepat di antara tebing-tebing dan rerimbunan pohon di dalam hutan.

Golo menambahkan, hingga kini belum ada warga yang paham bahasa mereka. “Ketika dua warga Tumbang Tujang dibawa ke goa mereka, para Punan Siau ini hanya diam saja seperti membisu, tidak mengeluarkan kata-kata. Karena itu, sulit dimengerti apa sebenarnya yang terjadi pada mereka,” ungkapnya.

***

PUNAN berkaki merah mendiami goa-goa karena terdesak akibat penjajahan Belanda. “Belanda telah membuat mereka takut dan mereka hingga kini tetap bersembunyi di dalam goa-goa,” kata Golo.

Golo kemudian memberikan dua nama warga Tumbang Tujang tersebut kepada tim perintis. “Kalau mau mencoba mencari mereka, silakan hubungi dua orang ini. Tanya di mana goa yang pernah mereka masuki itu,” kata Samsi (30), warga lainnya.

Hanya saja, Samsi mengingatkan, jika ingin mencari goa mereka, jangan berpakaian modern atau membawa peralatan modern. “Kalau mereka melihat orang yang dianggap aneh dan bukan dari kalangan sekitar, mereka biasanya akan melepaskan senjata sumpit,” katanya.

Oleh karena itu, Samsi mengingatkan, siapa yang ingin menemui mereka sebisanya mengenakan pakaian pemburu dengan senjata tombak agar bisa menyerupai warga suku Punan. “Kalau dengan senjata tradisional seperti tombak dan mandau, mereka malah tidak akan menyerang kita,” katanya.

Berbagai cerita, entah mitos atau legenda, didapat tim perintis selama perjalanan 13 hari menyusuri Sungai Barito melintasi Pegunungan Muller dan kembali menyusuri Sungai Mahakam. Cerita-cerita tersebut berkembang dari mulut ke mulut, dan hampir semua warga memiliki pengetahuan yang merata soal cerita itu.

***

ANTROPOLOG dari Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kalimantan Evangelis (STT GKE) yang menggeluti masalah etnis Dayak, yang juga Direktur Eksekutif Lembaga Studi Dayak-21, Marko Mahin, mengingatkan agar berhati-hati menerima informasi yang masih simpang siur. “Bisa jadi itu hanya mitos,” katanya.

Mitos, seperti di daerah lain umumnya, sering digunakan warga untuk berlindung dari sesuatu maksud. Marko Mahin pernah memiliki pengalaman yang sama, yaitu mendapat informasi keberadaan Dayak Ot Siau, tetapi setelah dilacak ternyata informasi tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Di pedalaman, mitos dan kenyataan hampir bersanding bersama. Jika informasi yang diterima tidak disaring, bisa menjadi suatu kesalahpahaman. Beberapa peneliti diindikasikan juga sering tersesat dan kesimpulannya menjadi salah akibat tidak merunut dengan baik informasi yang diterimanya.

Selain informasi soal suku Dayak Punan Siau atau Ot Siau, tim perintis ekspedisi juga mendapat informasi adanya kuburan batu di deretan karst Pegunungan Muller. Warga Tumbang Topus menuturkan, kuburan batu itu berisi tulang belulang yang ukuran tubuhnya melebihi manusia normal, dengan kata lain, warga Tumbang Topus meyakini zaman dulu memang ada manusia raksasa.

“Informasi ini perlu dicek dengan teliti bukti-bukti kebenarannya, saya juga sering mendengar mitos-mitos soal manusia raksasa ini,” kata Marko Mahin. Semoga saja informasi tersebut tidak sekadar mitos. (AMR)

Artikel Lainnya