Kompas/Amir Sodikin

Warga Tumbang Keramu Kecamatan Sumber Barito Kabupaten Murung Raya Kalimantan Tengah pekan lalu berjuang melawan riam Sungai Murung. Perjalanan melelahkan dan penuh bahaya selama dua hari ini dilakukan hanya untuk mencapai desa tetangga paling hulu yaitu Desa Tumbang Topus Kecamatan Sumber Barito.

Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam 1

Survei Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam: Melintas Jejak Para Penakluk Riam dan Pendaki Dinding Muller

·sekitar 8 menit baca

Survei Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam

MELINTAS JEJAK PARA PENAKLUK RIAM DAN PENDAKI DINDING MULLER

Pengantar: Akhir Juni nanti “Kompas” akan menggelar ekspedisi menyusuri Sungai Barito dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, hingga ke hulu menerabas Pegunungan Muller-Schwanner di Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, kemudian menyusuri Sungai Mahakam hingga Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Tulisan ini merupakan hasil survei pendahuluan praekspedisi.

DENGAN penuh konsentrasi, Kepala Desa Tumbang Keramu, Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, Aden, menerabas ganasnya riam Sebunut menggunakan ces, perahu motor khas pedalaman, beberapa hari lalu. Riam di Sungai Murung yang merupakan hulu Sungai Barito itu pada musim hujan mirip air terjun mini.

Tak peduli dengan kondisi ces yang tua, Aden terus memaksa mesin ces meraung-raung mendaki riam penuh batu hitam. Setelah sempat oleng ke sana kemari, perahu ces Aden berhasil lolos.

Langkah Aden diikuti dua ces lainnya untuk mengantar Tim Perintis Ekspedisi Lintas Sungai Barito-Pegunungan Muller-Sungai Mahakam menembus hulu Sungai Barito. Tim dari Kompas bersama Kelompok Pencinta Alam Meratus Hijau Kalimantan Selatan mengikuti jalur tradisional itu untuk menjangkau desa paling hulu di Daerah Aliran Sungai Barito.

Tiga perahu ces tersebut juga memiliki keperluan masing-masing di Desa Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito, Murung Raya, terutama untuk mengunjungi famili. Aden memang asli Tumbang Topus. Ia menikah dengan warga Desa Tumbang Keramu.

Tidak ada permukiman di sekitar sungai, hanya para pemburu babi dan pencari gaharu yang sesekali melintasi sungai jika air tidak meluap. Kebetulan hari itu air meluap sehingga hanya para pemburu terampil serta rombongan ces Aden yang nekat melintas.

Setiap menyeberangi riam, Amat Loksado, Wahid, dan Ancuk, yang ketiganya dari Meratus Hijau, sudah terlebih dahulu mengosongkan isi perahu untuk dibawa menuju tempat aman. Isi perahu didominasi bahan makanan bekal perjalanan.

Keberhasilan mengarungi Riam Sebunut melegakan anggota tim. Namun, ternyata Riam Sebunut hanyalah tantangan pertama. “Masih ada riam besar lainnya yang lebih ganas, di antaranya Riam Mahang, Riam Tolop Cohu, Riam Ongkong Nango, dan Riam Mutop,” kata Aden.

Benar kata Aden, riam-riam selanjutnya mengerikan dan membuat perahu hampir terbalik. Salah satu ces baling-balingnya patah dan harus diganti. Warga sudah memperkirakan situasi itu dan sejak awal sudah membawa baling-baling cadangan. Di Riam Ongkong Nango, perahu terpaksa ditarik dan diangkat ramai-ramai.

Perjalanan menuju Tumbang Topus memakan waktu dua hari satu malam dengan menginap di ladang yang ada di sekitar sungai. Di hari kedua, sore harinya rombongan sampai di Tumbang Topus.

Merapatnya tiga ces tersebut membuat seisi Desa Tumbang Topus keluar. Anak-anak hingga orang dewasa berderet di tepi sungai. Mereka merasa asing dengan para tamu.

Warga Tumbang Topus mengenali bahwa di antara para tamu ada Aden, mantan warga Tumbang Topus yang kini menjadi Kepala Desa Tumbang Keramu. Kepala Desa Tumbang Topus, Marudin, langsung turun menuju tambatan perahu dan dengan ramah menyambut para tamu.

WARGA Tumbang Keramu mengaku jarang mengunjungi saudaranya di Tumbang Topus maupun di Kalimantan Timur, begitu pula sebaliknya dengan warga Tumbang Topus. Belum tentu sebulan sekali ada warga yang naik ke Tumbang Topus atau turun ke Tumbang Keramu.

Warga di hulu Barito yang didominasi rumpun etnis Dayak itu umumnya memiliki saudara di Kaltim. Dayak di hulu Sungai Barito didominasi rumpun suku Dayak Punan, Dayak Siang, dan Dayak Ot Danum. Beberapa di antaranya ada pendatang dari Dayak Kayan, Dayak Wahau/Bahau, dan Dayak Bakumpai.

Desa Tumbang Topus merupakan persinggahan warga hulu sungai untuk menuju Kaltim. Perjalanan dari Tumbang Topus ke Kaltim bisa ditempuh melalui darat dengan waktu satu hari untuk ukuran warga lokal atau dua hari untuk ukuran warga pendatang.

Untuk mencapai Kaltim harus menyeberangi hutan belantara Pegunungan Muller-Schwanner yang rawan penyerangan binatang buas maupun penyerangan perampok. Namun, lintasan itu dianggap paling dekat dibandingkan dengan harus turun ke Kalteng dan Kalsel.

Berbagai kebutuhan warga Tumbang Topus sebagian dipasok dari Kaltim dan sebagian dari Kalteng. Karena itu, harga barang di Tumbang Topus meroket. Contohnya, harga bensin mencapai Rp 10.000 per liter dan beras Rp 5.000 per liter.

Air minum dalam kemasan satu liter dijual seharga Rp 10.000, sama dengan harga sebungkus rokok. Nilai rupiah seperti tak ada harganya. Koin lima ratus rupiah sudah tidak berlaku lagi di daerah ini.

Barang kebutuhan di Tumbang Topus mahal karena biaya transportasi melangit serta jalurnya berbahaya. Jika mencarter ces kecil, perjalanan Tumbang Keramu-Tumbang Topus (sekali jalan) dihargai Rp 1,3 juta, sedangkan ces besar Rp 1,5 juta. Tumbang Keramu menuju ibu kota kabupaten, yaitu Puruk Cahu, tarif carter mobil Rp 900.000.

Tim, sesampai di Tumbang Topus, menyampaikan maksud kedatangan kepada kepala desa untuk ikut bersama warga melintasi Muller menuju Kaltim. “Kebetulan dua hari lagi ada warga ke Kaltim mengambil minuman,” kata Marudin.

Marudin meminta tim menunggu sampai dua hari karena saat itu Tumbang Topus sedang menggelar ritual kematian Mandung. Kepada tim, Marudin berkali-kali menanyakan kesiapan tim untuk melewati jalur tradisional tersebut.

“Nanti akan melewati hutan rimba yang rawan perampokan, setelah sampai di puncak akan menuruni tebing curam, salah sedikit melangkah bisa masuk jurang,” kata Marudin.

Warga umumnya hanya melintasi jalur itu jika benar-benar terpaksa untuk membeli barang kebutuhan atau berkunjung ke tempat keluarga. Warga Tumbang Topus memang banyak memiliki saudara di Long Bagun, Kabupaten Kutai Barat, Kaltim.

“Kami saja kalau mau melewati jalan itu pikir-pikir dulu dan barang bawaan tak lebih dari 10 kilogram. Lebih dari itu, tubuh kita bisa oleng dan terpeleset ke jurang,” kata Didin Totos (30), warga lainnya. Tidak hanya itu, warga menginformasikan jalur tersebut merupakan jalur maut rawan penyerangan dan perampokan.

Para perampok sarang burung walet serta para pendekar dari Kaltim dan Kalteng sering adu kekuatan dan adu pengaruh di jalur tersebut. “Salah-salah kalau kalian dikira bos sarang burung walet bisa dihabisi perampok itu,” kata Golo (30), warga Tumbang Topus.

Berondongan senapan otomatis para perampok ditakuti karena lebih canggih daripada letupan pistol polisi. Binatang buas seperti macan dahan dan beruang madu juga sering menyerang manusia yang melewati jalur tersebut.

PAGI itu tim perintis siap mengikuti jalan Salman (25), warga yang akan mengambil minuman anggur merah beralkohol dari Kaltim. Minuman itu pelengkap perjamuan ritual kematian Mandung. Warga di hulu memang memiliki tradisi menyuguhkan tamu dengan minuman beralkohol, baik buatan sendiri yang dikenal sebagai anding maupun minuman yang beredar di pasaran.

Marudin juga mengutus tiga warganya yang dikenal andal menyeberangi jalur tersebut untuk mengawal tim. Mereka adalah Golo (30), Utun (35), dan Samsi (25).

Satu hari penuh rombongan menerabas hutan belantara dereten Pegunungan Muller-Schwanner. Jalan setapak ditumbuhi semak dan penuh duri hutan. Beberapa jurang dan sungai terpaksa diseberangi dengan jembatan kayu.

Jembatan yang dimaksud hanya sebatang kayu yang direbahkan. Warga lokal sudah lihai melewatinya. Namun, bagi tim, keputusan melewati setiap jembatan hanyalah gambling, jika salah sedikit mengayunkan langkah bisa langsung meluncur menuju jurang.

Lintah air, lintah darat, lintah daun, dan berbagai bentuk lintah lainnya menjadi “teman” setia dalam perjalanan. Di setiap pemberhentian, anggota tim menghitung perolehan lintah yang mencapai belasan ekor.

Darah mengucur dari setiap bekas gigitan lintah mulai dari kaki hingga kepala. Darah itu terus mengucur pada hari berikutnya karena lintah memiliki enzim pencegah pembekuan darah. Tak ada upaya menghentikan pendarahan serta tak ada waktu memikirkannya karena jalur bukit dan tebing sudah menguras tenaga.

Belasan sungai, puluhan “jembatan”, dan beberapa bukit sudah dilalui, namun lokasi untuk bermalam belum juga sampai. Hujan mulai turun bersamaan dengan tibanya malam. Lampu senter tak mampu menembus gelapnya hutan belantara, namun tim memutuskan terus berjalan untuk segera mencapai dataran.

Terus mendaki, menuruni bukit, dan melewati sungai, tim akhirnya mencapai daerah datar untuk bermalam di tepi Sungai Silikut, anak Sungai Sebunut yang mengalir ke Sungai Mahakam di Kaltim. “Daerah ini namanya Kepala Tangga, biasa kami gunakan untuk bermalam sebelum menuju Kaltim,” kata Golo.

Salman dan Golo dengan terampil menyalakan api dari kayu serta memasang periuk nasi, siap menanak. Ancuk, Wahid, dan Amat dari tim perintis tak mau kalah, langsung mengeluarkan alat masaknya untuk menyiapkan masakan pelengkap.

Malam itu langit yang cerah berbintang tak mampu menghibur tubuh yang terasa remuk akibat “dihajar” Salman dan kawan-kawan mendaki dan menuruni Muller. Perjalanan masih satu hari satu malam lagi.

Tak disangka, keesokan harinya hujan deras mengguyur dan air sungai spontan meluap. Tim terpaksa menyeberangi sungai dengan berpegangan pada kayu agar tidak hanyut.

Perjalanan kali ini untuk mencapai puncak pegunungan yang disebut Bukit Batu Ayau. Tak berapa lama rombongan sampai di Bukit Batu Ayau. Rasa bangga dan rasa lega menyelimuti semangat tim karena tidak semua orang bisa melewati rintangan Muller dengan selamat.

Dari Bukit Batu Ayau terdengar gemuruh Sungai Sebunut yang mengalir menuju Sungai Mahakam. Sungainya sendiri tak terlihat karena tertutup kabut tebal. Puncak pegunungan itu merupakan batas Kalteng dengan Kaltim.

Namun, kegembiraan rombongan disimpan dalam-dalam setelah melihat tebing curam yang akan dilewati. Jalan menuju Kaltim itu sudah tidak bisa didefinisikan sebagai tebing, melainkan dinding karena kemiringannya mencapai 90 derajat.

Rombongan terhenti sejenak. Golo, Utun, dan Samsi memeriksa tangga tua yang tersisa yang pernah digunakan pelintas. Salman menebang pohon di sekitar bukit untuk membuat tangga baru. “Tanpa tangga kita tidak akan bisa melewati tebing ini,” katanya.

Dengan berbekal pohon yang didapat dari sekitar serta tali rafia, Golo dan kawan-kawan membuat tangga terlebih dahulu. Ada dua tangga masing-masing sekitar 15 meter yang harus dibuat.

Rombongan dengan perlahan menuruni dinding Muller. Dua tangga telah terlewati, namun masih ada ratusan meter tebing lagi. Tanpa alat pengaman, rombongan terus melaju di bibir jurang.

Untuk melintasi dinding, satu-satunya cara adalah berpegangan pada akar pohon serta tumbuhan perdu. Masalahnya, tidak pada setiap lintasan dijumpai akar dan perdu.

Kondisi tebing yang basah ditambah aliran air seperti air terjun kecil yang melewati jalur membuat rombongan ekstra hati-hati. Beberapa lintasan pun terpaksa dilewati dengan cara memerosotkan badan.

Tanah, batu, atau kayu yang diinjak terkadang langsung ambrol menuju jurang. Jika tangan tidak terampil menyambar tambatan atau jika salah menyambar kayu mati, tubuh langsung meluncur menuju jurang.

Satu hari penuh rombongan menuruni tebing dan sampailah di Sungai Sebunut yang disebut Penyinggahan Penyungkat. Satu per satu anggota tim menjatuhkan tubuh yang lunglai di sungai yang jernih.

Penyinggahan Penyungkat telah lama menjadi tempat pemberhentian para pelintas nekat yang akan menuju ke Kaltim.

Perjalanan menuju Long Bagun di Kutai Barat, Kaltim, masih panjang karena harus melewati Sungai Sebunut, menggunakan rakit kayu atau jika beruntung bertemu peladang bisa menggunakan ces. Sebunut dikenal memiliki riam yang sambung-menyambung.

Tim telah ikut merasakan bagaimana warga lokal melalui ganasnya riam sungai-sungai di hulu Sungai Barito dan melewati jalur maut dinding Muller. Riam liar Sungai Sebunut pasti “hanya” menjadi penutup dari segala penderitaan.

Untuk harga minuman anggur merah yang hanya Rp 20.000 per botol itu, ternyata warga rela menyabung nyawa dengan perjalanan seperti tadi. Terkadang mereka melakukan perjalanan yang sama hanya untuk membeli barang kebutuhan yang tak seberapa nilainya, misalnya garam, rokok, atau sabun. Bagi mereka, jalur maut itu telah menjadi jalan hidup yang mau tidak mau harus dibentang penuh semangat.

(Amir Sodikin/Prasetyo Eko P)

Artikel Lainnya