MENGAKRABI JERAM DAN TEBING MULLER
EKSPEDISI Barito-Muller-Mahakam Kompas 2005 dimulai Jumat (17/6). Tim beranggotakan sejumlah peneliti dari Universitas Lambung Mangkurat (Banjarmasin), Universitas Mulawarman (Samarinda), tim wartawan Kompas, dan Kelompok Pencinta Alam Meratus Hijau.
Berbagai hambatan yang tidak ringan akan dihadapi tim. Kondisi geografis Pegunungan Muller menciptakan berbagai rintangan berat, mulai dari riam yang ganas, hutan lebat yang relatif masih perawan, hulu sungai, hingga tebing terjal licin atau lebih tepatnya dinding tegak 90 derajat yang memisahkan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Kalimantan Timur (Kaltim).
Terlalu sombong jika ekspedisi yang dilaksanakan berkaitan dengan ulang tahun ke-40 harian Kompas tersebut bertujuan menaklukkan jeram, hutan, dan tebing di Pegunungan Muller. Seluruh anggota tim setuju jika ekspedisi ini lebih bertujuan “mengakrabi” keganasan alam di pegunungan itu, juga kondisi masyarakat yang tinggal di sekitarnya.
Jejak Muller
Tidak banyak orang atau lembaga yang punya cukup keberanian untuk mencoba menjelajah atau melakukan perjalanan di sekitar pegunungan ini. Sejarah mencatat, tahun 1825 George Muller, penjelajah dari Belanda, berusaha menjadi orang pertama yang menjelajahi pantai timur Kalimantan hingga ke pantai barat.
Muller tidak sempat menuntaskan perjalanan ambisiusnya. Literatur Belanda menyatakan, setelah melintasi pegunungan yang membatasi hulu Kapuas-hulu Mahakam di wilayah Kalimantan Barat (Kalbar), rombongan itu diserang masyarakat Dayak. Konon Muller dan 25 prajurit asal Jawa dipenggal (di-ayau) sesuai dengan kebiasaan masyarakat pedalaman waktu itu.
Tahun 1994 Kompas pernah melakukan ekspedisi menyusuri Pegunungan Muller. Jalur yang dipilih mulai dari Pontianak di muara Sungai Kapuas, Kalbar, tembus ke muara Sungai Mahakam di Samarinda, Kaltim.
Perjalanan menembus pedalaman Pulau Kalimantan semula dilakukan untuk napak tilas memperingati 100 tahun perjalanan Dr Anton Nieuwenhuis, dokter militer berkebangsaan Belanda yang melakukan perjalanan dari Pontianak ke Samarinda (1893-1894).
Perjalanan Nieuwenhuis itu, selain menghasilkan buku berjudul In Central Borneo, Reis Van Pontianak Naar Samarinda, juga berhasil menyelenggarakan musyawarah besar antarwarga masyarakat Dayak seluruh Kalimantan. Dalam musyawarah itu mereka bersepakat tidak lagi mengembangkan adat meng-ayau (memenggal kepala musuh).
Jalur lain
Kali ini Kompas mencoba menjelajahi jalur lain, yakni menyusuri Sungai Barito memintas Pegunungan Muller hingga tembus ke Mahakam.
Dalam ekspedisi ini akan dilakukan penelitian sekaligus peliputan mengenai berbagai hal, mulai dari masalah sosial budaya hingga kondisi lingkungan di sepanjang jalur yang akan dilalui.
Setia Budi, antropolog dari Universitas Lambung Mangkurat, di antaranya melakukan kajian tentang konsep negara bagi warga pedalaman yang cukup terisolasi dari ingar bingar politik di kota dikaitkan dengan pemilihan kepala daerah langsung.
Marko Mahin dari Sekolah Tinggi Theologi Gereja Kalimantan Evangelis akan melihat masalah konsepsi identitas, teritorial, dan konsepsi negara menurut orang-orang Dayak di hulu Barito. Akan dilihat pula kearifan lokal warga di sekitar Pegunungan Muller yang masih tersisa, mitos orang Punan, dan berbagai upacara adat.
Untuk bidang lingkungan, Chandra Dewana Boer dari Universitas Mulawarman (Unmul) akan mencoba melihat keberadaan beberapa spesies langka dan penting Kalimantan, misalnya beruang madu, ibis karau, enggang, dan beberapa spesies lain. Selain itu, ia juga akan mengamati keanekaragaman jenis avifauna (burung) dan juga tipe habitat di sepanjang jalur perjalanan.
Satu-satunya perempuan dalam tim ekspedisi ini, Emi P, peneliti muda dari Unmul, mencoba melihat berbagai persepsi masyarakat di kampung yang dilewati mengenai kondisi hutan saat ini.
Jalur yang akan dilewati tim ekspedisi ini tergolong ekstrem sehingga disiapkan berbagai pengamanan. Perjalanan dari Banjarmasin ke Muara Teweh akan ditempuh melalui jalur darat dan udara, untuk menghemat tenaga dan waktu dibandingkan dengan melalui Sungai Barito.
Meskipun dengan kendaraan darat, bukan berarti jalur ini sangat mudah. Kondisi sarana infrastruktur transportasi darat di Kalsel dan Kalteng masih sangat buruk. Jalur sepanjang 400-an kilometer ini dalam kondisi rusak parah.
Dari Muara Teweh perjalanan akan dilanjutkan dengan menyusuri Sungai Barito menggunakan speedboat menuju Puruk Cahu, Kabupaten Murung Raya, menempuh perjalanan sekitar 80 kilometer. Selanjutnya tim dengan kendaraan off road, sejenis Toyota Hardtop yang biasa digunakan warga, akan memintas dari Puruk Cahu menuju ke Desa Tumbang Keramu, Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya. Perjalanan selama satu hari penuh ini akan melintasi jalan angkutan kayu milik salah satu pemegang hak pengusahaan hutan.
Serangan
Perjalanan paling berat adalah saat melintasi hutan belantara Pegunungan Muller karena di daerah ini rawan serangan binatang buas maupun perampok. Lintasan ini dipilih karena dinilai lebih dekat dibandingkan dengan harus turun ke Kalteng dan Kalsel dengan jarak sekitar 60-an kilometer saja. Jalur ini berupa jalan setapak atau jalur tradisional yang pada masa silam merupakan jalur perdagangan rotan.
Warga umumnya hanya melintasi jalur tersebut jika benar-benar terpaksa untuk membeli barang kebutuhan atau berkunjung ke keluarga.
Jalur yang akan dilalui rombongan campuran: mendaki, menuruni bukit, dan melewati sungai yang terkadang banjir dan berarus sangat deras. Rombongan harus menuruni tebing atau dinding tegak lurus dari Batu Ayau, salah satu puncak Pegunungan Muller berketinggian sekitar 1.650 meter menuju muara Sungai Sebunut, Kaltim.
Meskipun dilengkapi berbagai peralatan keamanan, masih dibutuhkan keberanian lebih dari setiap anggota tim untuk melintasi keganasan alam Pegunungan Muller. Kompas, melalui Ekspedisi Barito-Muller- Mahakam, menempuh tantangan itu untuk mengakrabinya. (PRASETYO EKO P)
Image:
Peta: Kalimantan