Kompas/Amir Sodikin

Upacara kematian Mandung yaitu mengantar arwah menuju nirwana, hingga kini masih lestari di hulu Sungai Barito tepatnya di Desa Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah. Upacara kematian ini dipimpin oleh dua orang basie yaitu rohaniawan dalam agama Hindu Kaharingan.

Ekspedisi Lintas Barito-Muller-Mahakam 1

Tim Ekspedisi “Ditahan” Masyarakat Tumbang Topus

·sekitar 3 menit baca

TIM EKSPEDISI “DITAHAN” MASYARAKAT TUMBANG TOPUS

Tumbang Topus, Kompas

Tim Ekspedisi Perintis Lintas Sungai Barito-Pegunungan Muller- Sungai Mahakam “ditahan” masyarakat adat Tumbang Topus, Kecamatan Sumber Barito, Kalimantan Tengah, akhir Mei lalu. Masa “penahanan” saat berlangsung upacara adat kematian Mandung biasanya sampai lima hari.

Pada masa “penahanan” di hari kedua, tim sempat mendapat keringanan serta izin dari Kepala Desa Tumbang Topus. Dengan keringanan ini seharusnya tim bisa segera melanjutkan ekspedisi melintasi Pegunungan Muller.

Namun, keputusan Kepala Desa Tumbang Topus Marudin tersebut mendapat protes warga setempat yang menganggap kepergian tim meninggalkan ritual Mandung itu telah melanggar adat. Bahkan, dalam kesempatan tersebut seorang pemuda sempat memperlihatkan sikap yang sangat emosional dan berucap bahwa tim tidak akan selamat mendaki Pegunungan Muller.

Mereka sangat meyakini kepercayaan itu dan akibatnya karena pelanggaran adat tersebut. Akhirnya tim tertahan lagi. Kepala Adat Arjiman bersama Kepala Desa Marudin serta Sekretaris Desa Damianus Silam akhirnya menggelar sidang adat secara mendadak untuk menyidang tim ekspedisi yang dianggap telah melanggar ketentuan adat.

Kepada tim, Arjiman mengatakan, baik secara pribadi maupun sebagai kepala adat pihaknya beranggapan tim ekspedisi telah melanggar ketentuan adat jika memaksakan diri meninggalkan desa.

“Memang aturan adat kami seperti itu. Siapa pun yang masuk ke desa kami saat berlangsungnya acara adat, dia harus menunggu upacara adat selesai,” katanya.

Sidang adat kemudian membolehkan tim melanjutkan ekspedisi, tetapi dengan syarat membayar jipen atau denda adat dalam bentuk uang.

“Setiap orang akan dikenai satu jipen, tiap satu jipen senilai Rp 30.000. Tapi, karena tim ini membawa misi mengangkat adat istiadat kami, maka kami memberikan keringanan jipen separuhnya saja,” kata Arjiman.

Tim ekspedisi yang beranggotakan unsur dari harian Kompas dan Kelompok Pencinta Alam Meratus Hijau Kalsel dengan rasa hormat menyatakan menerima hasil sidang serta membayar denda jipen. Tim ekspedisi menyatakan bahwa pelanggaran aturan adat tersebut terjadi karena ketidaktahuan tim semata akan adat yang berlaku di desa tersebut.

Di dalam sidang itu juga, dua orang anggota tim ekspedisi memberikan “pengakuan dosa” karena sehari sebelumnya telah meninggalkan desa untuk melihat goa sarang walet.

Kedua anggota tim akhirnya juga membayar denda masing-masing satu jipen sebagai bentuk penghormatan adat Desa Topus yang hingga kini masih lestari.

Selain tim ekspedisi, rombongan Kepala Desa Tumbang Keramu yang sebelumnya mengantar tim dari Tumbang Keramu menuju Topus juga tertahan di desa tersebut.

“Perahu mereka sudah kami ikat dengan benang, itu berarti kami sangat meminta mereka untuk tidak meninggalkan desa kami sebelum upacara berakhir,” kata Arjiman.

Upacara Mandung

Tim ekspedisi dalam hal ini juga beruntung karena bisa menyaksikan upacara kematian Mandung yang makin langka di Hulu Sungai Barito tersebut. Upacara tersebut digelar sebagai rangkaian upacara kematian untuk penganut agama Hindu Kaharingan.

Kepala Desa Tumbang Topus Marudin yang sekaligus pemilik hajatan Mandung mengatakan, Mandung tersebut diselenggarakan untuk mengantar arwah menuju nirwana.

“Berbagai sarana ritual dan hewan korban kami jadikan untuk mengantar kepergian arwah menuju kesempurnaan, ini sebenarnya tahapan terakhir sebelum upacara Tiwah, tapi kami menganggap dengan Mandung ini arwah sudah sempurna menuju perjalanan,” katanya. (AMR/RAY)

Artikel Lainnya