KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Sebagian warga Gunung Kidul mulai kesulitan mendapat air bersih meski belum memasuki musim kemarau, sebagaimana ditemui di Desa Songbanyu, Girisubo, Kamis (23/4). Saat ini setiap satu kepala keluarga mendapatkan jatah air 40 liter per minggu dari aliran PDAM.

Liputan Kompas Nasional

Susur Selatan 2009: Songbanyu, Tak Secantik Alamnya

·sekitar 4 menit baca

Alam begitu cantik di Desa Songbanyu, Kecamatan Girisubo, Gunung Kidul. Tangkapan ikan tuna melimpah di Pelabuhan Sadeng. Tebing-tebingnya menyimpan kekayaan limpahan biota karang dengan harga selangit, seperti lobster. Sebagian wilayah dari desa yang namanya bermakna tebing berair ini pun merupakan muara Sungai Bengawan Solo Purba yang subur luar biasa.

Limpahan kekayaan alam itu ternyata belum mampu mendongkrak perekonomian warga. Mayoritas warga di Desa Songbanyu masih terpuruk dalam kemiskinan. Hanya dusun-dusun di wilayah selatan, seperti Dusun Putat, yang sudah mulai menampakkan wajah segar karena warganya memperoleh pendapatan lebih tinggi dari profesi ganda sebagai petani dan pengrendet (pemancing ikan di bukit karang terjal).

Usaha petani untuk mengrendet ini pun belum menghasilkan panenan lobster optimal karena cara tangkap masih dari atas tebing yang rawan kecelakaan. Buruknya infrastruktur jalan dan kekeringan terus membekap warga sehingga sulit beranjak dari lumpur kemiskinan.

Para petani di Desa Songbanyu umumnya mengeluh panenan ladang mereka yang habis dimangsa tikus. “Tanahnya sangat subur, tetapi polong kacangnya habis dimakan tikus. Ini hanya tinggal memanen daunnya untuk pakan ternak sapi,” keluh pasangan suami istri Marmo (74) dan Seni (40).

Jika tidak diserang tikus, Marmo dan Seni bisa memanen kacang tanah hingga satu kuintal dari ladang tadah hujan seluas seperempat hektar. Kini, mereka hanya membawa pulang 20 kilogram kacang tanah yang tidak mencukupi untuk benih musim tanam berikutnya. Marmo mengaku telah berupaya memberantas tikus, tetapi gagal karena hanya sebagian kecil yang mati.

Meskipun bercocok tanam di muara Sungai Bengawan Solo Purba, ladang mereka pun tak luput dari ketiadaan air. Padahal, ladang tersebut sebenarnya sangat subur dengan endapan aluvial yang dulu dibawa aliran Sungai Bengawan Solo Purba.

Satu-satunya sumur yang terletak di dekat Telaga Suling yang merupakan dasar lembah Sungai Bengawan Solo Purba harus dibor hingga 150 meter untuk memperoleh air yang kemudian dialirkan ke beberapa desa termasuk ke Desa Songbanyu lewat jaringan pipa.

Aliran air dari pengeboran dasar muara Sungai Bengawan Solo Purba itu harus menempuh jarak empat kilometer untuk menjangkau dusun terdekat di Desa Songbanyu. Untuk dikonsumsi, air tersebut masih harus disaring hingga tiga kali karena warnanya keruh.

Kepala Dusun Putat Slamet Sutrisno mengatakan, tiap kepala keluarga hanya mendapat jatah 10-60 liter air per minggu. Warga membayar Rp 100 untuk memperoleh 10 liter air. Harga air per tangki volume 5.000 liter bisa mencapai Rp 160.000, padahal sumber air melimpah di wilayah Pantai Sadeng.

Aliran air dari pipa tersebut hanya mengalir empat jam dengan durasi satu pekan sekali. Air harus ditampung terlebih dulu di sebuah bak yang kemudian disalurkan ke warga dengan menggunakan jeriken. Tanpa adanya pemecahan untuk permasalahan air, konflik antara warga karena berebut air cukup tinggi.

Untuk menghemat air di puncak musim kemarau, warga terbiasa mencuci baju ke Pelabuhan Sadeng yang jaraknya empat kilometer dari dusun. Di Pantai Sadeng yang merupakan muara terakhir dari Sungai Bengawan Solo Purba, warga hanya perlu mengebor sedalam tiga meter untuk memperoleh air.

Kepala Desa Songbanyu Prihadi juga mengaku prihatin karena pembangunan infrastruktur pelabuhan di Pantai Sadeng belum membuahkan dampak signifikan bagi warga lokal. Di Dusun Songbanyu, misalnya, hanya ada tiga orang yang telah beralih dari petani menjadi nelayan. Mereka juga tak memperoleh bagian dari retribusi tempat pendaratan ikan.

Limpahan kekayaan laut baru bisa dinikmati oleh nelayan pengrendet di Dusun Putat. Kesejahteraan warga antara lain bisa dilihat dari kepemilikan ternak sapi di Dusun Putat yang bisa 80 ekor per dusun dibandingkan dengan di Dusun Songbanyu yang hanya 20 ekor.

Perumpamaan ibarat tikus yang kelaparan di lumbung padi agaknya menggambarkan kehidupan warga di Desa Songbanyu. Mereka masih terpuruk dalam kemiskinan dengan limpahan kekayaan alam yang setiap hari melingkupi ruang hidup warga. Pembangunan infrastruktur menjadi kata kunci bagi secercah harapan perbaikan nasib…. (MAWAR KUSUMA WULAN)

Infrastruktur: JLS Hilangkan Kesenjangan

Pembangunan jalan lintas selatan di DI Yogyakarta yang dimulai dari Kabupaten Gunung Kidul untuk menghilangkan disparitas kesenjangan antarwilayah. Bupati Gunung Kidul Suharto optimistis pembangunan jalan itu sanggup meningkatkan dinamika pertumbuhan ekonomi dan kualitas sumber daya manusia.

“Jelajah jalan bermanfaat untuk perencanaan pembangunan. Semoga pembangunan JLS (jalan lintas selatan) bisa mengubah tradisi pengiriman tenaga kerja Gunung Kidul, dari sekadar pembantu rumah tangga menjadi tenaga ahli,” ujar Suharto ketika menerima Tim Ekspedisi Susur Selatan Jawa 2009 Harian Kompas di Desa Songbanyu, Gunung Kidul, Sabtu (2/5).

Suharto berharap pembangunan JLS dapat mendongkrak beragam potensi wisata, perikanan, hingga pemenuhan kebutuhan air bersih bagi penduduk di musim kemarau. Hingga kini baru 74 persen warga Gunung Kidul yang sudah teraliri air bersih. Suharto menargetkan air tak lagi menjadi masalah nasional pada 2010.

Kendala utama pembangunan JLS, menurut Suharto adalah pembebasan lahan. Harga pembebasan yang telah rampung berkisar Rp 60.000-Rp 150.000 permeter persegi. Kendala terutama dialami di kawasan wisata di Desa Girijati, Purwosari, yang warganya mematok harga tanah hingga Rp 2 juta per meter persegi.

Kepala Bidang Bina Marga, Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Energi Sumber Daya Mineral (DPUP ESDM) DI Yogyakarta Tjipto Haribowo mengatakan, pembangunan JLS di daerahnya melewati Kabupaten Kulon Progo, Bantul, dan Gunung Kidul. “Pengendalian tata ruang sangat penting supaya peruntukan JLS tidak bergeser dari tujuan mendongkrak perekonomian warga wilayah selatan,” ujarnya.

Panjang total JLS di Yogyakarta 122,71 kilometer. Sekitar 80 persen di antaranya berlokasi di Gunung Kidul. Pembebasan lahan telah dimulai sejak tahun 2005 dan dibiayai menggunakan APBD DIY 90 persen dan dan APBD kabupaten 10 persen.

Dari total 83,25 kilometer JLS di Gunung Kidul, 22 kilometer di antaranya selesai dibebaskan. Total dana pembebasan 2005-2008 sebesar Rp 24,5 miliar.

Pengerjaan fisik tersebut meliputi pelebaran jalan hingga 14 meter di wilayah yang datar, serta pelebaran hingga 18-25 meter di jalan yang melintasi jurang dan perbukitan kars. (YOP/ARA/WKM)

Artikel Lainnya