KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Banyak pantai di selatan Jawa hingga kini belum dikembangkan menjadi kawasan wisata. Padahal, keindahannya bisa menjadi daya tarik yang kuat untuk menarik kunjungan wisatawan. Salah satunya adalah Pantai Timang di Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, Sabtu (2/5). Selain alam yang indah, pantai tersebut juga memiliki keunikan, yakni jembatan gantung untuk pencari lobster.

Liputan Kompas Nasional

Susur Selatan Jawa 2009: Secercah Harapan Air Murah Menjelang Kemarau

·sekitar 4 menit baca

Mbah Wiryo Suwito menggosok seluruh tubuh keriputnya dengan daun jarak muda di tepi Telaga Lebak, di perbukitan karst, Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Daun yang seluruhnya hancur teremas itu, pengganti sabun mandi yang tak lagi terbeli oleh petani Dusun Kemiri itu.

Menjelang musim kemarau seperti saat ini, Sabtu (2/5), perempuan desa seperti Mbah Wiryo harus bersiasat untuk menghemat uang. Sebentar lagi, duit yang berhasil mereka simpan dari penjualan hasil bumi dan ternak selama setahun harus segera dibelanjakan minimal Rp 700.000 per keluarga untuk pembelian air pada musim kemarau.

Secercah harapan tentang air murah mulai berembus seiring pembangunan proyek air bersih Baron-Ngobaran yang dibangun dengan dana hibah dari Jepang senilai Rp 84,6 miliar. April ini, proyek tersebut dipastikan selesai dan secara bertahap telah mengalirkan air ke pipa-pipa rumah sebagian warga.

Warga di Desa Kemadang,Tanjungsari, misalnya, telah menikmati aliran dari air yang ditampung dari sungai bawah tanah yang bermuara di Pantai Baron. Mereka yang telah teraliri air proyek Baron-Ngobaran tak lagi memanfaatkan telaga, atau berjalan kaki ke muara sungai bawah tanah di Pantai Baron untuk mandi dan mencuci.

Perbukitan karst yang selama ini menjadi ladang pertanian milik Mbah Wiryo telah dimanfaatkan untuk pembangunan salah satu bak untuk mengalirkan air dari Proyek Baron-Ngobaran. Namun, dia belum tahu kapan bisa menikmati aliran air yang diharapkannya bisa lebih murah dibandingkan dengan jika membeli dari mobil tangki air.

Sepanjang musim kemarau, Mbah Wiryo biasa membeli delapan tangki air dengan harga Rp 90.0000 per tangki air isi 5.000 liter. “Wah, saya tidak tahu kapan air dari Jepang itu bisa mengalir ke rumah. Kalau mahal, ya tidak mau beli,” ujar nenek dua cucu ini, diiringi anggukan tanda setuju dari beberapa tetangganya yang sedang mencuci di telaga.

Untuk menghemat air, Mbah Wiryo dan tetangganya masih memanfaatkan telaga tadah hujan, yang airnya hanya mampu bertahan tujuh bulan untuk mandi, mencuci baju, hingga mencuci seluruh perabotan rumah tangga. Air genangan keruh berwarna coklat tanpa saluran pembuangan itu masih menjadi tumpuan kebutuhan air bagi warga.

Selesainya pembangunan transmisi dan jalur distribusi sistem Baron-Ngobaran oleh Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) tidak serta-merta mengalirkan air ke seluruh warga. Apalagi masih terjadi tarik ulur tentang siapa yang akan menanggung biaya operasional pengangkatan air bagi 12 desa di wilayah selatan Gunung Kidul ini.

Pengangkatan air sistem Baron-Ngobaran ini memanfaatkan energi listrik multiguna dari Perusahaan Listrik Negara dengan tarif lebih mahal daripada listrik industri, yaitu Rp 1.380 per kWh. Untuk penyediaan aliran air selama 6-8 jam per hari, pemerintah daerah harus menyediakan dana Rp 150 juta-Rp 170 juta per bulan.

Biaya operasional itu masih ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul, sebelum nantinya dialihkan ke perusahaan daerah air minum (PDAM). Saat ini, baru 650 sambungan rumah (SR) yang teraliri air dari sistem Baron-Ngobaran. Rencananya, sistem tersebut akan mengaliri 953 SR di Baron, 1.766 SR di Ngobaran, dan 454 SR di Panggang.

Data PDAM menyebutkan, sistem Baron-Ngobaran mampu menyalurkan debit air 100 liter per detik. Ke depan, sistem Baron-Ngobaran akan disambungkan dengan sistem pengangkatan air bawah tanah dari Goa Bribin. Debit sungai bawah tanah di Baron 1.250 liter per detik, sistem Ngobaran 1.250 liter per detik, dan sistem Bribin 960 liter per detik.

Proyek Bribin II

Proyek air bersih Bribin II yang bekerja sama dengan Pemerintah Jerman, baru terpasang satu modul dengan aliran 20 liter per detik. Sistem Bribin diharapkan lebih murah karena pompa digerakkan oleh kemampuan debit air sungai bawah tanah Goa Bribin, bukan menggunakan listrik. Proyek ini akan mengaliri wilayah Kecamatan Tepus dan Semanu.

Menurut Bupati Gunung Kidul Suharto, masih tersisa tiga modul yang belum terselesaikan di sistem Bribin. “Pada tahun 2010, masalah air ditargetkan tidak lagi menjadi masalah nasional atau internasional, tapi bisa diselesaikan di tingkat lokal,” ujar Suharto.

Sebagian masyarakat yang telah menikmati aliran air dari sistem Baron-Ngobaran masih dikenai tarif murah, yaitu Rp 1.700 per meter kubik. Biaya minimum penyediaan air bersih di wilayah Selatan Gunung Kidul, lanjut Suharto, mencapai Rp 3.000 per meter kubik sehingga berdampak pada tingginya kerugian PDAM.

Seiring belum adanya solusi terkait dengan pendanaan operasional pengangkatan air di Baron-Ngobaran, pemerintah kabupaten sedang mengusulkan kenaikan tarif air yang akan dibebankan kepada masyarakat. Untuk menyiasati kerugian, PDAM harus memberlakukan sistem penjatahan air dengan aliran air satu pekan sekali.

Ketika masyarakat Gunung Kidul didera kekeringan di musim kemarau, limpahan air tanah tersimpan di alur-alur sungai bawah tanahnya. Air di sungai bawah tanah ini tidak mustahil diangkat untuk pemenuhan kebutuhan warga seperti yang dilakukan melalui Proyek Baron-Ngobaran dan Proyek Bribin.

Namun, pengangkatan air itu harus memaki teknologi maju yang masih menyedot biaya tinggi. Masyarakat Gunung Kidul yang dianugerahi limpahan air di bawah tanah hingga kini masih menderita akibat kekeringan. Semoga jalan yang dirintis lewat bantuan negara sahabat itu suatu saat nanti bisa sepenuhnya dinikmati warga. Tentunya dengan harga terjangkau.

Artikel Lainnya