KOMPAS/AGNES RITA SULISTYAWATY

Anak-anak asyik melompat ke laut dari sebuah dermaga kayu kecil yang ada di Dok II, Kota Jayapura, Sabtu (18/8). Fasilitas publik yang dapat dimanfaatkan secara gratis ini digunakan oleh sebagian anak-anak di Papua untuk mengisi waktu senggang.

Liputan Kompas Nasional

Kelautan: Tangkap Ikan Sebesar Rumah

·sekitar 4 menit baca

Seorang nelayan masuk ke satu warung sambil menemui kawan-kawannya. “Woooiii… sa dapat ikan sebesar rumah,” serunya sambil tertawa bangga, menceritakan kepada sahabat-sahabatnya tentang hasil tangkapannya.

Kawan yang tengah menyeruput “milo” atau minuman lokal menanggapi enteng. “Ah, sa juga dapat ikan sebesar rumah. Waktu itu, gelap karena sa tidak bawa lampu. Eh, waktu sa lihat itu sa pu ikan, ternyata yang sebesar rumah itu baru matanya saja!” ujarnya.

Kisah pendek yang menghibur alias mop itu beredar di kalangan masyarakat pelaut dari rumpun budaya besar Saireri dari Kabupaten Biak Numfor, Kabupaten Yapen Waropen, dan Kabupaten Waropen, Papua. Masyarakat pengusung budaya itu kini hidup tersebar di Kota Jayapura. Namun, kebiasaan itu tetap terbawa.

Di sejumlah permukiman di Kota Jayapura, masyarakat nelayan masih menempati rumah-rumah di pantai yang bangunannya sampai menjorok ke laut.

Perahu-perahu masih diparkir di dekat rumah sebagai tanda bahwa pemiliknya “hobi” melaut. Ikan bakar masih menjadi salah satu menu lezat. Itu memang dorang pu lauk utama.

Meskipun tidak sebesar rumah seperti dalam mop tadi, ikan tangkapan nelayan jago melaut ini sampai sepanjang tangan orang dewasa, mulai dari cakalang, kakap merah, ekor kuning, salam, hingga tenggiri.

“Kemarin sa dapat sampai 200 ekor. Besarnya segini,” ucap Karel Karubaba (35) sambil menunjukkan batas tengah lengan atas tangan kanan. Karel yang tinggal di Dok IX, Kelurahan Imbi, Distrik Jayapura Utara, berasal dari suku Serui.

Tidak tanggung-tanggung, para nelayan itu melaut sampai 80-100 mil dari permukiman mereka. Batas “pe-en-je” alias Papua Niugini tidak terlihat di laut. Mereka santai-santai aja “tancap gas” sampai ke perairan tetangga.

Malah ada mop tentang nelayan yang melaut sampai negara sebelah “rumah”. Untuk bersiap-siap melaut sampai jauh, nelayan membawa banyak bahan bakar minyak (BBM) untuk motor perahunya. Mereka apes tidak mendapatkan ikan. Daripada pulang dengan tangan hampa, mereka pun menjual bensin ke negara tetangga. Jadilah nelayan pulang bawa uang, atau setidaknya ikan Papua Niugini.

Warisan

“Cara kami menangkap ikan masih tetap sama. Dari zaman nenek moyang sampai sekarang. Bedanya, kami tidak perlu capek-capek mendayung, tapi cukup menarik ini,” kata Very Manggaprou (17) sambil menunjukkan tuas mesin yang menempel di perahu.

Perahu yang dipakai masih sama: terbuat dari kayu dengan cadik di kedua sisi sebagai penyeimbang. Ukuran perahu tidak terlalu besar. Panjangnya sekitar 10 meter, lebar semeteran, dan tinggi 60 sentimeter.

Di perahu itulah tiga nelayan siap berlayar membawa kotak-kotak berisi es untuk mengawetkan ikan hasil tangkapan. Tiap orang di perahu punya kerja masing-masing. “Yang duduk di belakang mengurus mesin. Yang di tengah kebagian tugas buang air yang masuk ke perahu, sedangkan yang duduk di depan bertugas mengamati petunjuk di mana ikan ada,” kata Very lagi.

Ilmu mengamati ikan juga diwariskan dari leluhur. “Caranya gampang saja. Kalau ada burung atau bebek laut yang terbang rendah di air lalu ikan melompat-lompat, ah sudah, itu tandanya ada ikan,” kata Engel Berth.

Bila sudah begitu, kapal berjalan pelan berputar-putar di sekitar lokasi itu. Hup! Tiga pancing ditebar oleh tiga awak kapal ke arah yang berbeda. Yang paling depan menebar pancing di sebelah kanan, yang tengah di sebelah kiri, dan yang di belakang ke arah belakang perahu.

“Nelayan Papua dapat ikan ratusan ekor saja sekali melaut. Tidak seperti nelayan pendatang dari Palopo, Bugis, atau daerah lain yang bisa mendapatkan ikan sampai ribuan ekor karena memakai jaring. Kami tetap pakai pancing ini saja,” kata Engel.

“Kitong” saudara

Ikan tangkapan, pertama-tama, bukan untuk dijual. Pemenuhan kebutuhan keluarga adalah prioritas. Mereka juga tidak ambil pusing memberi ikan yang diperoleh dengan keringat itu kepada saudara atau kerabat. “Ah, kitong saudara. Kalau ada yang mau ikan dan datang ke rumah, tentu kami suruh ambil,” tutur Karel.

Ikan yang tersisa barulah dijual ke pasar. Tentu, jumlah ikan yang dijual berkaitan dengan uang yang masuk ke kantong. Seorang nelayan paling-paling mengantongi Rp 2 juta untuk sekitar 200 ikan, besar dan kecil.

Pendapatan besar, tetapi pengeluaran juga besar. Jika dihitung-hitung, pengeluaran untuk beli BBM, oli, dan alat pancing mencapai Rp 1,4 juta. Setelah hasil dibagi-bagi, satu nelayan mengantongi Rp 100.000 saja. Sementara, nelayan yang memakai jaring bisa mendapatkan uang tiga kali lipat.

Mungkin sulit memahami pilihan sikap budaya nelayan yang populer disebut “Orang Serui” ini. Apalagi, orang di bumi ini sebagian besar mendambakan keuntungan yang besar. Kalau perlu, sebisa mungkin memperkaya diri sendiri dengan menimbun keuntungan sebanyak-banyaknya.

“Tak usahlah pakai logika kapitalis untuk memahami perilaku nelayan Serui, Biak, atau nelayan Papua lain yang tetap memilih melaut secara tradisional. Menangkap ikan ini bukan pertama-tama untuk dijual, tetapi untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga dan keluarga besar,” tutur Frans Apomfires, dosen antropologi Universitas Cenderawasih yang juga dari Serui.

Tak hanya itu. Masyarakat Papua juga mengantongi keuntungan sosial lain. Melaut adalah ajang bertukar kisah antarawak kapal. Begitu pula ketika membuat bulu-bulu pancing dari kain, itu merupakan saat untuk bertemu dan baku cerita.

Begitu senangnya masyarakat nelayan itu berkumpul dan bertukar cerita, sampai-sampai ada peribahasa pelesetan yang beredar di masyarakat Papua, “Berseru-serulah Orang Serui, dan berbiak-biaklah Orang Biak untuk penuhi bumi ini.” Ah trapapa toh….

RUDY BADIL Wartawan Tinggal di Jakarta

Artikel Lainnya