Arkilaus Kladit (47) berdiri di bibir tebing sembari menatap rimbun pepohonan hutan Desa Manggroholo dan Desa Sira, Sorong Selatan, Papua Barat, Rabu (9/6/2021). Hutan seluas 3.500 hektar itu menjadi hutan desa pertama di tanah Papua setelah ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2014.

Penetapan status hutan desa itu meredakan keresahannya selama lebih dari satu dekade. Apalagi, tiga tahun berselang, warga suku Knasaimos yang tinggal di dua desa itu mendapatkan hak kelola hutan dari Pemerintah Papua Barat.

”Status hutan desa dan hak kelola itu ibarat benteng bagi warga untuk terus menjaga dan melestarikan hutan,” ujar Arkilaus yang menjabat sebagai Koordinator Hutan Desa Manggroholo dan Desa Sira.

Akan tetapi, status itu tidak didapat dalam waktu singkat. Lebih dari sepuluh tahun warga desa berjuang memperoleh hak pengelolaan hutan yang telah menjadi sumber kehidupan warga adat turun-temurun.

Ketika masih kuliah di Universitas Muhammadiyah Sorong pada awal 2000-an, Arkilaus resah dengan masifnya pembalakan liar di Sorong Selatan. Penggundulan hutan ini diikuti ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit dan perusahaan kayu.

Anak-anak dikenalkan hutan sebagai rumah mereka. Dengan begitu, mereka juga akan berusaha menjaga hutan.

Sejumlah warga yang tergiur uang justru kehilangan hutannya. Namun, gelontoran uang itu tak bisa menjamin kesejahteraan mereka setelahnya. Ketika uang habis, hutan sudah lenyap.

Arkilaus menyadari fenomena itu sebagai ancaman serius bagi warga di kampungnya. Bersama warga lain, ia mulai menjalin komunikasi dengan lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada pelestarian lingkungan. Saat itu, warga desa masih buta tentang regulasi perlindungan hutan ulayat.

Gagasan pelestarian hutan ini didiskusikan dari rumah ke rumah. ”Saat itu fokus kami menolak illegal logging. Belum ada wacana mendapatkan status hutan desa,” ucapnya.

Masyarakat Desa Manggroholo dan Desa Sira pun menggelar deklarasi adat pada 2007 untuk melindungi hutan. Mereka menggandeng Greenpeace sebagai pendamping.

Warga diedukasi tentang perlindungan hutan berkelanjutan. Tujuannya, agar mereka tak tergoda dengan keuntungan menjual tanah adat, tetapi berpikir jauh untuk kehidupan generasi selanjutnya.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Hutan yang masih asri mengelilingi kawasan pemukiman di Kampung Sira, Sorong Selatan, Papua Barat, Rabu (9/6/2021). Masyarakat setempat bertekad terus melestarikan alam di hutan desa yang mereka kelola.

”Warga sepakat, siapa yang menjual lahannya akan dikenai sanksi adat. Bisa berupa denda, bahkan pertaruhan nyawa. Keputusannya ditentukan dalam sidang adat,” ujarnya.

Masyarakat dua desa itu pun dilatih memetakan wilayah secara partisipatif untuk menyepakati batas kepemilikan warga. Perwakilan marga dilibatkan dalam pemetaan demi mencegah konflik.

Mereka menggunakan batas-batas alam, seperti pohon, batu, sungai, dan kontur lahan. Setelah itu, setiap marga menentukan area berkebun dan area perlindungan. Dengan cara ini, warga tidak dapat memanfaatkan hutan sesukanya. Ada area lindung yang harus dijaga demi kelestariannya. Penebangan pohon pun dibatasi.

”Setiap desa hanya boleh menebang kayu 50 meter kubik per tahun. Jadi, dalam setahun hanya 100 meter kubik. Kalau ingin membangun rumah, warga bergantian mengambil kayu dari hutan,” ujarnya.

Arkilaus juga merancang ide kesepakatan perwakilan marga agar kayu dari hutan hanya bisa dimanfaatkan oleh warga setempat. Ia menyadari, ribuan pohon merbau, matoa, bintangur, dan damar yang tumbuh subur di hutan itu bernilai jual tinggi dan berpotensi membuat warga desa tergiur untuk menjualnya.

Oleh sebab itu, dibutuhkan aturan ketat demi mencegah pembeli dari luar desa. ”Orang luar mungkin punya banyak uang. Namun, selama kami menolak, hutan akan tetap terjaga,” ujarnya.

Sumber kehidupan

Lebih dari 80 keluarga yang tinggal di Desa Manggroholo dan Desa Sira menggantungkan hidup dari hutan. Mereka melanjutkan cara hidup dari leluhur dengan memanen sagu, berburu, serta menjual buah dari hutan dan getah damar.

”Semua warga di sini hidup dari hutan. Bukan hanya untuk makan, tetapi juga untuk menyekolahkan anak-anaknya,” ucapnya.

Setiap pagi, warga menokok sagu di sekitar aliran sungai. Warga bisa memanen dua karung sagu berkapasitas 15 kilogram (kg) per hari. Setelah diramas, setiap karung menghasilkan sekitar 2 kg sagu dengan harga Rp 150.000-Rp 200.000 per kg.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO

Anak-anak bermain di Kampung Sira, Sorong Selatan, Papua Barat, Rabu (9/6/2021). Sagu masih menjadi makanan pokok bagi warga setempat.

Papeda yang terbuat dari sagu menjadi makanan pokok warga setempat. Selain itu, warga desa juga berupaya membuat makanan olahan dari sagu, salah satunya roti sagu. Produk olahan dapat memberikan nilai lebih sehingga diharapkan mendongkrak kesejahteraan warga.

Hutan desa juga ditumbuhi beragam pohon buah, seperti durian, nanas, dan duku. Setiap musim berbuah, buah-buahan itu dipanen dan dijual ke pasar untuk menambah penghasilan. Jadi, kebutuhan makan mereka sehari-hari terpenuhi dari hutan.

Menjaga hutan desa tidak hanya penting untuk saat ini, tetapi juga masa depan. Oleh sebab itu, anak-anak di Desa Manggroholo dan Desa Sira sejak dini diajak ke hutan oleh orangtuanya. Beberapa di antara mereka membantu meramas sagu. Namun, ada juga yang sekadar bermain di bawah rindang pepohonan.

”Anak-anak dikenalkan hutan sebagai rumah mereka. Dengan begitu, mereka juga akan berusaha menjaga hutan,” katanya.

Arkilaus menuturkan, kesadarannya untuk bergerak melindungi hutan dari incaran perusahaan tidak terlepas dari jaringan pertemanannya saat kuliah. Ia berteman dengan sejumlah aktivis lembaga peduli lingkungan. Lulusan fakultas ilmu sosial dan ilmu politik itu juga belajar membaca fenomena sosial, salah satunya dampak negatif warga lokal yang menjual lahan hutannya.

Status hutan desa yang diperoleh warga Desa Manggroholo dan Desa Sira tujuh tahun lalu bukanlah akhir perjuangan Arkilaus. Status itu justru menjadi batu pijakan untuk membuka babak baru dalam mengoptimalkan hasil hutan demi kehidupan lebih baik di masa depan. (Tatang Mulyana Sinaga/Fransiskus Pati Herin)

Arkilaus Kladit

Lahir: Sorong Selatan, 7 April 1974

Istri: Yosepina (45)

Pendidikan terakhir: Universitas Muhammadiyah Sorong (lulus 2004)

Jabatan: Koordinator Hutan Desa Manggroholo dan Desa Sira (2014-

sekarang)