Solomon Maywa (30) berjalan perlahan di depan. Secara teratur, dia mengeluarkan suara seperti batuk yang tertahan sambil matanya tajam menyapu hutan sekeliling. Saat pandangannya menangkap sesuatu, dia menghentikan langkah untuk menyelidiki lebih jauh.

Lelaki Suku Kanume, subsuku Marind Anim, itu sedang mencari kanguru di hutan ulayatnya, di Kampung Yakyu, Distrik Sota, Merauke, Kamis (12/3/2020). Dalam bahasa Marind Anim, suku asli terbesar di Merauke, kanguru disebut “saham”.

Satwa berkantung itu merupakan binatang endemik Papua dan Australia. Di Papua, dia hanya bisa ditemukan di Merauke. Karena itu, kanguru juga menjadi salah satu unsur lambang resmi kabupaten terluas di Papua tersebut.

Solomon Maywa konsentrasi akan melepaskan anak panah saat berburu kanguru di hutan Dusun Yakyu, Kampung Rawa Biru, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis (12/3/2020). Dusun Yakyu letaknya terpencil di pelosok Merauke yang berjarak 900 meter dari garis batas RI dan Papua Niugini. Di sudut pedalaman TN Wasur yang dikelilingi hutan lebat dan rawa-rawa itulah kanguru masih relatig mudah ditemukan. Perburuan kanguru di kawasan TN Wasur diperbolehkan asal menggunakan metode tradisional dengan panah atau tombak. Jumlah yang diburu pun terbatas, yakni hanyauntuk memenuhi kebutuhan makan keluarga.

Namun, percobaan pertama Solomon pagi itu gagal. Hewan itu keburu kabur sebelum kami bisa mendekat untuk mengabadikan gambarnya. “Dia cium kita pu (punya) bau badan. Itu jejaknya, masih baru. Di sini dia pu tempat main-main,” kata Solomon kepada Kompas yang mengikutinya dalam pencarian itu.

Rombongan yang terdiri dari enam orang lalu dipecah agar tak terlalu berisik. Pencarian pun berlanjut dengan cara yang sama, masih dikomandoi Solomon. Sekitar 30 menit kemudian, penyisiran membuahkan hasil.

Seekor kanguru melompat dari balik semak-semak lebat, sekitar 10 meter di depan kami. Namun, gerakannya teramat cepat sehingga dalam sekejap dia kembali menghilang di hutan. Itulah kesempatan terbaik kami sepanjang hampir tiga jam menyusuri hutan untuk menjumpai kanguru di alam liar. Sisanya, kami hanya menemukan jejak-jejaknya yang tercetak di tanah.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Jejak kanguru di hutan Dusun Yakyu, Kampung Rawa Biru, Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis (12/3/2020).

Meski hanya lewat sekelebat, ada perasaan senang juga mengetahui populasi kanguru di alam bebas masih ada. Lokasi Kampung Yakyu yang terpencil di pelosok Merauke menjauhkan satwa itu dari ancaman terbesarnya selama ini, yakni perburuan masif.

Untuk mencapai Yakyu, kami harus memulai perjalanan dari Kampung Rawa Biru. Rawa Biru sendiri berjarak 63 kilometer dari pusat kota Merauke atau sekitar 1,5 jam perjalanan roda empat. Dari titik itu, perjalanan dilanjutkan dengan perahu motor ketinting melintasi perairan rawa selama 1,5 jam lagi.

Kampung Yakyu hanya berjarak sekitar 900 meter dari garis batas RI dan Papua Niugini. Karena itu, ada sebuah pos Satuan Tugas TNI di ujung kampung tersebut. Permukiman yang dihuni 23 keluarga itu masuk dalam kawasan Taman Nasional (TN) Wasur. Wilayah konservasi tersebut luasnya 413.810 hektar, setara luas enam kota seukuran DKI Jakarta ditambah satu kota seukuran Kota Bandung.

Di sudut pedalaman TN Wasur yang dikelilingi hutan lebat dan rawa-rawa itulah kanguru masih relatif mudah ditemukan. Berdasarkan data Balai TN Wasur, terdapat tiga jenis kanguru di sana, yakni Macropus agilis, Dorcopsis veterum, dan Thylogale brunii.

Semuanya merupakan jenis kanguru kecil atau biasa disebut walabi. Berdasarkan daftar merah lembaga konservasi alam internasional IUCN, D veterum dan T brunii berstatus satwa yang rentan punah (vulnerable).

Kondisi tersebut salah satunya disebabkan masifnya perburuan. Satwa yang hingga awal dekade 2000-an dengan mudah terlihat di sabana-sabana sekitar Merauke itu kini menghilang. Menurut penuturan sejumlah warga pemandangan kanguru melintas di jalan Trans-Papua masih sering terjadi. Kini tidak pernah lagi.

Jalan Trans-Papua yang menghubungkan Merauke dengan Boven Digoel itu membelah TN Wasur. Walhasil, infrastruktur vital tersebut juga turut memudahkan akses bagi para pemburu.

Pasar Merauke, Papua yang menjual daging kanguru, Kamis (12/3/2020). Satu potong paha kanguru dijual Rp. 50 ribu.

Daging kanguru pun dengan mudah ditemui di pasar di Merauke, salah satunya di Pasar Baru Kelapa Lima. Seorang perempuan asli Papua menjajakan seekor kanguru yang telah dipotong-potong dengan harga Rp 50.000 untuk bagian paha, Rp 40.000 untuk rusuk, dan Rp 30.000 untuk kepala. “Suami yang berburu,” katanya saat ditanya asal daging itu.

Metode tradisional

Sebenarnya, perburuan kanguru di kawasan TN Wasur diperbolehkan asal menggunakan metode tradisional dengan panah atau tombak. Jumlah yang diburu pun terbatas, yakni hanya untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga.

Sebelum TN Wasur dibentuk pada 1997, perburuan tradisional sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari Suku Marind Anim selama ribuan tahun. Perburuan dengan pola itu menjamin keberlangsungan satwa karena hanya mengambil secukupnya untuk konsumsi sendiri.

Hal itu seperti yang dilakukan Solomon. Dia seminggu sekali ke hutan untuk berburu dengan panah. Dalam kesempatan itu, dia bisa mendapat 2-3 ekor kanguru. “Tapi, pernah juga tidak dapat sama sekali,” katanya.

Hasilnya untuk makan keluarga, sebagian lagi dijual ke pengepul di Rawa Biru dengan harga Rp 13.000-Rp 15.000 per kilogram daging. Berat seekor kanguru mencapai 10-18 kilogram. Dari berburu kanguru, termasuk hewan lain seperti rusa dan ikan, Solomon mengaku bisa mendapat Rp 600.000 hingga Rp 1,5 juta per minggu. “Untuk beli beras, pinang, tembakau, dan garam,” ujarnya.

Ternyata betul, sekarang anak-anak saya tidak bisa makan daging saham lagi.

Metode berburu yang dipakai Solomon pun unik, yakni dengan menirukan suara panggilan kawin kanguru betina untuk memancing kedatangan kanguru. Suaranya seperti batuk tertahan tadi. Teknik itu dipelajari dari orangtuanya.

Cara itu sekaligus sejalan dengan prinsip keberlanjutan karena dipastikan yang datang mendekat hanyalah kanguru jantan dewasa. Adapun kanguru yang masih kecil atau betina, termasuk yang sedang bunting, tak akan terganggu sehingga kelestarian populasi terjaga.

Namun, di banyak tempat lain, pemburu menggunakan metode yang merusak keseimbangan alam. Ada yang memakai senapan, ada pula yang menggunakan metode senter dan bacok. Cahaya lampu senter dipakai untuk menyilaukan mata hewan buruan, seperti rusa dan kanguru, sehingga dapat didekati kemudian dibacok. Berapa satwa yang ketemu, sebanyak itu pula yang dihabisi.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Kanguru di Bomisai, Taman Nasional Wasur, Merauke, Papua, Kamis (12/3/2020). Mamalia besar asli yang terdapat di kawasan TN Wasur adalah tiga marsupial yaitu kanguru lincah (Macropus agilis), kanguru hutan/biasa (Darcopsis veterum) dan kanguru bus (Thylogale brunii).

Para pemburu kebanyakan orang dari kota Merauke. Namun, tak sedikit juga warga asli setempat yang menggunakan metode merusak itu, baik sendiri maupun bekerja sama dengan orang luar kampung melalui sistem bagi hasil.

Hal itu seperti diakui oleh mantan pemburu, Gerfasius Ndimar (47), warga Kampung Yanggandur, masih di Distrik Sota. Kampung yang juga dihuni Suku Kanume itu pun masuk dalam kawasan TN Wasur. Sebelum tahun 2001, Gerfasius getol berburu kanguru, rusa, kasuari, dan babi.

Awalnya, dia memakai metode tradisional juga. Namun, setelah melihat orang-orang dari luar kampung bisa mendapatkan hasil lebih banyak dengan senapan angin dan senter, dia tergiur memakai cara itu juga. Motivasinya pun bukan lagi untuk dikonsumsi langsung, tapi dijual. “Pernah satu kali berburu bisa dapat 30 saham,” katanya.

Aturan adat

Sekarang, Gerfasius mengaku menyesal. Kanguru, yang dulunya banyak berkeliaran di sekitar kampung, kini lenyap. Kalaupun ada, warga harus masuk jauh ke pedalaman hutan yang jaraknya 10-12 kilometer dari kampung.

“Betul kata orang tua dulu. Mereka dulu marah saya berburu pakai cara itu, tapi saya tidak dengar. Mereka bilang, ‘nanti kau bikin habis semua itu, anak-cucu tidak bisa makan lagi’. Ternyata betul, sekarang anak-anak saya tidak bisa makan daging saham lagi,” ujar Gerfasius.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Pasar Merauke, Papua yang menjual daging kanguru, Kamis (12/3/2020). Satu potong paha kanguru dijual Rp. 50 ribu.

Hal itu dibenarkan oleh Jeremias K Dimar (58), tokoh masyarakat Yanggandur. Dia adalah salah satu yang dulu kerap menasihati Gerfasius dan warga lain agar tidak berburu dengan metode tersebut. Saat menjadi kepala kampung pada 2000-2012, Jeremias menerapkan larangan berburu dengan cara merusak itu.

“Sampai tahun 1990-an masih banyak saham di sekitar sini. Sekarang, mau lihat saham, harapan tipis,” ujarnya sambil tersenyum getir.

Jeremias mengatakan, agar kanguru yang kini tersisa di zona inti TN Wasur di pedalaman hutan bisa terjaga populasinya, bahkan bertambah, perlu dilindungi dengan aturan adat. Menurut dia, aturan adat akan lebih efektif ketimbang aturan hukum formal. “Kalau pakai undang-undang, sampai kiamat tidak akan berhasil. Tapi, kalau pakai hukum adat, orang akan takut,” ucapnya.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Lanskap Rawa Biru, jantung Taman Nasional Wasur di Distrik Sota, Kabupaten Merauke, Papua, Kamis (12/3/2020). Rawa Biru merupakan rawa permanen yang terletak di Kampung Rawa Biru yang dikelilingi oleh hutan dominan kayu putih atau gelam. Rawa ini merupakan habitat berbagai ikan, burung, reptil dan amphibi.

Usulan ini pun sudah sering dikemukakannya kepada pemerintah. Namun, hal ini belum bisa terealisasi karena perlu dibicarakan dengan 8 kampung Suku Kanume lainnya. Upaya mengembalikan populasi kanguru disebut Jeremias penting. “Supaya anak-anak nanti masih bisa makan dagingnya, masih bisa lihat. Bukan lihat di gambar,” ujarnya.

Kepala Balai TN Wasur Yarman mengungkapkan, perburuan menjadi salah satu persoalan di dalam TN Wasur, selain kebakaran hutan. Sejumlah satwa yang kerap diburu antara lain, rusa, walabi, dan kanguru. Untuk mengatasi perburuan, pihak TN Wasur rutin melakukan patroli dan menggandeng masyarakat adat untuk turut serta mengawasi. “Selain perburuan, satwa di Wasur ini mulai berkurang jumlahnya karena juga berpindah tempat,” kata Yarman. (Mohamad Final Daeng/ICH/ILO)