Derasnya arus sungai yang mengalir di area pengendapan tailing, Kabupaten Mimika, Papua, tak membuat ribuan pendulang emas gentar. Semakin deras, semakin banjir, kian silau pula pandangan mereka yang makin berharap emas datang mengisi pundi-pundi para penambang. Nyawa mereka dipertaruhkan demi setitik emas.

Yakundus Heatubun (36), memarkir motornya di Nawaripi, sekitar 20 menit dari Bandar Udara Mozes Kilangin, Kota Timika. Matahari menyengat. Ia bergegas menyeberangi bendungan lama Kota Timika yang penuh dengan lumut. Perlu melepas sandal untuk bisa lolos melewati bendungan itu.

Setelah melewati bendungan, Jek, sapaan akrabnya, menyeberang ke Jalan Port Site milik PT Freeport Indonesia (FI). Lima menit melintas, ia tiba di Sungai Ajkwa besar atau yang disebut sungai jernih oleh warga sekitar. Jek kemudian berjalan kaki menyisir sungai di atas bebatuan lalu menyeberang.

Perlu dua kali percobaan untuk bisa menyeberangi sungai yang gelombangnya terus menggulung itu. Percobaan pertama ia mundur karena tak yakin dengan kedalamannya. Percobaan kedua, ia harus berjalan kaki lagi selama 10 menit untuk yakin bahwa tempat ia menyeberang itu dangkal.

Kalau sedang banjir itu, di sini macam semut, ribuan orang datang mendulang. Jadi makin banjir, ya banjir emas juga to.

“Di sini sudah dua orang mati terbawa arus sampai di laut (Arafura) sana,” katanya, akhir Oktober 2021.

Dua orang yang meninggal itu, lanjut Jek, merupakan kerabatnya yang juga sesama pendulang. Keduanya terseret arus saat berusaha menyeberangi sungai ke tempat mendulang. Peristiwa itu terjadi pada Januari 2021 lalu. Saat itu kondisi sungai sedang banjir dan kondisi hujan deras.

“Umur sudah tua lagi, sekitar 60-an tahun kah, jadi badan tidak kuat tahan arus lalu tenggelam, dorang (mereka) pu (punya) jasad juga tidak dapat lihat sampai sekarang,” ungkap pria asal Kei besar itu.

Raut wajahnya lurus seakan peristiwa itu merupakan hal biasa. Ia tahu betul risiko mendulang di tempat pembuangan limbah itu memang mengancam nyawa. Namun, demi emas, bayangan kematian yang bisa datang kapan saja itu harus ia lawan.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Lanskap muara sungai di Laut Arafuru yang berubah menjadi daratan saat surut karena tebalnya limbah pasir tailing, Senin (25/10/2021).

Setelah melewati sungai, ia tiba di kamp, tempat tinggal sementara para pendulang. Kamp ini lebih mirip kampung. Banyak sekali rumah kayu yang dibangun, beberapa tampak seperti pondok darurat. Meski demikian, di sana terdapat lapangan bola seukuran arena futsal maupun kebun sayur.

Di sana ia bertemu dengan Konstantinus Hungan (35) yang sedang mengisap rokok dengan segelas kopi hangat. Begitu melihat Jek datang, Konstantinus langsung menyambar dulang di regel rumah kayunya. Kopinya yang masih penuh ditinggalkannya di dipan. Mereka menuju sungai kabur, sebutan untuk lokasi tailing PT FI.

Tailing merupakan limbah tambang berupa pasir sisa batuan yang telah digiling setelah mineral emas, tembaga, dan perak dipisahkan. Tailing masih mengandung logam berharga tersebut, terutama emas sehingga memiliki nilai komersial bagi pendulang.

Kami malah lebih concerned pada keselamatan mereka karena banyak wilayah itu curam apalagi saat hujan deras lalu banjir seperti bandang, itu berbahaya sekali. Kami hanya memikirkan keselamatan mereka.

Konstantinus langsung melompat dari gundukan pasir ke dalam sungai kabur yang gelombangnya masih menggulung-gulung saking derasnya. Airnya hitam sedikit abu-abu, penuh pasir, dengan kedalaman mulai dari 50 sentimeter hingga dua meter.

Di tengah-tengah arus deras itu terdapat mal atau alat yang mereka bikin sendiri untuk menyaring pasir. Bagian atas mal itu seperti papan seluncur yang ditempel karpet kusam. Di karpet itulah penyaringan tahap pertama pasir dan emas.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Aktivitas para pendulang saat memilah pasir halus untuk mendapatkan emas di tepian Sungai Ajkwa atau oleh warga lokal disebut sebagai sungai kabur di Mile 28, Timika, Papua, Selasa (26/10/2021).

Menggunakan air sungai yang mengalir di bawah kaki mereka, pasir dan emas itu disiram. Kemudian, karpet dibawa ke pinggir sungai. Di tepian Jek sudah menunggu dengan karpet yang lebih besar.

Karpet dikebas perlahan, sehingga material yang menempel itu jatuh ke dalam air. Setidaknya butuh lima hingga tujuh kali kebas, hingga semua material itu jatuh. Mereka menunggu sebentar sampai pasir-pasir halus itu jatuh ke dasar, lalu membuang air ke dalam wajan.

Isi material di wajan besar tadi dipindahkan ke wajan-wajan kecil yang sudah diberi cairan pembersih piring atau deterjen. Jek memutar wajan kecilnya berkali-kali sampai emas itu terpisah dari pasir di antara cairan gelembung pembersih tadi. Mereka bersumpah tidak menggunakan merkuri dalam proses itu.

Setidaknya dalam 15-20 menit mereka memutar-mutar wajan kecil itu. Pada waktunya, terlihat titik-titik emas berkumpul, memisah dari pasir halus hitam di dalam air pembersih.

“Itu emas nya sudah, lumayan satu kaca (0,2-0,3 gram),” teriak Konstantinus.Jek menjawabnya dengan anggukan. Pasirnya disisihkan lalu dibuang, emas dipindah lagi ke wajan yang lebih kecil lalu wajan dibakar agar emas itu kering.

Butiran emas itu biasanya dikumpulkan lalu dijual di toko emas sekitar Jalan Ahmad Yani, Timika. Dalam sehari Konstantinus bisa mendapatkan tiga sampai empat gram emas dengan harga per gram mencapai Rp 650.000 saat itu.

“Kalau sedang banjir itu, di sini macam semut, ribuan orang datang mendulang. Jadi makin banjir, ya banjir emas juga to,” ungkap Konstantinus.

Saat air sedang pasang karena intensitas hujan yang tinggi, para pendulang bisa mendapatkan 10-20 gram sehari. Artinya dalam sehari mereka bisa mendapatkan minimal Rp 6,5 juta yang dibagi ke tiga sampai empat orang di kelompoknya.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Warga pendulang emas tinggal di kamp, yang mereka dirikan di dalam kawasan penampungan tailng PT Freeport Indonesia di Sungai Ajkwa,Timika, Papua, Selasa (26/10/2021).

Konstan dan ribuan pendulang dari Mil-28 sampai Mil-69 tergabung dalam kelompok Warngokru. Di lokasi pembuangan tailing PT FI setidaknya terdapat kelompok pendulang yang terbagi berdasarkan suku. Seperti di Mil 72-74 dikuasai kelompok Suku Moni dan Mil-69 dikuasai Suku Dani. Adapun Suku Kamoro dan Amungme sebagai suku asli setempat, mendapat keistimewaan bisa menambang di mana saja.

Pemimpin Warngokru, biasa disebut kepala lokasi, Elin Walten (40), juga seorang pendulang. “Di sini semua kerja, tidak ada bos tidak ada buruh. Kami tentukan sendiri nasib kami, tak ada yang memerintah, semua mandiri dan bertanggung jawab sendiri-sendiri atas risiko,” kata Elin yang juga asal Kei ini.

Kejadian apapun termasuk kematian itu jadi tanggung jawab pendulang.

Elin bercerita, dia datang untuk pertama kali ke tempat itu sekitar tahun 1990. Saat itu ia diajak oleh kepala lokasi sebelumnya yang juga merupakan kerabat dari Kei, Maluku. Menurutnya, dulu hanya ada satu sungai tempat pembuangan limbah PT FI, Sungai Ajkwa yang kini menjadi dua bagian tadi yakni sungai jernih dan sungai kabur, yang merupakan tempat pembuangan limbah hingga ke port site.

Elin menjelaskan, pemerintah dan aparat pernah melarang mereka mendulang emas. Mereka kemudian demo. Menghindari konflik berkepanjangan, mereka pun diizinkan, tetapi dilarang menggunakan merkuri.

”Dengan catatan, kejadian apapun termasuk kematian itu jadi tanggung jawab pendulang,” ungkapnya.

Pepohonan di kawasan yang dulunya hutan, mengering dan berubah menjadi lahan terbuka di area aliran limbah tailing di Mimika, Papua, Senin (25/10/2021).Mendulang di tempat itu, lanjut Elin, punya banyak ancaman mulai dari banjir, sambaran petir, hingga bentrok dengan kelompok lain. Tahun 2020 lalu dua orang juga tewas tersambar petir.

“Bentrok terjadi kalau mereka (kelompok pendulang lain) coba ambil dan mendulang kami punya wilayah, padahal sudah ada kesepakatan,” kata dia.

Elin menambahkan, orang hanya perlu minta izin kepadanya jika ingin ikut bergabung mendulang. Ia mengaku tak memungut biaya bagi para pendulang. Tak ada batas bekerja. Siapapun bisa bekerja di lokasi itu selama tak membuat gaduh.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Elin Walten (tengah) memperhatikan anggota kelompoknya yang sedang memisahkan emas dari pasir di kamp mereka yang berada di dalam kawasan penampungan tailing PT Freeport Indonesia di Sungai Ajkwa,Timika, Papua, Selasa (26/10/2021).

Mereka yang berasal dari Kei sebagian besar datang hanya untuk mendulang emas. Mereka hanya tinggal di gubuk atau rumah-rumah darurat di kamp. Setahun dua kali mereka bisa kembali ke Maluku, kadang menggunakan pesawat atau pun kapal laut.

Selama mendulang emas di sungai kabur itu, para pendulang sering menderita penyakit kulit seperti kutu air, malaria, atau demam berdarah. Namun, mereka tetap mendulang.

Alternatif penghidupan

Vice President Corporate Communication PT Freeport Indonesia Riza Pratama menjelaskan, pihaknya maupun pemerintah daerah sudah melarang para pendulang untuk beraktivitas. Apalagi, wilayah tersebut masuk dalam konsesi perusahaan.

“Kami malah lebih concerned pada keselamatan mereka karena banyak wilayah itu curam apalagi saat hujan deras lalu banjir seperti bandang, itu berbahaya sekali. Kami hanya memikirkan keselamatan mereka,” kata Riza.

Larangan mendulang sudah disampaikan pemerintah, aparat, maupun perusahaan. Namun, pendulang tetap datang ke lokasi dan melanjutkan aktivitasnya. “Itu juga sudah menjadi penghidupan mereka,” ujarnya.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Lanskap kawasan penampungan tailing PT Freeport Indonesia di Sungai Ajkwa, Kabupaten Mimika, Papua, Senin (11/10/2021).

Dalam terbitan Pusat Kajian Akuntabilitas Keuangan Negara berjudul “Analisis Akuntabilitas Tata Kelola Minerba: Studi Kasus LHP BPK Atas Kontrak Karya Dan Pengenaan Tarif Bea Keluar Pada PT Freeport Indonesia” (2020) mencatat, peningkatan kegiatan produksi PT FI dari 100K menjadi 300K menghasilkan volume tailing mencapai 230.000 ton per hari selama 28 tahun (1988-2016).

Riza menjelaskan, secara perlahan pihaknya mengajak beberapa pendulang untuk ikut dalam program pengembangan kebun kakao dan sagu yang saat ini sedang dilaksanakan untuk masyarakat sekitar tailing. Hal itu dilakukan agar para pendulang memiliki alternatif mata pencaharian lain sehingga diharapkan tidak lagi mendulang. “Pendekatan kami dialog dan program kakao juga sagu itu,” katanya.

Meski demikian, para pendulang masih terus berdatangan dan mengadu nasib di lokasi tailing. Kilap titik-titik emas yang didapat dengan relatif mudah, membuat mata silau akan ancaman kematian. (Dionisius Reynaldo Triwibowo/Sucipto)