Pergeseran budaya dan desakan ekonomi turut memicu munculnya beragam persoalan sosial pada masyarakat Suku Kamoro dan sejumlah suku lain yang tinggal di kawasan Timika, Provinsi Papua. Tak jarang, anak-anak yang terkena dampaknya.

Sebagian anak-anak di Timika turut menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan seksual, hingga ditelantarkan orangtua. Prihatin dengan kondisi ini, Suster M Yulita, PRR pun mencurahkan perhatian untuk mengasuh mereka.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Suster M Yulita PRR
Kompas/Totok Wijayanto (TOK)

Pada Selasa (26/11/2021) pagi menjelang siang, Suster Yulita PRR pulang ke Panti Asuhan Santa Susana di kawasan Timika, pusat Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Yulita membantu di panti asuhan yang dikelola oleh Yayasan Peduli Kasih itu untuk pendidikan rohani anak-anak. Namun, satu hal pasti sebagian anak-anak itu datang ke panti asuhan karena Yulita.

Baca juga : Romanus Meak, Meniti Kemandirian Pangan

Begitu ia sampai di panti, semua anak datang memeluknya. Selain membalas pelukan, Yulita memeriksa anak-anak itu. Satu lirikannya membuat satu anak yang ketahuan belum mandi langsung bergegas ke kamar mandi. “Ayo, yang belum sikat gigi sekarang ambil sikat gigi dan odol,” kata Yulita suaranya mengeras.

Anak-anak itu patuh atas apapun yang keluar dari mulut Yulita. Bukan hanya karena didikannya, tetapi karena Yulita selalu hadir di saat mereka sakit maupun senang. Biarawati asal Nusa Tenggara Timur itu kemudian mulai bercerita bagaimana ia dan anak-anak itu bisa bersama di panti asuhan yang bahkan bukan miliknya.

Sempat pingsan

Tahun 2007, pertama kalinya Yulita menginjakkan kaki di tanah Bumi Cendrawasih. Sebagai biarawati Katolik, sudah menjadi tugasnya memberi pelayanan rohani bagi umatnya. Sebelum ke Papua, ia menghabiskan hidupnya di Timor-Timor, mulai dari sebelum hingga setelah kemerdekaan.

Begitu sampai di Papua, ia tiba di Kampung Nawaripi. Ia ingat betul saat tiba di kampung itu dan melihat seorang bapak memukuli istri dan anaknya dengan kayu. Tak tahan, ia pun jatuh tersungkur. Pingsan.

“Saya sudah melihat perang. Tapi kalau pukul keluarga sendiri ini saya baru lihat di sini, saya langsung semaput,” kata Yulita saat ditemui di Panti Asuhan Santa Susana, Selasa (26/11/2021) lalu.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Anak-anak berenang di sungai Otakwa, distrik Mimika Timur Jauh, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Kompas/Priyombodo (PRI)

Tak hanya itu. Selang beberapa hari ia melihat beberapa bapak-bapak menerima uang bantuan dari pemerintah maupun perusahaan tambang langsung dihabiskan untuk berjudi, mabuk, bahkan menyewa jasa prostitusi. Di saat yang sama, mereka yang mabuk kembali ke rumah lalu melakukan kekerasan terhadap keluarganya hanya karena hal sepele, mulai dari soal nasi atau anak yang tidak menurut disuruh beli rokok di pagi buta.

Pemandangan tak kalah buruk saat anak-anak muda ikutan minum alkohol, mabuk, bahkan menghirup lem kuning hingga terjebak dalam seks bebas. “Itu jadi hal biasa karena budaya yang tidak baik dipelihara,” ujar Yulita.

Yulita kemudian tak bisa tidur di minggu-minggu pertamanya tinggal di sana. Ia ragu bisa bertahan lama di tempat itu. Namun, ia menjawab keraguan dirinya sendiri dengan mencoba bertahan.

Saat para pejabat maupun petugas lain datang dengan kemegahan seragam dan kemewahan pakaian, Yulita hadir dengan kesederhanaan. Kadang tanpa alas kaki atau hanya beralas sandal jepit. Ia menjelma menjadi seperti mereka. Berbicara seperti mereka, makan yang mereka makan, namun perlahan mencoba merubah kebiasaan buruk mereka, khususnya tindakan kekerasan terhadap anak.

Baca juga : Hans Mandacan, Menjaga Burung Surga Papua

Beberapa anak korban kekerasan ia sekolahkan dan tinggal bersamanya, membasuh luka fisik maupun batinnya. Hingga ia dipanggil dengan sebutan ‘bunda’ oleh hampir seluruh masyarakat Suku Kamoro di lima kampung, Nawaripi, Koprapoka, Amamapare, Otakwa, dan Tipuka.

Di tempatnya memberikan pelayanan, Yulita melihat bagaimana mereka menjalani hidup. Hampir di tiap tumah kecil itu dihuni oleh tiga hingga empat keluarga. Sehingga anak-anak menyaksikan hal yang seharusnya tidak mereka saksikan, mengalami dan melihat kekerasan secara langsung, hingga ditelantarkan.

“Banyak yang anaknya saya urus itu, karena setelah ibunya melahirkan bapaknya pergi lalu nikah lagi atau memang tidak kembali,” kata Yulita.

Awalnya Yulita hanya mengurus satu anak korban kekerasan rumah tangga, yakni Manfred Tumuka, anak dari keluarga Kamoro yang berasal dari Kampung Koprapoka. Manfred pernah ditinggal di pasar saat ayah dan ibunya berkelahi. Sendirian.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Suster M Yulita PRR
Kompas/Totok Wijayanto (TOK)

Anak yang saat itu masih duduk di bangku sekolah dasar itu kebingungan tak bisa pulang karena tak tahu arah. Yulita yang melihat kejadian itu ambil tindakan. “Ayahnya mabuk lalu pukul ibunya, anak ini ditinggal di pasar begitu saja. Akhirnya saya bawa pulang saya rawat dan saya sekolahkan,” kata Yulita.

Beberapa kali ayahnya mengambil Manfred namun akhirnya menyerah karena tidak mampu mengurus anak itu. “Saat ayahnya datang untuk ambil saya mempersilahkan, tetapi akhirnya balik lagi ke sini karena ia sadar tidak bisa bertanggungjawab,” ucap Yulita.

Yulita digerakkan rasa kemanusiaan untuk mengasuh anak-anak itu apapun suku, agama, dan latar belakangnya.

Manfred pun kini tetap tinggal bersama Yulita, kembali ke sekolah, dan bahkan ikut pelatihan bertani di pekarangan panti asuhan.

Digerakkan rasa kemanusiaan

Setidaknya kini ada 38 anak yang sebagian besar mengalami apa yang Manfred alami. Mereka berasal dari Suku Kamoro, Amungme, Moni bahkan dari Suku Kei, Maluku Utara. Anak dari suku Kei ini sebagian besar adalah anak pendulang emas tradisional di sungai Ajkwa. Meskipun Yulita merupakan biarawati Katolik, sebanyak 80 persen anak-anak yang diasuhnya bukan beragama Katolik. Yulita digerakkan rasa kemanusiaan untuk mengasuh anak-anak itu apapun suku, agama, dan latar belakangnya.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Pendulang di mile 28 menyeberangi Sungai Jernih atau Sungai Ajkwa, di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, dengan membawa bahan pokok usai menjual emas dan berbelanja, Selasa (26/10/2021). Biasanya mereka pergi ke kota untuk menjual emas dan berbelanja seminggu sekali.
Kompas/Totok Wijayanto (TOK)

Sebanyak 10 anak dari Suku Moni bahkan merupakan korban dari perang suku di Intan Jaya yang tak berkesudahan. Keluarga mereka datang mengantarkan anaknya langsung ke Suster Yulita untuk dibimbing dan dirawat. Beberapa di antaranya tidak lagi memiliki ayah atau ibu.

Bunda Yulita dikenal bukan hanya karena baik hati, tapi karena kepribadiannya yang tegas. “Jadi mereka kalau lihat saya saat mabuk, mabuknya langsung hilang, padahal saya hanya ajak makan malam lalu nasihati,” ungkapnya.

Sebagian besar anak-anak datang ke panti karena kehadiran Yulita. Sudah 15 tahun, Yulita melayani ribuan warga yang hidup di sekitar limbah tailing perusahaan pertambangan emas di Kabupaten Mimika, Papua. Selama itu pula ia berupaya agar anak-anak korban kekerasan itu didampingi bahkan dirawat, dengan hati. (Dionisius Reynaldo Triwibowo/Sucipto)

 

BIODATA

NAMA : Yolanda Paulina

Nama Biarawati, Sr. M. Yulita, PRR.

TTL : Fatumea (Timor Leste), 02-06-1969

Riwayat pendidikan : SD Katolik Nela, Atambua (1978)

SMP Katolik St. Luis Gonzaga Suai (1984)

SMEA Negeri Dili (1989)