Tak pernah punya pengetahuan terkait kopi, Huber Marian (62) memberanikan diri menanam kopi pada awal 1980-an. Dari situ, langkahnya sigap menyebarkan kopi dari Distrik Kurulu, Jayawijaya, Papua, hingga memiliki nama saat ini. Memakai filosofi bola miliknya, ia belajar dari nol hingga paham segala seluk beluk kopi di tanah sendiri.

Jejeran loyang berbaris rapi di tempat penjemuran kopi di Kampung Waga-waga, Distrik Kurulu, Jayawijaya, Papua, pertengahan November 2021. Harum kopi arabika mulai menguar seiring biji kopi yang semakin kering dijerang matahari.

Huber berjalan pelan mengecek biji kopi di masing-masing loyang. Ia mengambil sebiji, mengecek dengan teliti. Tidak lama, ia menggigit biji kopi tersebut.

“Kering betul nanti masih sekitar empat hari lagi. Kalau belum kering dan disangrai, asapnya banyak dan baunya tidak enak,” katanya. “Kalau mau tahu kering atau tidak, tinggal gigit saja. Kalau gigi masih masuk, berarti belum kering betul. Kalau kering betul itu keras, dan tidak akan pecah kalau digigit.”

Mungkin itu yang Tuhan kasih jalan. Artinya, kopi ini turun menurun, jadi (jika) saya mati masih bisa dikembangkan oleh orang lain.

Biji kopi yang sedang dijemur ini baru dipetik dari kebun miliknya sekitar dua minggu lalu. Kondisi cuaca yang lebih banyak hujan membuat proses penjemuran membutuhkan waktu cukup lama. Jika matahari terus terik, penjemuran hanya membutuhkan waktu seminggu.

Huber menceritakan, ia memperhatikan betul proses pengolahan kopi setelah dipetik dari pohon. Setelah biji kopi yang telah matang atau merah dipetik, daging dan biji kopi segera dipisahkan. Biji yang telah dipisahkan ditaruh dalam karung dan tidak boleh menyentuh tanah untuk menjaga kelembaban.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Petani kopi, Huber Marian (kanan) saat mengeringkan kopi di Distrik Wosilimo, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Rabu (17/11/2021).

Lebih kurang 24 jam setelahnya, biji kopi dibersihkan dari getah yang masih menempel. Setelah dipastikan bersih, proses penjemuran baru dilakukan. Dalam penjemuran, proses kontrol terus dilakukan, utamanya menjaga dari hujan, dan tempat yang lembab.

Begitu pula dalam proses penanaman dan perawatan tanaman. Pohon yang diserang hama, “diobati” dengan ramuan alami. Ia terbiasa mengambil daun terompet, yang dicampur dengan tembakau. Air olahan dari tanaman tersebut disemprotkan ke tanaman kopi yang sakit.

Ia memang tidak memakai ramuan kimiawi yang dijual di banyak tempat. Sebab, semua tanaman kopi di wilayah ini merupakan kopi organik di ketinggian lebih dari 1.600 meter dari permukaan laut.

Awalnya tidak jago, hanya nonton-nonton orang saja. Seperti lihat orang main bola, kita lihat-lihat, sambil coba sedikit-sedikit. Kalau sudah jago, pasti bisa juara.

Pengetahuan ini, tutur Huber, ia dapatkan secara otodidak selama puluhan tahun. Ia belajar secara bertahap dari penyuluh pertanian, petani kopi di daerah lain, dan proses menanam selama puluhan tahun lamanya.

“Awalnya tidak jago, hanya nonton-nonton orang saja. Seperti lihat orang main bola, kita lihat-lihat, sambil coba sedikit-sedikit. Kalau sudah jago, pasti bisa juara. Sekarang saya bisa kasih gol juga (kopi),” kata petani yang pernah menjadi penerima penghargaan Petani Teladan Nasional pada 1994 ini.

Filosofi belajar tersebut menjadi pegangan Huber dalam membudidayakan kopi di wilayahnya. Pengalaman demi pengalaman menempanya sehingga bisa menjadi petani kopi yang beranggotakan puluhan orang.

Saat ini, ia mengembangkan koperasi beranggotakan lebih dari 20 orang. Biji kopi yang telah diolah lalu dikemas sendiri dengan nama kopi Aluama Hubulama. Kopi, baik dalam bentuk green bean maupun bubuk, dijual kepada rekanan, atau mereka yang datang khusus ke tempatnya.

Berjuang keras

Huber muda adalah pekebun biasa serupa masyarakat lainnya di Kurulu. Wilayah ini terkenal dengan kontur daerah yang lapang, dan subur untuk ditanami berbagai tanaman. Keladi, ubi, dan beberapa tanaman lainnya menjadi andalan wilayah ini.

Hingga awal 1980-an, wilayah ini dikonsepkan untuk menjadi kawasan perkebunan tebu dan kedelai. Huber yang mendengar rencana ini tidak setuju lahan miliknya ditanami tebu. Ia lalu berdiskusi dengan penyuluh pertanian yang aktif di wilayah ini.

“Saya maunya tanaman jangka panjang, dan disarankan untuk menanam kopi. Kopi saat itu masih jarang, dan belum dikenal di wilayah ini. Saya tertarik, dan minta dicarikan bibit,” tuturnya. Huber pun tak tahu alasannya mengikuti saran itu. “Saya tidak tahu. Mungkin itu yang Tuhan kasih jalan. Artinya, kopi ini turun menurun, jadi (jika) saya mati masih bisa dikembangkan oleh orang lain.”

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Petani kopi Huber Marian di ladang kopinya di Distrik Wosilimo, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Rabu (17/11/2021).

Bibit dari luar lalu didatangkan untuk ditanam. Lahan seluas lima hektar diubah menjadi kebun kopi. Ia didampingi penyuluh dari cara mengolah tanah hingga menanam kopi. Ia merupakan orang pertama yang menanam kopi di Distrik Kurulu.

Tidak disangka, setelah beberapa waktu, hasil panen pertama dari lahan tersebut sangat baik. Ia kembali mengolah lahan untuk ditanami kopi. Hasil panen yang terus membaik membuatnya bisa membeli mesin pengolah biji kopi. Satu bungkus kopi giling dijual seharga Rp 200 hingga Rp 1.000, sesuai berat kemasan di periode 1990-an.

Dari tren produksi yang baik, Hubert mengusulkan ke pemerintah pusat untuk mendapatkan bantuan anggaran pada 1990. Usulan Hubert direspons sehingga di tahun itu juga dia kembali membuka lagi lahan kopi seluas 50 hektar.

Huber tak hanya menanam kopi. Dia juga mendirikan Pusat Koperasi Masyarakat (Kopermas) Kurulu Alua Marian pada 2002. Koperasi ini didirikan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan anggota. Biji kopi dari warga dibeli dengan harga Rp 50.000 per kilogram.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Petani kopi Huber Marian di Distrik Wosilimo, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Rabu (17/11/2021).

Koperasi ini lalu mendapat bantuan untuk pengembangan usaha dari pemerintah pada 2006. Saat itu, Kementerian Koperasi memberi bantuan berupa uang tunai Rp 410 juta yang dibelanjakan untuk pengadaan alat penggiling kopi dari Surabaya. Mesin ini yang digunakan untuk mengolah berton-ton hasil panen kopi anggotanya. Hasil panen kopi kelompok ini perlahan mulai dikenal masyarakat, baik di Papua, hingga di banyak tempat di Indonesia.

Meski begitu, serupa petani kopi lain di Papua, mereka menghadapi sulitnya regenerasi dan berbagai tantangan. Di usia yang tidak lagi muda, Huber mengurus puluhan hektar kebun maupun proses produksi dengan segelintir orang saja.

“Dulu, anggota kelompok ada 50 orang. Tetapi sekarang sudah susah, sudah pemalas. Akhirnya anggotanya tinggal 20 orang,” tutur Huber.

Anak-anak muda di wilayah ini lebih banyak menjadi pekerja, dan tidak tertarik untuk menggeluti usaha kopi. Padahal, kopi di wilayah ini memiliki cita rasa yang unik dan khas. Lokasi tanam yang tinggi, dan struktur tanah yang gembur, membuat seduhan kopi Kurulu berbeda dengan daerah lainnya.

Saat ini, ia pun berencana membuat diversifikasi usaha dengan membuka kafe. Kebetulan, tempat dan kafenya sudah ada dan saat ini hanya untuk menerima tamu, belum dikomersialkan.

Lokasinya cukup strategis yaitu jalur lalu-lalang kendaraan luar kota dari/ke Wamena, Ibu Kota Jayawijaya. “Orang bisa datang dan minum kopi, sambil istirahat. Badan segar lanjut jalan lagi,” kata dia membayangkan usaha kafenya nanti. (Stefanus Ato/Saiful Rijal Yunus)

Huber Marian

Lahir: Jayawijaya, tahun 1959

Istri: Herita Agnes (50)

Kegiatan : Petani Kopi dan Penggagas Kopi Kurulu “Aluama Hubulama”

Penghargaan: Petani Teladan Nasional 1994