Opi Dayo (25), perantau asal Korowai yang sehari-hari tinggal di Tanah Merah, pusat kota dan Ibu Kota Kabupaten Boven Digoel, Papua, mulai meninggalkan sagu. Kebudayaan makan sagu tergantikan beras sejak merantau dari dusun ke kota. Di Tanah Merah, beras relatif lebih murah dan mudah didapatkan ketimbang sagu.

Kebiasaan memakan nasi terbawa saat ia pulang ke dusun di pedalaman Kampung Xanax, Boven Digoel. Sagu akan disantap jika tidak ada pilihan lain.

Padahal, orang Korowai yang tinggal di dusun masih mengonsumsi sagu sebagai pangan pokok sehari-hari.“Sekarang kalau ada nasi dan sagu, saya pilih nasi. Sejak kecil makan sagu terus,” ujar Opi, akhir Februari 2020.

Meski tanaman sagu melimpah di dusunnya, proses mengolah batang sagu atau menokok sagu untuk mendapatkan tepung maupun padatan sagu butuh waktu dan keringat. Di dusun, kegiatan menokok sagu dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Laki-laki memotong pohon sagu di Dusun Dayo, Distrik Yanimura, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Kamis (5/3/2020).

Perempuan Korowai menyiapkan alat pangkur pagu, noken, dan pisau. Sedangkan, laki-laki membawa alat-alat untuk menebang dan membelah pohon sagu, seperti kapak batu atau linggis. Kegiatan memangkur sagu dilakukan seharian, dari pagi hingga sore.

Salah satu alasan sagu masih bertahan karena tersedia dekat rumah di pedalaman hutan. Mereka tidak perlu berjalan jauh dan punya uang karena hutan akan memberikan sagu secara gratis. Pekerjaan menokok sagu dilakukan bersama, laki-laki memilih pohon sagu yang bisa dipanen kemudian menebang batang pokoknya dan perempuan memangkur sagu.

Seperti Dian Hanai (11) terbiasa ikut orangtuanya memangkur sagu sejak kecil. Selain paham cara memangkur, ia mengetahui hampir semua fungsi sagu bagi kehidupan. Misalnya, akar dapat digunakan untuk mengikat, pelepahnya untuk dinding rumah, dan daun dimanfaatkan untuk anyaman atap rumah.

Pengetahuan menambah cintanya kepada sagu. “Yang paling kami suka adalah batang sagu. Di sana ada ulat sagu yang biasanya dimakan dengan sagu,” kata Dian.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Sagu dengan lauk ikan sungai yang disiapkan untuk makan pagi di Dusun Dayo, Distrik Yanimura, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Kamis (5/3/2020).

Memang ada pergeseran pola konsumsi sagu antara di kampung dan kota, serta dusun. Suku Korowai mengenal dua lokasi bermukim, yaitu kampung yang dibuat oleh pemerintah, dan dusun atau tempat tinggal asli dalam hutan. Sagu masih menjadi primadona di dusun karena mudah didapat dan gratis.

Sedangkan, bagi suku Korowai yang tinggal di kampung jarang bahkan tidak pernah lagi memakan sagu. Di kampung, sagu sulit diperoleh karena harus masuk hutan dan meminta izin pemilik ulayat. Beras mudah didapat karena ada bantuan pangan rutin dari pemerintah untuk setiap kampung.

Daniel Lahayu (35), warga kampung Sinimburu, menuturkan, beras tidak langsung menggantikan sagu. Generasi tua suku Korowai masih ada yang mengonsumsi sagu kendati sudah tinggal di kampung. Bahkan, mereka rela pulang sejenak ke dusun dan berjalan kaki belasan kilometer untuk sekadar menokok sagu.

“Beras tidak menggantikan, tetapi menjadi pilihan. Ada sagu, ada beras, silakan pilih yang mana,” kata Daniel.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Aktivitas menokok sagu di Dusun Dayo, Distrik Yanimura, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Kamis (5/3/2020). Perempuan Korowai menyiapkan alat pangkur pagu, nokel, dan pisau. Sedangkan, laki-laki membawa alat-alat untuk menebang dan membelah pohon sagu, seperti kapak batu atau linggis. Kegiatan memangkur sagu dimulai sejak pagi hari karena butuh waktu hampir seharian. KOMPAS/AGUS SUSANTO 5-3-2020 *** Local Caption *** S

Beras ada sejak program beras untuk keluarga miskin (raskin) dari pemerintah pusat masuk kampung awal tahun 2000-an. Pemerintah membagi-bagikan beras gratis secara berkala sehingga membuat masyarakat ketergantungan, termasuk mayoritas anak-anak di kampung yang tidak lagi makan sagu.

Pola konsumsi

Di Papua, perubahan pola konsumsi dari sagu ke nasi terjadi beberapa puluh tahun terakhir. Hal itu terjadi sejak maraknya konversi hutan menjadi sawah dan masuknya bantuan pangan, dengan komoditas utama beras. Mengutip data Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, dalam kurun waktu 2009-2013, konsumsi beras di Papua Barat saja mendominasi hingga 51,3 persen.

Rhidian Yasminta Wasaraka, peneliti dan penulis buku “Perempuan Perkasa: Belajar Praktik Kesetaraan dalam Budaya Suku Korowai”, menuturkan, program raskin dan menjamurnya mi instan perlahan menggeser pola konsumsi sagu di Papua. Hal itu tercermin ketika terjadi bencana kelaparan di Korowai tahun 2017 lalu.

“Suku Korowai tidak mungkin kelaparan. Namun, mereka mengalami gizi buruk karena pola gizi tidak seimbang,” kata Rhidian.

Suku Korowai sejatinya turun-temurun mewariskan kebudayaan hidup sehat. Mereka memakan sagu harus dicampur dengan sayuran dan ulat sagu sehingga asupan karbohidrat, lemak, dan protein tercukupi. Pola konsumsi itu berubah menjadi makan beras dan mi instan tanpa asupan tambahan lain.

Sagu (Metroxylon sagu Rottb) merupakan tanaman asli Nusantara dengan cadangan terbesar dunia ada di Papua. Berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua, luas areal sagu di Papua mencapai 6,2 juta hektar, terbesar di dunia. Sejumlah 4,7 juta hektar merupakan hutan sagu.

Menurut Rhidian, kebijakan pemerataan pangan sebaiknya menilik karakteristik daerah. Jangan sampai pemerataan pangan justru menghilangkan pangan lokal. Terlebih, sagu bagi suku Korowai bermakna sebagai seorang ibu. Hampir semua kebutuhan sehari-hari bisa dibuat hanya dari sagu dan gratis.

“Ketika hutan sagu tidak lagi dihargai di Korowai karena beras menggantikan sagu maka makna sagu sebagai sosok ibu dalam budaya korowai akan hilang,” tutur Rhidian.

Hasil penelitian tim Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada Desember 2017-Juni 2019 menunjukkan, mayoritas warga lokal bermukim di daerah dengan daya dukung lahan untuk pangan yang tak seimbang. Daya dukung lahan pangan terbatas karena kontur yang sulit dan terbatas sehingga mempersempit ruang hidup masyarakat untuk memproduksi pangan.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Aktivitas menokok sagu di Dusun Dayo, Distrik Yanimura, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Kamis (5/3/2020).

San Afri Awang, Guru Besar Kehutanan UGM yang juga mantan Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan Hidup KLHK menuturkan, Ada perubahan perilaku petani orang asli papua dan penduduk Papua dari biasa mencari dan mengumpulkan bahan pangan dari hutan menjadi petani intensif. Karena itu, perlu ada penguatan tenaga penyuluh dan fasilitator pertanian, kehutanan, perikanan, dan perkebunan

Direktur Daerah Tertinggal, Transmigrasi, dan Perdesaan Bappenas Velix Wanggai menuturkan, pemerintah pusat dalam tahapan transisi untuk merencanakan pembangunan Papua dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah lima tahun ke depan. Pembangunan diprioritaskan dengan strategi berbasis lingkungan, perubahan iklim, dan mitigasi bencana.

Bappenas juga akan merevisi Inpres Percepatan Pembangunan Papua agar pembangunan tidak hanya fokus pada tujuh wilayah adat, tetapi mengacu pada zona ekologi di Papua. Misalnya, di wilayah adat Animha – yang meliputi wilayah Boven Digoel dan Merauke – akan diprioritaskan komoditas sagu dan padi sesuai ekologinya. (Karina Isna Irawan/Mohamad Final Daeng)