Sungai Deiram, di pelosok Boven Digoel, Papua, sudah lama menjadi tumpuan masyarakat Suku Korowai. Airnya yang dulu jernih kini keruh akibat terdampak penambangan liar.
Hampir tiga jam lamanya perahu yang ditumpangi Kompas menyusuri Sungai Deiram di Kabupaten Boven Digoel, Papua, Maret 2020 silam. Sepanjang perjalanan itu pula kami disuguhi pemandangan sungai yang buram. Air baru mulai tampak jernih saat memasuki anak-anak sungai.
Sungai Deiram atau biasa disebut Kali Deiram berhulu di Pegunungan Tengah, melintasi kampung-kampung di selatan Papua, termasuk wilayah adat Suku Korowai. Airnya mengalir sejauh ratusan kilometer melintasi sejumlah kabupaten sebelum akhirnya berujung di Laut Arafura.
Kampung Sinimburu, Distrik Yaniruma, Boven Digoel, merupakan salah satu permukiman Korowai yang tumbuh di tepian Deiram. Kampung yang terdiri dari dua rukun tetangga berpenduduk 79 keluarga itu mengandalkan Deiram untuk berbagai keperluan hidup, mulai dari kebutuhan air minum, mencari ikan, hingga jalur transportasi.
Baca juga : Derita Warga Sima Seusai Hutan Sirna
Namun, selama beberapa tahun terakhir, kondisi itu terusik. Penyebabnya, aktivitas tambang emas ilegal di hulu atau yang disebut “kepala kali” oleh orang Korowai. Lokasi tambang itu sebenarnya jauh dari Sinimburu, sekitar dua jam berperahu ditambah lagi berjalan kaki selama sehari semalam. Letaknya di perbatasan Boven Digoel dan Yahukimo.
Meski jauh, dampak tambang itu terasa dekat bagi Sinimburu. Jejak kerusakan di hulu akibat pengerukan tanah terbawa aliran Deiram hingga ke hilir. “Sejak 2019, kali mulai keruh, tidak bisa dipakai minum,” kata Ketua Rukun Tetangga 2 Sinimburu Anton Dayo.
“Kita takut mau minum air (Deiram) karena takut dong (mereka) pakai air racun di tambang,”
Hal itu diamini sejumlah warga lain. Sekarang, warga beralih ke sungai-sungai kecil di sekitar kampung untuk memenuhi kebutuhan air bersih, sebagian lagi menampung air hujan. “Kita takut mau minum air (Deiram) karena takut dong (mereka) pakai air racun di tambang,” kata Paulus Dayo (25), warga Sinimburu.
Mereka yang dimaksud Paulus adalah para penambang ilegal di kepala kali itu. Sementara, air racun yang dirujuknya yaitu merkuri atau air raksa, zat yang biasa dipakai penambang untuk memisahkan emas dari material lainnya.
Merkuri merupakan logam berat yang berkategori zat berbahaya yang bisa merusak lingkungan hidup dan kesehatan manusia. Jika terpapar dalam kadar yang melebihi ambang batas, manusia dapat mengalami gangguan kesehatan serius, bahkan kematian.
Menyulitkan warga
Aktivitas penambangan itu, termasuk dugaan penggunaan merkuri, pernah diungkap ke publik luas oleh Pendeta Trevor Johnson melalui surat terbukanya pada 5 Agustus 2018. Pendeta asal Amerika Serikat itu telah lebih dari 10 tahun mengabdi dan mendampingi masyarakat di Danuwage, Distrik Yaniruma.
Danuwage menjadi salah satu akses menuju tambang tersebut. Di Danuwage terdapat lapangan terbang Korowai Batu yang melayani penerbangan perintis rute Korowai Batu-Tanah Merah (ibu kota Boven Digoel). Para penambang dari luar Boven Digoel, bahkan dari luar Papua biasanya memakai jalur ini dari dan menuju tambang.
Ini pula yang menambah kesusahan warga Korowai karena mereka harus “berebut” kursi pesawat dengan para penambang, yang jumlahnya mencapai ribuan orang. Padahal, pesawat itu satu-satunya sarana penghubung dengan ibu kota kabupaten. Sementara, kapasitas pesawat hanya 12 penumpang dengan frekuensi penerbangan tiga kali seminggu.
“Susah tiket ke sana (Korowai) karena lokasi dekat pendulangan emas. Pesawat penuh terus,” ujar petugas perhubungan di Bandara Tanah Merah kepada Kompas saat hendak mencari tiket ke Korowai.
Salah satu pengurus Kampung Sinimburu, Danil Lahayu, mengatakan, air Deiram yang keruh itu tidak sampai menyebabkan gatal di kulit. Ikan pun masih banyak. Namun, keruhnya sungai membuat aktivitas memanah ikan yang biasa dilakukan warga jadi mustahil. “Pakai pancing juga susah dapat karena ikan tidak bisa lihat umpan,” ujarnya.
Sejak surat terbuka Pendeta Trevor, Pemerintah Provinsi Papua, yang kala itu dipimpin Penjabat Gubernur Soedarmo, bergerak cepat menutup tambang pada 10 Agustus 2018. Langkah itu juga didukung oleh Polda Papua dan Kodam XVII/Cenderawasih.
Catatan Kompas, aparat menyita dua helikopter yang digunakan untuk mengangkut penambang dan logistik ke titik penambangan. Diduga, ada pemodal besar yang membiayai aktivitas ilegal tersebut.
“Masyarakat takut hutan rusak dan mengganggu adat. Takut jatuh korban juga karena sudah pernah ada pembunuhan di sana,”
Danil Lahayu mengatakan, sebenarnya sudah ada permintaan dari masyarakat untuk menutup tambang itu. Hanya saja, hal ini belum dilaporkan ke pemerintah. “Masyarakat takut hutan rusak dan mengganggu adat. Takut jatuh korban juga karena sudah pernah ada pembunuhan di sana,” katanya.
Dilematis
Bagi sebagian warga, keberadaan tambang itu dilematis. Di satu sisi mereka mengakui kerusakan akibat aktivitas tersebut, tetapi di sisi lain tambang menjadi salah satu sumber mendapatkan uang. Ada yang menambang langsung, ada pula yang bekerja menyediakan jasa transportasi perahu, angkut barang, maupun berjualan barang-barang kebutuhan untuk para penambang.
Paulus Dayo, misalnya, mengatakan biasa berjualan rokok di lokasi tambang. Sekali jalan, dia membawa 1-2 bal rokok (satu bal isi 100 bungkus). “Biasa dagangan habis 3-4 hari. Kalau modal Rp 2,5 juta, jual di tambang bisa dapat Rp 5 juta,” ujar Paulus.
Dari keuntungan berdagang itu, Paulus bisa membangun rumah sederhana yang menghabiskan biaya Rp 50 juta. Namun, dia juga menyadari bahwa tambang membuat sungai keruh dan hutan di hulu rusak. “Dulang emas tidak apa-apa asal jangan pakai air racun karena nanti ikan-ikan juga bisa kena,” kata Paulus.
Lambot Wahanom (35), warga Kampung Yafufla, juga beberapa kali bekerja menjadi pengangkut barang-barang penambang. Sekali angkut dari Danuwage hingga lokasi tambang dengan berjalan kaki selama 12 jam, dia dibayar Rp 500.000. Dia menyaksikan sendiri kerusakan hutan akibat aktivitas tersebut. Namun, dia tak bisa berbuat apa-apa.
Rhidian Yasminta Wasaraka, antropolog komunikasi antarbudaya yang sejak 2003 hingga sekarang intensif bersentuhan dengan masyarakat Korowai, mengatakan, selain dampak kerusakan lingkungan, tambang juga berpotensi menggerus nilai-nilai budaya Korowai. Selain itu, ancaman lainnya adalah kerawanan konflik, seperti yang telah terjadi pada September 2019 lalu.
Namun, di sisi lain, dia menilai perlu pula ada solusi terkait sumber ekonomi yang berkelanjutan untuk masyarakat. “Pemerintah perlu intervensi ini agar keseimbangan antara ekonomi dan alam dapat terjaga,” ujar dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Muhammadiyah Jayapura ini.
Baca juga : Realitas Getir Benteng Terakhir
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Papua Fred James Boray mengungkapkan, terdapat tujuh lokasi tambang ilegal di wilayah Korowai. “Sekitar 3.000 petambang didatangkan oknum tertentu ke sana dengan menggunakan helikopter dan kapal,” kata Fred saat itu.
Secara keseluruhan di Papua, kata Fred, terdapat sekitar 30 lokasi tambang emas ilegal yang tersebar di sejumlah daerah, yakni Yahukimo, Pegunungan Bintang, Keerom, Waropen, Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura dan Boven Digoel. Rata-rata seorang warga yang mengklaim sebagai pemilik hak ulayat mendapatkan luas area tambang emas seluas 1 hektar hingga 2 hektar saja.
Data dari Dinas ESDM Papua menyebutkan, Pemerintah Provinsi Papua kehilangan potensi pendapatan asli daerah atau PAD sekitar Rp 35 miliar setiap bulan akibat aktivitas tambang emas ilegal. Sementara data Forum Kerja Pengelolaan Sumber Daya Alam Papua hingga tahun 2021, total sekitar 90.000 orang yang kini beraktivitas di areal tambang rakyat yang belum memiliki izin.
Pengawasan tambang ilegal di daerah-daerah tersebut belum optimal. Sebab, kondisi geografis Papua yang sangat luas, adanya potensi konflik karena perlawanan dari masyarakat selaku pemilik hak ulayat, dan biaya operasional untuk menjangkau lokasi tambang ilegal sangat tinggi karena misalnya harus menyewa helikopter.
Fred menyatakan, solusi untuk mengatasi tambang ilegal di Papua adalah menetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR). Kewenangan penetapan WPR berada di tangan pemerintah pusat yakni Kementerian ESDM. (Mohamad Final Daeng/Karina Isna Irawan/Fabio Maria Lopes Costa)