Di bawah kaki bukit-bukit batu yang menjulang tinggi mencakar langit, di Kampung Kugima, Distrik Wolo, Jayawijaya, Papua, terhampar pemandangan kebun kopi yang tertata rapi. Di antara rerimbunan dan beri kopi berwarna merah itu, Sili Gombo ditemani istri dan seorang kerabatnya membersihkan rumput dan gulma.

Kebun kopi jenis arabika seluas tiga hektar yang dikelolanya sudah bertahan puluhan tahun. Tanaman kopi dikenalnya pertama kali pada 1993. Bibit itu diberikan oleh Bupati Jayawijaya periode 1989-1998, Jos Buce Wenas.

Sili diberikan bibit kopi tanpa sama sekali mendapat pengetahuan tentang budidaya kopi. Saat itu, dia masih memakai koteka dan kesehariannya berburu di hutan.

“Saya tanam di hutan. Pak Wenas (Bupati Jayawijaya) tegur saya, cara tanamnya bukan begini,” kata Sili terseyum.

Sili memang saat itu minim pengetahuan. Jangankan untuk menanam, ia juga tak tahu bibit itu bernama tanaman kopi. Namun, ia bertekad kuat untuk mengembangkan tanaman yang menurut Bupati Wenas, hal itu akan menjadikannya kaya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Sili Gombo menggiling kopi yang dipanen dari kebunnya di Kampung Kugima, Distrik Wolo, Jayawijaya, Papua, Rabu (17/11/2021).

Dari tekad itu, dia terus belajar. Dia terbuka dengan berbagai pihak yang memberikan saran dan masukan baik dari penyuluh pertanian atau para anggota tentara yang mampir di sana.

Sili sudah tak bergantung dari pihak lain untuk mendapatkan bibit kopi. Di kebunnya, selain merawat dan menanam kopi, dia juga melakukan pembibitan secara mandiri. Bibit yang sudah siap ditanam kemudian dibagi-bagi kepada warga di kampung sekitar. Dia berharap warga di daerahnya dapat maju bersama dan menjadikan desanya salah satu lumbung kopi Papua.

Usia senja

Di tengah semangat Sili untuk terus memperbaharui kemampuannya, ada faktor lain yang kian mengkhawatirkan. Sebagian petani kopi sudah berusia senja.

Sili misalnya yang telah lewat separuh baya belum memiliki generasi penerus yang bakal melanjutkan perkebunan kopinya. Anak lelaki satu-satunya kini bekerja di kota. Tiga anak perempuannya telah menikah dan pergi dari rumah bersama suami mereka.

Situasi ini juga dirasakan oleh Hubert Marian, petani kopi di bawah kaki gunung Waga-Waga, Isaima, Distrik Wosilimo, Jayawijaya. Lelaki perintis kopi Aulama Hubulama itu berkisah kalau warga di kampungnya kini enggan merawat dan menanam kopi.

Hubert mengaku memiliki 50 hektar kebun kopi. Namun, saat ditemui di rumahnya, pertengahan November 2021, mesin-mesin penggiling kopi sudah lama tak beroperasi. Sarang laba-laba memenuhi mesin penggiling, mesin pengupas, hingga mesin penggoreng kopi yang tersimpan di gudang.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Petani kopi, Hubert Marian di ladang kopinya di Distrik Wosilimo, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Rabu (17/11/2021).

Di depan rumah Hubert, ada sebidang lahan yang dipenuhi tanaman kopi. Tanaman yang tengah berbuah itu tumbuh bersaing dengan gulma dan tak terawat. “Kami biasanya bersih-bersih di akhir pekan. Ini belum dibersihkan,” kata Hubert.

Salah satu pengusaha kopi Papua, Piter Tan, mengatakan, rata-rata petani kopi di Wamena saat ini sudah berusia senja. Jika, tidak ada regenerasi, kopi asal Papua berpotensi kian susah diperoleh atau bahkan hilang.

Kopi Papua di mata pengusaha merupakan salah jenis kopi yang paling dicari. Sebab, kopi tersebut bebas dari pestisida, pupuk kimia, tumbuh di dalam hutan, dan cara pemetikan dan pengelolaan yang masih sangat tradisional.

“Meskipun mahal, masih banyak yang beli. Orang bersedia membeli kopi dengan harga yang begitu tinggi, berarti kopi ini berbeda,” ucap pemilik Kafe Pit’s Corner di Jayapura, itu.

Jika semua permasalahan selesai, kopi Wamena bisa sebesar kopi Brasil.

Meski demikian, tak mudah mendapatkan kopi Papua. Sebab, volume produksi kopi dari petani masih belum stabil. Misalnya, di 2018, biji kopi yang berhasil dikumpulkan Piter dari seluruh petani Kopi di Papua sebesar 20 ton. Di 2021, besaran kopi yang terkumpul mencapai 40 ton. Produksi kopi yang tak stabil ini dinilai jadi tantangan tersendiri untuk menjaga keberlanjutan ekspor kopi.

“Tingkat produksi yang tidak stabil itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Misalnya, harga kopi yang terlalu mahal, kesulitan akses, dan juga masalah keamanan,” ucapnya.

Biji kopi Papua di tingkat petani dijual dengan harga Rp 100.000 per kilogram. Kopi itu oleh Piter biasanya diolah menjadi kopi bubuk dan dijual lagi dengan harga Rp 150.000 per 250 gram.

Pengembangan kopi

Peneliti kopi dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Papua, Adnan, mengatakan kopi yang tumbuh di Wamena dan sekitarnya rata-rata berada di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut. Kopi tersebut merupakan kopi arabika varietas lini S-975.

Budidaya kopi di Jayawijaya juga sangat cocok dengan budaya masyarakat setempat. Ini karena kopi merupakan tanaman tahunan yang tak harus dirawat setiap hari dan tidak mengganggu budaya orang asli Papua.

“Kopi cocok dengan budaya mereka, bisa dikerjakan secara berkelompok. Dari segi tanaman, letak geografis wilayah Jayawijaya yang berada di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut, merupakan tempat terbaik untuk pengembangan kopi arabika.

Petani kopi Wamena dinilai kian mahir dalam menghasilkan kopi berkualitas. Petani mulai paham untuk hanya memanen buah kopi yang sudah matang atau merah. Mereka juga mulai mempraktikkan proses pemilahan atau sortir biji kopi.

“Mutu biji kopi sudah makin baik. Proses sortir atau pemilahan yang memang masih kurang. Kadang petani tidak mau melakukan sortasi karena itu pekerjaan melelahkan dan mereka belum terbiasa,” ucap Adnan.

Orang bersedia membeli kopi dengan harga yang begitu tinggi, berarti kopi ini berbeda.

Persoalan lain yang masih belum terselesaikan, yakni tidak semua petani merawat kebun kopinya dengan baik, terutama memangkas dan membersihkan tanaman kopi. Akibatnya, banyak tumbuhan kopi yang hidup bersaing dengan tumbuhan-tumbuhan pengganggu lain.

Padahal, kebun yang dirawat dan dilakukan pemangkasan itu akan memiliki buah yang lebih banyak. Dari data BPTP Papua, tanaman kopi yang tidak dipangkas, hasilnya 400 kilogram per hektar setiap tahun. Kalau sudah dipangkas, hasilnya meningkat menjadi 650-700 kilogram per hektar setiap tahun.

Tingkat produksi yang masih rendah ini turut berpengaruh terhadap permintaan kopi di pasaran internasional. Kopi dari Papua belum bisa diekspor secara berkelanjutan lantaran tingkat produksi yang tidak stabil.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga memanen kopi di Kampung Kugima, Distrik Wolo, Jayawijaya, Papua, Rabu (17/11/2021). Kopi yang tumbuh rata-rata di ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut. Kopi yang berkembang merupakan kopi jenis arabika varietas lini S-975. Kini produksi kopi Papua terkendala regenerasi petani, sebagian besar saat ini berusia tua.

“Agar kopi Wamena bisa berkembang, perlu duduk bersama antara petani, pemerintah daerah, dan periset untuk menyelesaikan persoalan petani usia lanjut, luas lahan dan kualitas, serta masalah tanah adat. Jika semua permasalahan selesai, kopi Wamena bisa sebesar kopi Brasil,” ucap Adnan.

Kepala Dinas Pertanian Jayawijaya Hendri Tetelepta mengatakan, hingga saat ini tanaman kopi dibudidayakan di 90 kampung dan tersebar di 20 distrik. Lahan potensial untuk pengembangan kopi mencapai 32.679 hektar.

Dari lahan potensial tersebut, area seluas 2.026 hektar telah dimanfaatkan sebagai kebun kopi. Rinciannya, 214 hektar dikategorikan sebagai lahan baru tanam, 774 hektar lahan telah menghasilkan, dan 1.009 hektar dikategorikan sebagai lahan rusak, tidak terawat, atau kotor.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Pekerja mengeringkan kopi di Distrik Wosilimo, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Rabu (17/11/2021).

“Tidak terawat itu kopinya ada, tetapi ada rumput. Biasanya yang menjadi kendala buat kami itu persoalan lahan, sebab tanah itu hak ulayat. Itu yang selalu jadi kendala,” ucap Hendri.

Persoalan lain yakni, adanya keterbatasan tenaga penyuluh. Di Jayawijaya, dari 328 kampung, jumlah penyuluh yang berstatus PNS ada 38 orang dan penyuluh dari Kementerian Pertanian ada 18 orang. Idealnya setiap kampung minimal harus ada satu penyuluh.

Sementara itu tingkat produksi kopi di Jayawijaya selama tiga tahun terakhir juga terus meningkat. Pada 2018, jumlah produksi kopi sebesar 130 ton, lalu 132,9 ton (2019), dan mencapai 161 ton pada 2020.

Di daerah itu saat ini sudah ada 11 kelompok budidaya kopi dengan brand kopi masing-masing. “11 kelompok dengan brand-nya sendiri-sendiri. Ada 4 brand yang sudah masuk di pasar modern. Sisanya masih didorong,” tuturnya. (Stefanus Ato/Saiful Rijal Yunus)