Di tengah hamparan tanaman kopi miliknya, Sili Gombo (63) tersenyum sumringah sambil terus bercerita akan kebunnya itu. Ia sangat antusias dan begitu gembira ada orang dari luar kampungnya yang berkunjung ke kebun kopinya yang tampak bersih dan tertata rapi.

Lelaki yang telah lewat separuh baya itu kemudian mengambil sebatang bibit kopi yang akarnya masih berbalut kantung semai (polybag) dan asyik berdendang. Dia bersukaria di tengah kebun kopi yang tumbuh subur di kaki perbukitan di Kampung Kugima, Distrik Wolo, Jayawijaya, Papua.

Kebun kopi jenis arabika seluas tiga hektar itu merupakan buah keringat dan keuletan Sili dan isterinya. Mereka tak hanya menanam, merawat, memetik, tetapi juga bisa mengolah kopi hingga menjadi bijih atau bubuk kopi siap minum. Soal green bean atau biji kopi yang belum disangrai, kualitasnya tak diragukan. Pengelola tempat ngopi di Sentani di Kabupaten Jayapura, Papua paling tidak mengakuinya.

Selain memiliki kelebihan rajin merawat tanaman kopi, ia pun memiliki teknik pengolahan kopi yang belum banyak dipraktikkan petani kopi di Papua. Sili bisa menghasilkan kopi wine atau jenis biji kopi yang melalui proses fermentasi sehingga memiliki rasa dan aroma unik, antara pahit kopi dan segarnya wine.

Kami berharap pemerintah segera bangun jembatan. Ini akan membantu kami bawa hasil kopi ke kota.

Lelaki itu juga menyiapkan sendiri biji-biji kopi terbaik untuk disemai menjadi benih. Benih itu dirawat dengan sepenuh hati hingga bertunas. Anakan kopi itu tak hanya di tanam di lahan miliknya. Dia juga membagikan anakan kopi itu kepada warga di kampung sekitarnya.

“Saya sarjana tanah, belajar dari tanah. Saya pengalaman,” katanya, pada pertengahan November 2021 siang hampir sore, di Kampung Kugima.

Kemampuan Sili dalam menyemai benih hingga mengelola biji kopi dia dapatkan dari pengalaman yang dipelajari bertahun-tahun sejak 1993. Ia awalnya merupakan masyarakat pemburu yang mengenakan koteka dan waktunya dihabiskan di tengah hutan untuk berburu binatang liar.

Dia pertama kali mengenal tanaman kopi saat ada kunjungan Bupati Jayawijaya periode 1989-1998, Jos Buce Wenas. Bupati Wenas saat itu memberikan sejumlah bibit kepada Sili dan memintanya untuk ditanam. Sili mengikuti. Namun, kopi itu di tanam secara sporadis alias asal-asalan di hutan sehingga hasilnya tumbuh juga sejumlah tanaman pengganggu yang membuat hasil panen tidak seperti yang diharapkan.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Ladang kopi milik Sili Gombo di Kampung Kugima, Distrik Wolo, Jayawijaya, Papua, Rabu (17/11/2021).

Bupati Wenas dalam kunjungan berikutnya menegur Sili. Dia memberitahu Sili cara menanam kopi yang baik dengan menyiapkan terlebih dahulu lahan yang sudah bersih. Setiap bibit kopi juga harus ditanam dengan jarak tertentu.

Meski permintaan itu kemudian diturutinya, Sili masih tak paham seberapa berarti atau berharganya tanaman kopi tersebut. Hanya satu hal yang dia ingat dan pegang dari pesan Bupati Wenas yang memintanya untuk menanam kopi sebanyak-banyaknya.

“Kau tanam banyak-banyak. Nanti kau kaya,” kata Sili menirukan pesan Bupati Wenas.

Ucapan Bupati Wenas itu kini terbukti. Sili mulai dikenal sebagai salah satu petani pemasok langsung biji kopi arabika berkualitas dari Jayawijaya. Dia tak menyebut jumlah pasti biji kopi yang dihasilkan setiap bulan atau setiap tahun. Namun, jika sudah tiba masa panen, sekali panen biji kopi yang diperoleh mencapai 100 kilogram.

Terampil merawat kopi

Sili yang awalnya bahkan tak mengenal biji kopi kini sangat terampil dalam merawat tanaman kopi. Kebun kopi yang dia kelola dirawat dengan sangat baik.

Rumput liar atau gulma penggangu tak dibiarkan tumbuh sumbur. Ranting tanaman kopi dipangkas rapi. Tanaman kopi di tanam berjejer di atas bedeng dengan jarak masing-masing tanaman sekitar dua meter.

“Kalau pakai bedeng seperti ini, tanaman kopi tidak terendam air. Rumput-rumput yang sudah dibersihkan, saya simpan lagi di atas bedeng. Itu nanti jadi pupuk,” katanya.

Kopi yang ditanam Sili, seperti halnya seluruh produk kopi dari wilayah Pegunungan Tengah Papua, bebas dari pupuk dan pestisida kimia. Tanaman itu benar-benar tumbuh dan berkembang dengan dukungan pupuk organik alami.

Tanaman kopi yang mulai berbuah kemudian bagian tunas dan cabangnya dipangkas rapi. Tinggi tanamam kopi yang mulai berbuah rata-rata hanya 1,5 meter.

“Kalau tidak dipangkas nanti buahnya kurang. Kalau sudah pangkas seperti ini, satu pohon bisa dapat 6-10 kilogram biji kopi,” ucapnya.

Keterampilannya menanam dan merawat kopi diakuinya berkat pendampingan dari penyuluh pertanian setempat. Penyuluh tersebut bahkan juga membantunya menjual hasil kebunnya maupun mempertemukan dengan pembeli.

Meski terampil dalam menanam dan merawat kopi, cara memanen dan mengelola biji kopi menjadi kopi bubuk masih dilakukan secara tradisional. Ia sebenarnya memiliki sejumlah alat pengolahan kopi mekanis tetapi seringkali terkendala ketersediaan bahan bakar maupun listrik.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga menyangrai kopi panenannya yang telah kering di Kampung Kugima, Distrik Wolo, Jayawijaya, Papua, Rabu (17/11/2021).

Oleh karena itu, ia memilih pengolahan secara tradisional. Seperti pengeringan biji kopi hanya mengandalkan sinar terik matahari.

Biji kopi yang telah kering tersebut kemudian di-roasting atau disangrai selama satu jam menggunakan alat penggorengan (wajan) yang kompornya masih menggunakan bahan bakar kayu kering. Selama proses roasting kopi, biji kopi di dalam alat penggorengan terus diaduk secara berkala agar matang merata.

“Setelah itu, nanti kami giling dan bungkus di plastik. Merk kopi saya itu namanya Sili-Solman,” katanya.

Kelompok tani

Ia kemudian mengajak kami berbincang di depan honai atau rumah tradisional orang Pegunungan Tengah Papua. Tak terlewat, Sili menyuguhkan minuman kopi serta ubi rebus hasil kebunnya yang sempurna mengimbangi dinginnya angin lembah siang itu.

Upaya mengembangkan kopi di Kampung Kugima tidak dilakukan sendiri oleh Sili. Dia turut mengajak warga di kampungnya untuk bersama-sama mengembangkan tanaman kopi.

Tujuan Sili sebenarnya sederhana. Dia ingin masyarakat di kampung sekitar ikut bangkit dari kemiskinan dan bersama-sana memperbaiki ekonomi keluarga melalui perkebunan kopi.

Salah satu upaya yang dilakukan Sili untuk memajukan kampungnya dilakukan dengan membangun kelompok tani. Jumlah anggota kelompok tani yang diberi nama Kelompok Tani Kugima itu memiliki 21 anggota/keluarga.

Luas lahan dari kelompok tani tersebut saat ini mencapai delapan hektar. Lahan kopi itu tersebar di Kampung Onggabaga Distrik Bipiri dan Kampung Bugi, Distrik Bugi.

Kelompok tani itu tidak hanya dimanfaatkan untuk bersama-sama membangun semangat kerja gotong royong, tempat belajar, dan berdiskusi mengenai tanaman kopi. Kelompok itu juga dijadikan sebagai wadah untuk menampung aspirasi masyarakat. Salah satu aspirasi yang masih mereka perjuangkan yakni, berharap pemerintah memperhatikan infrastruktur dasar di kampung mereka.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga membawa kopi hasil panenan di Kampung Kugima, Distrik Wolo, Jayawijaya, Papua, Rabu (17/11/2021).

“Kampung kami belum ada jembatan. Kami berharap pemerintah segera bangun jembatan. Ini akan membantu kami bawa hasil kopi ke kota,” kata Sili.

Jalanan menuju ke area perkebunan kopi Sili sejauh sekitar satu kilometer tersebut memang masih berupa jalan setapak dan dilintasi aliran sungai. Akses atau penyeberangan melewati sungai tersebut masih darurat. Jembatan itu dibuat dengan membentangkan sebuah batang pohon besar sepanjang 15 meter di atas badan sungai. Pohon tersebut selama ini jadi jembatan penyeberangan Sili bersama keluarga maupun petani lain wira-wiri mengangkut berkarung-karung biji kopi. (Stefanus Ato/Saiful Rijal Yunus)

Biodata

Nama: Sili Gombo

TTL: Kugima Jayawijaya, 12/3/1959

Anak :

  1. Asantar Gombo
  2. Maelina Gombo
  3. Seli Gombo
  4. Martinus Gombo
  5. Siliwur Gombo (meninggal)

Jabatan: Ketua Kelompok Tani Kugima