Pasangan suami-istri Alfons Kabes (51) dan Aminah Ahek (46) meyakini tanaman pala ibarat ibu yang senantiasa memberi penghidupan. Di Desa Pang Wadar, Distrik (setara kecamatan) Kokas, Kabupaten Fakfak, pasangan ini merawat dan menjaga 60 tanaman pala.
Masyarakat Fakfak menyebut pala dengan istilah henggi. Bagi masyarakat setempat seperti Alfons dan Aminah, pala telah menghidupi keluarga mereka, mulai dari memenuhi kebutuhan sehari-hari, menyekolahkan anak, hingga memperbaiki rumah.
Saking berharganya tanaman pala bagi masyarakat, tidak ada yang berani menebang pohon itu. “Kalau ada yang menebang pala, sama saja ia telah menjatuhkan harga diri,” kata Alfons, akhir Juni 2021 silam.
Pria yang juga memiliki seratus tanaman pala di Teluk Patipi ini menjelaskan, ia merupakan generasi kelima dari keluarganya yang masih setia bekerja sebagai petani pala. Selain Alfons, orang tua, adik, kakak, om, dan tante juga bekerja sebagai petani pala. Orang tua biasanya membagi lahan tanaman pala secara merata kepada anak-anak perempuan dan laki-laki.
Alfons dan Aminah menghasilkan pala dengan jumlah yang beragam, yaitu 10.000 – 40.000 biji pala per musim panen. Produksi pala yang jumlahnya berubah-ubah itu tergantung musim, jarak tanam, perawatan, dan usia tanaman. Di luar faktor-faktor ini, Aminah percaya, apa yang terjadi dalam keluarga bisa mempengaruhi hasil panen.
Mercy Kabes (42), petani pala di Desa Wurkendik, Kecamatan Fakfak Barat, mengakui, pala juga telah menjadi sandaran hidup keluarganya secara turun temurun.
“Pohon pala inilah yang telah menghidupi keluarga kami,”
Siang itu, Mercy mengajak berkeliling ke kebun palanya di dekat rumah. Kebun warisan orang tua Mercy itu telah dipenuhi semak belukar. Namun, di antaranya juga tumbuh subur beberapa pohon yang tingginya sekitar delapan meter.
“Pohon pala inilah yang telah menghidupi keluarga kami,” ujar Mercy, di Desa Wurkendik, Kecamatan Fakfak, Papua Barat, akhir Juni 2021 lalu.
Musim panen pala di Fakfak terjadi dua kali dalam setahun, yang pertama terjadi di sekitar bulan April dan yang kedua pada Oktober. Saat musim panen, masyarakat menghabiskan waktu berminggu-minggu di hutan untuk memetik pala.
Komoditas unggulan
Kabupaten Fakfak merupakan salah satu daerah penghasil pala utama di Provinsi Papua Barat selain Kaimana. Pala fakfak (Myristica argantea Warb), atau yang biasa disebut Pala Negeri umumnya dihasilkan oleh perkebunan rakyat.
Pala fakfak memiliki karakteristik bentuk tanaman tinggi dengan daun rimbun. Bentuk buah dan bijinya cukup khas, yaitu bentuk buah lonjong berparuh. Kulit buah sewaktu muda halus, tetapi berubah menjadi berbintik cokelat seiring penuaan buah.
Baca juga :
Jika merujuk pada ratusan tahun lalu, pala merupakan komoditas unggulan yang menjadi perebutan orang-orang di berbagai belahan dunia. Aslinya, pala ini bukanlah berasal dari Fakfak, melainkan dari pulau-pulau kecil di tengah Laut Banda, Maluku bagian selatan.
Dalam buku Menimbang Pala: Asa di Pasar Eropa (2020), pada 1511, bangsa Portugis berlabuh di Kepulauan Banda. Kepulauan ini meliputi beberapa pulau kecil, antara lain Pulau Banda Neira, Banda Besar, Run, Ai, Nailaka, Hatta, dan Syahrir. Pulau Run saat itu menawarkan surga pala yang melimpah di mana terdapat tanaman pala di hutan yang lebat.
Lalu, bagaimana pala itu bisa sampai tersebar ke daratan Fakfak? Masyarakat suku Mbaham Matta di Teluk Patipi, Fakfak, meyakini penyebaran pala di hutan Fakfak dibantu oleh lima burung pemakan biji pala. Kelima burung tersebut, yakni wamar, tuktukmur, duktubur, wapour, dan tjerah. Dari sisa kotorannya yang bertebaran di mana-mana, muncul bibit dan pohon pala yang baru. (Kompas, 25 November 2011).
Sudah sejak lama, pala telah menjadi bagian penting kehidupan masyarakat Fakfak. Berdasarkan data Dinas Perkebunan Fakfak, lebih dari 90 persen masyarakat asli Fakfak mengandalkan tanaman pala untuk kehidupan mereka. Penyebaran pala terjadi di 15 dari 17 distrik yang ada di Fakfak.
Kepala Dinas Perkebunan Fakfak Abdul Rahim Patamasya mengungkapkan, dalam satu tahun masyarakat bisa memproduksi hampir 2.000 ton biji pala. Dengan produksi tersebut, uang yang beredar di antara petani pala diperkirakan mencapai Rp 160 miliar. “Itu peredaran uang. Tetapi itu kan tidak langsung masuk pendapatan daerah, kecuali uang itu sudah dibelanjakan,” ucap Abdul.
Kendati demikian, pemanfaatan komoditas pala masih belum optimal. Sudah sejak lama, biji pala dikenal sebagai rempah-rempah, tetapi potensi pala sebenarnya lebih dari itu. Dari sebatang pohon pala, terdapat daging, biji, (fuli) bunga, batang, dan daun tanaman, yang dapat dimanfaatkan dengan baik.
Namun, sejauh ini, mayoritas petani pala masih fokus menjual biji pala dan fulinya, sedangkan daging pala dibuang begitu saja. “Dagingnya di sini tidak diolah, banyak dibuang. Jadi, kami kuliti (buahnya), lalu buang saja (dagingnya). Memang sayang,” kata Mercy.
Abdul Rahim mengakui, pemanfaatan daging pala belum optimal karena kurangnya edukasi kepada masyarakat. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.
Hasil panen turun
Selain pemanfataan pala yang belum optimal, ada tantangan lain bagi pengembangan pala di Fakfak yakni, hasil panen pala yang terus merosot.
Jika menilik data dari Dinas Perkebunan Fakfak, terjadi penurunan produksi pala dari tahun ke tahun. Pada 2017, produksi pala bisa mencapai 2.996 ton, lalu menurun jadi 2.301 ton pada 2018. Kemudian, berangsur-angsur merosot, 1.900 ton (2019) dan 1.696 ton (2020).
Padahal di lain sisi, Dinas Perkebunan Fakfak mencatat, luas lahan tanam pala terus meningkat. Mulai 2017 (17.542 hektar), 2018 (17.742 hektar), 2019 (17.792 hektar), 2020 (17.917 hektar).
Merosotnya hasil panen pala ini juga dirasakan oleh para petani di hampir semua dusun di Fakfak. Pada Oktober 2020 lalu, misalnya, Mercy Kabes memanen sekitar 1 ton buah pala dari beberapa kebunnya. Jumlah itu turun dibandingkan pada 2016 dengan hasil panen lebih dari 2-3 ton pala.
Ini disinyalir karena masyarakat selalu panen tanpa disertai budidaya pala. Padahal, umur pohon terus menua. Atas keprihatinan itu, Mercy mulai berinisiatif membudidayakan bibit tanaman pala.
Abdul Rahim menuturkan, produksi tanaman pala yang rendah ini disebabkan praktik petani masih ala kadarnya. Teknik dan peralatan yang dipakai masih tradisional, serta keterampilan yang diperoleh secara turun temurun. Dengan pengetahuan yang terbatas, jarak antar tanaman pala masih berksiar 2 hingga 3 meter. Padahal, untuk hasil maksimal jarak antara tanaman harus 10 meter.
Terus merosotnya hasil panen ini dikhawatirkan dapat mengancam keberadaan pala fakfak. Badan Konservasi Dunia (IUCN) bahkan telah mengategorikan pala fakfak sebagai spesies tanaman dengan populasi rentan terancam punah.
Menurut IUCN, pala terancam punah karena sebagian besar ditemukan berada di dalam konsesi penebangan. Beberapa bahkan berdekatan dengan konsesi kelapa sawit. Kebakaran hutan juga diprediksi mengancam keberadaan pala.
Baca juga : Realitas Getir Benteng Terakhir
Untuk memperkuat rantai ekonomi pala, Abdul Rahim mengakui, dibutuhkan intervensi berupa perluasan areal perkebunan, peningkatan kapasitas bisnis, dan rehabilitasi. Pemerintah juga berusaha menaikkan nilai tambah pala dengan mendorong masyarakat untuk mau mengolah daging, biji, dan bunganya.
Selama ini, pengembangan produk olahan masih terkendala sejumlah hal, seperti perizinan rumah produksi, ketersediaan bahan baku, dan pola pikir masyarakat. Sebagian besar petani Fakfak masih menjual bahan baku, belum tertarik untuk mengolah buah dan biji pala menjadi produk olahan.
Untuk itu, pemerintah daerah akan menggenjot pelatihan-pelatihan yang langsung menyasar ke petani lokal. Dengan begitu, diharapkan nilai tambah pala semakin meningkat.
Bupati Fakfak Untung Tamsil mengungkapkan, pala sudah menjadi bagian dari jati diri orang Fakfak. Masyarakat sejak lama menggantungkan hidup dari pala secara turun temurun. “Untuk itu, pemerintah akan memberi perhatian serius terhadap pala agar memberikan manfaat lebih besar bagi masyarakat,” kata Untung. (Denty Piawai Nastitie/Nikolaus Harbowo)