Sudah 38 tahun, Romanus Meak menjadi pengajar di Kabupaten Asmat, Provinsi Papua dan menyaksikan sendiri banyaknya anak yang belum terpenuhi kebutuhan pangannya. Hati Romanus pun tergerak untuk meniti kemandirian pangan di pekarangan sekolah dasar.

Matahari sedang teriknya membakar kulit pada Selasa (19/10/2021) siang di Kampung Yufri, Distrik Jeorat, Kabupaten Asmat, Papua. Romanus Meak (59) memeriksa salah satu kolam ikan nila di belakang sekolah. Ia berteriak sambil menepuk kepalanya, “Aduh….mati semua ini ikan. Bagaimana sudah, makan apa anak-anak ini.”

Ikan-ikan nila itu melayang-layang dipermukaan air kolam. Ia baru memeriksa setidaknya dua dari 13 kolamnya. Kolam itu terisi nila, belida, dan beberapa jenis ikan air payau lainnya. Kegagalan itu tak membuatnya berhenti.

“Kalau hidup di Asmat harus berani gagal. Di sini kegagalan itu 80 persen, sisanya berusaha,” kata Romanus dengan peluh mengalir dari wajahnya.

Kolam-kolam itu ia buat sejak dipindah dari Agats, ibu kota Asmat, saat masih mengajar. Kini ia sudah menjadi pengawas pendidikan di Dinas Pendidikan Kabupaten Asmat. Kolam itu ia bangun dari lumpur-lumpur rawa. Asmat yang ada di pinggir laut Arafuru sebagian besar terdiri dari lumpur rawa dan mangrove.

Masyarakat adat Asmat memiliki corak kehidupan berburu dan meramu dan tidak memiliki budaya bercocok tanam. Untuk itu, Romanus mencoba menularkan kegiatan bercocok tanam dan membuat kolam sebagai upaya memenuhi kemandirian pangan.

Meski rawa berlumpur, Romanus ngeyel tetap mengolah pematang kolam atau pinggiran kolam yang ia timbun dengan lumpur untuk menanam beragam jenis tanaman. Awalnya, ia mulai dengan menanam ubi, mangga dan kedondong. Ternyata bisa tumbuh.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Romanus Meak
Namun, Romanus harus melalui beragam kegagalan sebelum akhirnya berhasil menumbuhkan tanaman tersebut. Agar bisa berhasil tumbuh, kata Romanis, lumpur yang ditimbun itu harus lebih tinggi dari batas permukaan air pasang karena kalau terendam sudah bisa dipastikan gagal.

Ia sudah tak bisa menghitung lagi berapa kali ia gagal karena tanamannya terendam air garam. “Ternyata bisa berhasil kalau ditanam antara bulan April sampai September itu potensi (tanaman) hidup lebih tinggi,” kata Romanus.

Kemudian ia mencoba jenis tanaman lain, ia menanam 30 pohon buah jeruk dan berhasil. Tak puas, ia mencoba menanam nanas, buah naga, kelengkeng, rambutan, kelapa, papaya, dan pisang. Semua tanaman yang sebelumnhya tak pernah dibayangkan bisa tumbuh di tempat itu pun akhirnya berbuah setelah melalui berbagai cara. Romanus panen hampir tiap bulan.

Protes yang ia dapat bukan protes mulut atau demonstrasi, tapi protes menggunakan ancaman panah, tombak dan kapak.

Ia kemudian mencoba tanaman sayuran. Kisahnya sama dengan buah-buahan. Gagal berkali-kali hingga akhirnya berhasil. “Saya cari kesalahannya di mana, lalu saya coba lagi,” kata Romanus.

Romanus dibantu oleh beberapa warga Asmat yang memang mau bekerja dan belajar. Namun, tak hanya itu, semua murid-muridnya pun sudah tahu cara bercocok tanam, karena di saat sekolah senggang semua murid harus ke kebun belajar menanam dan memanen. “Semua kelapa di belakang sekolah itu murid yang tanam bukan saya,” ujarnya.

Miris

Upaya Romanus untuk menyuburkan tanah rawa berlumpur itu bermula dari rasa mirisnya terhadap kehidupan masyarakat di Asmat. Sebagai guru ia melihat 90 persen anak-anak SMA di sana tidak bisa membaca. Ia kemudian mencari akar masalahnya.

Sederhana, bagi Romanus, anak-anak sulit menerima pelajaran karena tidak pernah diberikan sarapan oleh orang tuanya. Hal itu lah yang kemudian menyengat tubuhnya untuk mengangkat pacul dan memulai bercocok tanam dengan bekal pengalaman berkebun di Flores, Nusa Tenggara Timur, tempatnya berasal.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Romanus Meak

Saat menjadi Kepala Sekolah Dasar YPPK Yufri, ia menyiapkan snack time untuk muridnya. Hasil dari kebunnya, semua buah-buahan itu ia berikan sebagian besar untuk murid saat jam istirahat. Ditemani teh hangat atau susu, murid menikmati buah. Pangan nikmat pun dirasakan anak-anak Asmat yang setiap hari hanya menikmati sagu atau mie instan.

Sisa panen ia jual untuk memenuhi kebutuhan keluarga mulai dari sekolah anak, juga kebutuhan pangannya. “Saya berani katakan, dari sekian banyak sekolah hanya di sekolah saya yang anak kelas 1 SD sudah bisa membaca,” ungkap Romanus.

Romanus kemudian mengingat kembali bagaimana saat ia harus bersitegang dengan orangtua murid yang protes akibat anaknya tidak naik kelas. Protes yang ia dapat bukan protes mulut atau demonstrasi, tapi protes menggunakan ancaman panah, tombak dan kapak. “Mereka angkat kapak, saya angkat parang,” ujarnya sambil tertawa.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Romanus Meak

Ia kemudian menjelaskan kepada orangtua murid yang protes bahwa anaknya tidak lulus karena banyak faktor. Sekolah punya standar. Ia tak mau lagi melihat anak saat SMP atau SMA di Asmat tak bisa membaca. “Di sini 80 persen anak sekolah buta huruf,” katanya.

Kesulitan lainnya, tak jarang Romanus membawa perahu motor untuk mencari anak muridnya ke bivak atau pondok sementara orang Asmat di dusun Sagu. Pasalnya, di Asmat guru mencari murid untuk sekolah bukan sebaliknnya.

Budaya dan aturan yang diterapkan Romanus itu kemudian diteruskan istrinya, Maria Hurulean, yang menjadi Kepala SD YPPK Yufri. Romanus pun mulai fokus pada pengawasan sekolah dan kebunnya.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Romanus Meak

“Saya sudah bilang ke kepala kampung, kalau saya pindah semua kebun saya untuk mereka di sana,” katanya.

Agar penghasilan kampung dan anak-anak yang merawat kebun itu berlanjut, Romanus sendiri yang akan membeli hasil kebun itu jika ia sudah pensiun. Itu cara agar idenya tetap abadi di Asmat. Ia pun mau menghabiskan waktu di Asmat sampai ia pensiun nanti atau entah sampai kapan. Hal itu ia lakukan saat banyak guru yang kabur dari tugas. “Di Asmat kita tak butuh uang, kita butuh orang yang punya hati,” ungkap Romanus.

Bagi Romanus, pengabdian di Asmat itu dilakukan seumur hidup. Membuat program untuk kesejahteraan masyarakat tanpa mendampingi dengan hati di Asmat itu, menurut Romanus, akan sia-sia.

“Kurang kaya apa Asmat ini, hasil hutannya bagus, ikan melimpah. Di sini hanya kurang orang baik yang mau mendampingi pakai hati,” kata Romanus.

Sejatinya seorang guru tak pernah mau melepas tangan muridnya. Romanus sadar betul pangan yang baik dan cukup akan menunjang sendi kehidupan di Asmat termasuk pendidikan. Romanus guru sejati dan Indonesia perlu lebih banyak lagi guru seperti Romanus, terutama di Papua. Guru yang bertahan di kelas pun di luar kelas. (Dionisius Reynaldo Triwibowo/Sucipto)

Biodata:

Nama : Romanus Meak

Tempat Tanggal Lahir: Sikka Nusa Tenggara Timur, 31 Agustus 1962

Pendidikan:

  • SMA Negeri I Maumere, NTT
  • Pendidikan Guru Agama Katolik Jayapura

Istri : Maria Hurulean

Anak :

  1. Arita Adelheit Meak Orimbao
  2. Rudolf Meak Orimbao
  3. Christin Meak Orimbao

(Dionisius Reynaldo Triwibowo dan Sucipto)