Tubuh Yohakim Bes lunglai. Perut anak tiga tahun itu buncit dan tulang rusuk tampak dari balik kulitnya. Ia mengerang kesakitan saat buang air besar di pinggir jalan papan di Kampung Er, Kabupaten Asmat, Provinsi Papua.

Kami bertemu Yohakim saat berada di Kampung Er di Distrik Sawaerma, Asmat, awal Oktober 2021 silam. Yohakim sedang digendong ayahnya, Elias Besap (25). Tetiba, anak perempuan 3 tahun itu menangis karena ingin buang air besar.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Elias Besap, istri dan bersama empat dari delapan anak mereka di depan rumahnya yang terbuat dari pelepah dan daun sagu di Kampung Er, Distrik Sawaerma, Kabupaten Asmat, Papua, Rabu (13/10/2021). Elias menggendong anaknya, Yohakim Bes (3) yang menderita gizi buruk, tuberkulosis, dan prolaps rectum. Kondisi fisik Yohakim memprihatinkan, perutnya melembung dan tulang rusuk nampak dari balik kulitnya.

Elias lalu memegangi tubuh Yohakim untuk buang air besar di tanah berlumpur di pinggir jalan kampung. Jalan di kampung Er, seperti layaknya jalan-jalan kampung lain di Asmat berupa deretan papan kayu yang dibangun di atas tanah rawa berlumpur.

Elias lalu membawa Yohakim pulang ke rumah mereka. Rumah panggung itu setinggi lebih kurang dua meter, yang sudah dalam kondisi miring. Dinding dan atapnya terbuat dari daun sagu kering.

Di dalam rumah yang berukuran sekitar 4 meter x 3 meter itu terdapat tungku api berbentuk segi empat. Tak ada sekat kamar apalagi pintu.

Lantai papannya berongga karena patahan papan lapuk dan disusun serabutan. Beberapa kali anak-anak Elias terperosok ke dalam rongga itu saat berlarian berebut biskuit atau bumbu mi instan.

“Terus terang selama sakit dia tidak mau makan, diberi sagu tidak mau. Kalau nasi dan mi, baru mau. Itu juga harus buat bubur,”

Saat kami berjumpa Elias, Yohakim terus menangis. Tak lama, Yohakim meminta turun dari gendongan sang ayah. Kaki kecil Yohakim berjalan, pelan sekali, kadang bergetar.

“Terus terang selama sakit dia tidak mau makan, diberi sagu tidak mau. Kalau nasi dan mi, baru mau. Itu juga harus buat bubur,” kata Elias.

Baca juga : Realitas Getir Benteng Terakhir

Ia kemudian menunjukkan salah satu penyebab Yohakim terus menangis. Kami menyaksikan bagaimana daging merah menonjol keluar dari dubur Yohakim.

Setelah melihat itu, kami berusaha mengajak Elias untuk membawa Yohakim ke puskesmas. Bahkan, kami menawarkan diri untuk mengantar mereka menggunakan perahu cepat, tetapi Elias menolak karena sejumlah alasan. “Saya tunggu hak (bantuan pemerintah) dulu,” ujarnya.

Menunggu bantuan
Uang yang ditunggu Elias adalah bantuan langsung tunai (BLT) terkait pandemi Covid-19 sebesar Rp 1,2 juta. Sebagian besar dipakai untuk membayar utang sedangkan sisanya ia belanjakan untuk membeli kopi, gula, beras, dan mi instan yang sudah jadi kebutuhan pokok keluarganya. Elias berutang pun untuk membeli barang-barang itu.

Elias tak punya pekerjaan dan mulai jarang memangkur sagu. Karena keluarganya mulai tergantung beras dan makanan instan, Elias lebih kerap berpangku kepada bantuan. “Anak-anak kalau ada mi (instan) itu rebutan,” kata Elias.


Seorang anak asyik memakan mie instan tanpa dimasak terlebih dahulu di kampung As, Distrik Pulau Tiga, Asmat, Papua, Jumat (15/10/2021).

Selain Yohakim, Elias memiliki tujuh anak lain, tetapi satu meninggal. Adapun dua di antaranya tinggal bersama kakaknya, Rofus Demetok (37).

Di Kampung Er, seperti juga di kampung lain di Asmat, pemandangan anak memakan mi instan langsung dari bungkusnya begitu lazim. Mereka juga meminum air langsung dari sungai. Sungai ini digunakan pula untuk mencuci dan buang air.

Kami meninggalkan Kampung Er karena harus melanjutkan perjalanan ke lokasi lain di Asmat. Seminggu berselang, kami bertolak ke Agats, pusat kabupaten Asmat.

Ketika tiba di Agats yang dijuluki kota seribu papan, kami bertemu kembali dengan Elias. Ia sedang menggendong Yohakim yang terkulai lemas.

Ternyata Yohakim sedang dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Agats setelah dirujuk Puskesmas Sawaerma empat hari sebelumnya.

Elias Besap menggendong anaknya, Yohakim Bes (3) yang menderita gizi buruk, tuberkulosis, dan prolaps rectum di Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, Papua, Selasa (18/10/2021). Yohakim dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Agats untuk menyembuhkan berbagai jenis penyakit yang dideritanya.

Dari hasil pemeriksaan, Yohakim didiagnosis menderita prolaps rectum, TBC, dan gizi buruk, serta gejala anemia. Dokter dan perawat sempat bingung tubuh Yohakim yang sekecil itu masih bisa berjalan dan berbicara, meski tekanan darahnya tidak normal. Setidaknya tiga hari Yohakim dirawat intensif. “Dokter sudah kasih susu tadi,” ujar Elias singkat.

Di RSUD Agats, Yohakim dirawat di bangsal dengan sejumlah pasien anak, salah satunya juga mengalami gizi buruk dan anemia.

Baca juga : Jalan Terjal Berbatu di Nduga

Terus terjadi
Kejadian gizi buruk di Asmat masih kerap terjadi, terutama pada anak-anak. Bahkan, pada awal 2018 kasus gizi buruk di Asmat sempat disebut sebagai bencana kesehatan. Ada 71 anak meninggal karena gizi buruk dengan total kasus mencapai 627 kasus gizi buruk dan gizi kurang selama September 2017-28 Januari 2018. (Kompas, Senin 29 Januari 2018).

Meskipun saat itu banyak bantuan mengalir ke Asmat yang disertai sejumlah program, namun tetap belum menyentuh penyebab utama persoalan. Alhasil, kasus gizi buruk di Asmat terus berulang.

 

Berdasarkan data Dinas Kesehatan Asmat selama 2021, sebanyak 15 anak meninggal dalam keadaan gizi buruk pada periode Januari-Agustus. Jumlah itu meningkat dari tahun 2020 dengan total tujuh anak meninggal. Seluruh pasien meninggal karena memiliki penyakit penyerta.

Direktur RSUD Agats Yenny Yokung Yong mengungkapkan banyak faktor yang memengaruhi gizi buruk yang dialami pasien yang datang ke rumah sakit, salah satunya pengetahuan dasar hidup sehat dan asupan anak. “Jadi ada kasus, anak ini mau diberikan susu tawar untuk perbaikan gizi, tapi anaknya enggak mau, terus rewel. Supaya diam, ibunya kasih kopi ke anak itu,” kata Yenny.

Pola hidup itu kemudian memicu banyak penyakit, tak hanya gizi buruk. Tahun 2021 RSUD Agats mencatat, banyak pasien yang menderita diare cair, pneumonia, dan malaria.

Warga As dan Atat, Distrik Pulau Tiga, Asmat, Papua tengah menyaring empulur atau remah-remah daging sagu untuk menghasilkan pati sagu, Kamis (14/10/2021).

Selain pola hidup, rendahnya kesadaran orangtua untuk segera memeriksakan anak mereka yang kekurangan gizi juga masih rendah. Menurut Yenny, tidak ada orang tua pasien yang datang ke rumah sakit di Agats dengan keluhan anaknya terkena gizi buruk. Kasus gizi buruk ditemukan saat pasien datang dengan keluhan lain.

Ironisnya, gizi buruk itu terjadi di wilayah yang memiliki lumbung sagu. Setidaknya terdapat 1,4 juta hektar (ha) potensi luas lahan sagu di Asmat atau setara dengan hampir dua kali luas pulau Bali. Luas ini sekitar 20 persen dari total lahan sagu di Provinsi Papua.

Merujuk data Dinas Tanaman Pangan dan Pertanian Kabupaten Asmat, dari 1,4 juta ha lahan potensi sagu di Asmat, hanya 4.255,50 ha lahan sagu yang dikelola masyarakat, dan hanya 2.122,50 hektar lahan sagu yang dipanen dengan hasil 10.612 ton di tahun 2020.

“Kami mulai mengenalkan mereka dengan sayuran dan buah-buahan. (Dari) gereja juga bantu banyak bibit,” kata Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Asmat Muhammad Iqbal.

Sejak kejadian luar biasa gizi buruk awal 2018 silam, beragam upaya dilakukan pemerintah daerah, pihak keuskupan, maupun lembaga lain di Asmat, seperti pemeriksaan rutin, pemberian makanan tambahan seperti susu dan telur, hingga mengenalkan cara bercocok tanam ke masyarakat.

Pola konsumsi masyarakat adat yang bergantung pada beras dan makanan instan yang berasal dari luar Asmat serta minimnya kesadaran pola hidup sehat membuat gizi buruk terus mengancam, bagai bom waktu. Sebuah ironi di kampung para peramu yang tinggal dekat lumbung sagu.