Sejak dahulu kala masyarakat Fakfak hidup harmonis dan rukun dalam perbedaan agama. Masyarakat pesisir umumnya memeluk agama Islam sedangkan warga di dataran tinggi beragama Kristen Protestan atau Katolik.
Suara nyaring perahu kayu bermesin tempel yang kami tumpangi memecah suasana pagi menjelang siang di perairan Kokas, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Perahu mulai melambat ketika merapat ke sebuah dermaga kecil di Kampung Patimburak.
Anak-anak berlarian menyambut hangat. Bangunan masjid tua berwarna hijau langsung tampak begitu kami menapaki jalan kampung. Masjid bernama Al Yassin atau terkenal dengan sebutan Masjid Tua Patimburak itu merupakan salah satu situs cagar budaya di kabupaten penghasil pala tersebut.
Arsitektur bangunan masjid yang dibangun oleh Raja Pertuanan Wertuar pada 1870 ini sangat unik karena merupakan perpaduan bentuk masjid dan gereja.
Masjid ini menyimpan sejarah penyebaran agama Islam di Tanah Papua. Dibangun lebih dari 150 tahun lalu, menjadikannya sebagai masjid tertua di Fakfak sekaligus di Papua Barat.
Baca juga : Pala Fakfak yang Menghidupi
Arsitektur bangunan masjid yang dibangun oleh Raja Pertuanan Wertuar pada 1870 ini sangat unik karena merupakan perpaduan bentuk masjid dan gereja. “Artinya, supaya umat beragama di Fakfak tidak bisa dipisahkan. Diharapkan tiga agama, yaitu Islam, Kristen, dan Katolik, yang menjadi ciri khas masjid selalu hidup rukun,” kata Moi Kuda, cucu dari Raja Pertuanan Wertuar, di Masjid Patimburak, pertengahan Juni 2021 silam.
Simbol toleransi
Pembangunan Masjid Tua Patimburak juga menjadi simbol toleransi. Dari bentuk bangunannya, terlihat kubah yang menyerupai model atap gereja-gereja di Eropa. Bentuk ventilasi dan pilar bangunan juga dibuat seperti bangunan kolonial. Keberadaan tiga pintu di sisi utara, selatan, dan timur masjid, melambangkan keberadaan tiga agama di Fakfak.
“Tiga pintu ini menuju ke satu titik untuk bersujud. Ini menggambarkan pada dasarnya kita bersaudara, dan berdoa ke arah yang sama,” kata Moi.
Wujud solidaritas antara masyarakat gunung dan pesisir tidak hanya ditunjukkan dari bentuk bangunan masjid. Proses pembangunan masjid juga menggambarkan persatuan karena dilakukan oleh ketiga agama secara gotong royong.
Masyarakat lokal yang memeluk agama Islam, Kristen, dan Katolik, punya andil yang sama besar dalam pembangunan tempat ibadah itu. Ketika Masjid Tua Patimburak dibangun, orang-orang gunung turun ke pesisir untuk membantu saudara mereka yang beragama Islam. Mereka membawa hasil kebun, seperti keladi, pisang, dan sayur-sayuran untuk dinikmati bersama selama proses pembangunan.
Orang-orang gunung juga membantu mencari kayu dan membangun pondasi hingga masjid terbangun. Hingga saat ini, toleransi masih terjaga. Tidak hanya di Patimburak, pembangunan rumah ibadah di Fakfak, baik itu gereja maupun masjid, selalu melibatkan penduduk dari agama berbeda.
Mercy Kabes (42), petani pala di Kampung Wurkendik, Distrik Fakfak Barat, mengungkapkan, sang ayah, Philipus Kabes, yang beragama Kristen, dipilih menjadi ketua pembangunan masjid di Kampung Kapartutin, Fakfak. Sang Ayah secara aktif mengumpulkan dana pembangunan serta memimpin warga untuk bergotong royong saat pembangunan masjid.
Sebaliknya, saat penduduk di Kampung Kapartutin butuh membangun gereja, umat beragama Islam juga turut menyumbangkan dana dan tenaga. Tradisi mengumpulkan uang untuk membantu pihak yang sedang punya hajat disebut taruh harta atau tombor mag.
Kerukunan di Fakfak terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat membaur tanpa sekat-sekat perbedaan. menumbuhkan sikap saling mengerti dan menghargai.
“Saat Natal saya naik ke gunung untuk merayakan Natal. Saat Lebaran, saudara-saudara dari gunung turun silaturahmi dengan kami,”
Mercy mengatakan, beberapa saudara kandungnya ada yang beragama Islam. Saat hari raya Idul Fitri, ia terbiasa mendatangi saudara-saudaranyayang Muslim di wilayah pesisir untuk bersilaturahmi. “Saya pergi ke pesisir untuk pegang tangan. Tidak bisa tidak. Kalau tidak pergi, ada rasa lain karena kami keluarga,” ujar Mercy.
Moi menambahkan, tradisi untuk sama-sama merayakan hari besar agama tidak luntur. Masyarakat lokal sadar bahwa kawin antara umat berbeda agama sudah biasa terjadi. Mereka tetap bersaudara meskipun ada anggota keluarga punya agama berbeda.
“Saat Natal saya naik ke gunung untuk merayakan Natal. Saat Lebaran, saudara-saudara dari gunung turun silaturahmi dengan kami,” kata Moi.
Terjadi alamiah
Di Fakfak, toleransi dan kerukunan antarumat beragam terjadi secara alamiah. Tidak ada yang memaksakan seseorang memeluk agama tertentu. Apabila ada seseorang yang pindah agama atau menikah dengan seseorang berbeda agama, masyarakat dan keluarga tetap merestui pilihan hidup itu.
“Manusia itu ada duluan sebelum agama. Dulu, sebelum ada agama orang menyembah gunung besar, batu besar, dan telaga besar. Bukan gunungnya yang disembah, tetapi Sang Pencipta yang membuat gunung itu ada,” kata Raja Pertuanan Wertuar, Musa NP Heremba.
Baca juga : Jalan Terjal Berbatu di Nduga
Menurut Musa, sesama mansia sudah sepatutnya saling menghormati dan menghargai. Dengan filosofi ini, tidak ada konflik yang muncul karena masalah agama. Jika ada perselisihan, semuanya bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
Tingginya semangat toleransi di Fakfak tidak lepas dari falsafah hidup yang dianut oleh masyarakat melalui semboyan Satu Tungku Tiga Batu. Tungku adalah simbol dari kehidupan, sedangkan tiga batu mewakili tiga sendi kehidupan masyarakat, yaitu adat, agama, dan pemerintahan. Masyarakat percaya ini juga melambangkan Islam, Katolik, dan Protestan. Konsep tersebut kemudian menjadi dasar persaudaraan masyarakat Fakfak.
Bupati Fakfak Untung Tamsil mengatakan, kerukunan antar umat beragama di Fakfak adalah modal berharga yang harus terus dipertahankan. “Keberagaman di Fakfak adalah miniatur Indonesia. Kami percaya kami adalah satu keluarga, satu hati. Kerukunan antar umat Kristen, Katolik, dan Islam di Fakfak harus menjadi contoh untuk daerah lain,” ujar Untung. (Denty Piawai Nastitie/Nikolaus Harbowo)