Dijerang matahari yang tepat di atas kepala, Musa Aso, tak henti mengayun sekop di sawah miliknya. Ia mengejar waktu menanam pada berpetak-petak sawah yang dulunya ladang ubi jalar ini. Beras kini menjadi makanan dan penghidupan utama keluarga Musa, menggeser ubi jalar yang berabad-abad merupakan pangan pokok di Lembah Baliem dan sekitarnya ini.

Di usianya yang telah lewat 64 tahun, Musa cekatan memakai sekop di petak sawah yang sedang digarap, di Desa Mulinekama, Distrik Asolokobal, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Desa ini berjarak sekitar 10 kilometer dari Wamena, pusat kabupaten Jayawijaya.

Sekop adalah perlengkapan utama mengolah lahan, bukan cangkul seperti banyak tempat di luar Papua. Traktor sesekali membantu jika ada yang meminjamkan, atau ada dana membeli bahan bakar. Harga bahan bakar di Wamena, Jayawijaya, mencapai Rp 20.000 per liter.

Musa Aso (60) dan Fando Lakobal (18) mengolah lahan padi yang sebelumnya ditanami ubi di Kampung Mulinekama, Distrik Asolokobal, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Kamis(18/11/2022). Sejumlah warga kini masih menanam berbagai varietas ubi lokal yang selama ini ditanam masyarakat Papua. Ada ubi jenis helaleke, yeleli, dan musaneken. Total ada puluhan nama jenis ubi jalar di wilayah ini. Ubi merupakan makanan penting yang kini mulai tergantikan oleh nasi.
Kompas/Bahana Patria Gupta (BAH)

Bersama Fando Lakobal (18), seorang dari tujuh cucunya, ia fokus mendalamkan bagian tepi sawah. Semua bagian tepi terlihat disekop sedalam sekitar 10 centimeter. Tanahnya dilempar ke bagian tengah sawah yang meninggi.

“Ini untuk kita tabur ikan nanti. Orang bilang ini metode mina padi,” kata Musa, suatu siang pada November 2021.

“Kalau dua petak sawah yang sudah ditanam itu tinggal jaga airnya saja,” sambungnya menunjukkan petak sawah dengan padi yang mulai tinggi.

Baca juga : Jalan Terjal Berbatu di Nduga

Angin di ketinggian 1.600-an meter membawa hawa sejuk. Namun, panas matahari tetap menyilaukan mata dan membakar kulit. Musa dan Fando seakan telah berdamai dengan cuaca, dan terus bekerja, mengejar waktu agar bisa segera menanam.

Padahal, ia telah bekerja lebih dari empat jam. Sejak matahari mulai meninggi, Musa telah menggarap satu dari delapan petak sawah miliknya. Lahan seluas satu hektar total telah berubah menjadi sawah.

Sejak awal 1970-an, Musa bercerita, ia mulai mengenal beras. Sesekali ia memakan beras pembagian pemerintah bagi pegawai negeri sipil sepertinya. Namun, teknik menanam padi baru ia dapatkan di awal 80-an. Saat itu, kondisi Jayawijaya dijaga ketat aparat akibat situasi keamanan yang tidak stabil. Anggota militer yang bertugas lalu mengenalkan beras dan teknik persawahan.

Ketika itu, belum ada seorang pun yang menanam padi di lingkungan tempat tinggalnya. Hamparan berhektar-hektar lebih dari satu kilometer di belakang rumahnya adalah ladang ubi jalar, hingga ke bukit.

Bersama anak-anaknya, ia mulai mengolah dua petak lahan menjadi sawah. Bibit didatangkan dari distrik tetangga yang telah lebih dulu menanam padi. Kontur tanah yang gembur, membuat tanaman tumbuh subur.

Panen perdana yang cukup baik membuatnya terus menggarap sawah. Anak-anaknya mulai mengonsumsi beras. Ubi jalar pada pagi dan malam hari, beras pada siang hari.

“Beras ini organik, dijual bisa Rp 40.000 per kilogram. Orang-orang suka. Hasilnya kami belikan lauk. Ubi jalar kami tetap tanam. Ada sedikit di lahan depan, cukup untuk sekeluarga,” kata Musa, ayah 12 anak ini.

Musa menambahkan, ubi jalar tetap berperan penting untuk pangan keluarga. Setiap hari, ubi di ladang dipanen untuk makanan utama. Sebab, beras sebagian besar dijual yang hasilnya dipakai untuk kebutuhan hidup lainnya.

Suasana berbeda terlihat Di Kampung Jagara, Distrik Walesi, berjarak beberapa kilometer dari Desa Mulinekama. Markus Lani (69), baru saja selesai mengolah sebuah petakan lahan. Di sebelahnya, berpetak-petak ladang ubi jalar telah menghijau.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Markus Lani menunjukkan daun ubi jala yang akan ditanam di ladangnya di Kampung Jagara, Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Selasa (16/11/2022).Sejumlah warga kini masih menanam berbagai varietas ubi lokal yang selama ini ditanam masyarakat Papua. Ada ubi jenis helaleke, yeleli, dan musaneken. Total ada puluhan nama jenis ubi jalar di wilayah ini. Ubi merupakan makanan penting yang kini mulai tergantikan oleh nasi.

Ubi ini telah ditanam dua bulan lalu. Sekitar tiga bulan lagi ubi bisa dipanen untuk kebutuhan keluarga, ternak, dan kebutuhan adat lain. Markus merupakan salah satu kepala Suku Lani, suku yang mendiami Lembah Baliem.

Di ladang miliknya, ia masih menanam berbagai varietas ubi lokal yang selama ini ditanam masyarakat. Ada ubi jenis helaleke, yeleli, dan musaneken. Total ada puluhan nama jenis ubi jalar di wilayah ini.

Baca juga : Realitas Getir Benteng Terakhir

Meski masih mempertahankan menanam dan memakan ubi, Markus merasa keterikatan masyarakat dengan pangan utama ini mulai memudar. Warga, khususnya anak-anak, lebih banyak yang menyukai beras. Ubi hanya selingan saat beras tidak terlihat di tempat makan.

Bergeser

Ketua Lembaga Masyarakat Adat Jayawijaya Herman Doga menuturkan, di masyarakat pegunungan Papua, memang terjadi pergeseran pangan, dari ubi jalar ke nasi. Situasi ini mulai terjadi sejak 80-an, yang terus berlanjut hingga saat ini.

Pergeseran dimulai dari adanya bantuan beras ke masyarakat, hingga pengenalan sistem persawahan. Orang-orang yang dulunya tidak mengenal beras, sedikit-demi sedikit beralih dan menjadikan beras makanan utama. Secara berkala, kata Herman, masyarakat yang masuk dalam kategori miskin, juga diberikan bantuan beras oleh pemerintah.

Padahal, orang di pegunungan Papua sejak dulu hanya mengenal keladi dan ubi jalar untuk makanan pokok. Ubi jalar ditanam untuk makanan sehari-hari, makanan ternak, hingga saat upacara adat.

“Anak-anak di kota sudah tidak tahu makan ubi karena selalu dikasih beras. Kalau beras, ternak babi tidak bisa makan.. Orang tidak tahu tanam beras. Tahunya ubi jalar yang gampang, dan tidak perlu banyak perawatan.” kata Herman.

Jika kondisi ini terus berlanjut, tutur Herman, ia khawatir orang-orang akan semakin meninggalkan ubi jalar dan beralih ke beras. Saat itu terjadi, ditaambah situasi pertanian di pegunungan tidak mendukung persawahan, ada potensi terjadinya kelangkaan pangan.

“Kekhawatiran itu ada karena orang tidak kenal menanam padi, tinggal tunggu bantuan beras saja yang belum tentu selalu ada,” tuturnya.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Warga membersihkan ladang ubi di Kampung Jagara, Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Papua, Selasa (16/11/2022).Sejumlah warga kini masih menanam berbagai varietas ubi lokal yang selama ini ditanam masyarakat Papua. Ada ubi jenis helaleke, yeleli, dan musaneken.

Berpotensi rawan pangan

Kepala Dinas Pertanian Jayawijaya Hendri Tetelepta mengungkapkan, pergeseran pangan masyarakat menimbulkan kekhawatiran tentang kerawanan pangan, khususnya ketika lahan pangan lokal semakin berkurang.

Namun, kata Hendri, salah satu yang terus dilakukan di tengah situasi ini adalah mendorong adanya pangan lain. “Salah satunya padi, tanaman rawa itu,” katanya.

Menurut Hendri, pengembangan ubi jalar memang tidak didorong melalui proyek pemerintah. Sebab, ubi jalar ini telah mengakar sebagai makanan pokok sehari-hari, juga dijadikan pakan ternak.

Hendri mengatakan, jika ubi jalar digencarkan melalui proyek, masyarakat akan malas untuk berkebun ubi, dan akan menunggu proyek dulu untuk bekerja. “Jadi pengembangan ubi jalar hanya mendampingi mereka berjalan seperti yang sudah mereka lakukan sejak turun temurun. Hanya bibitnya itu yang kita introduksi dari luar,” ucapnya.

Padahal, kandungan gizi pada ubi jalar ini memenuhi syarat untuk dijadikan makanan utama. A Wahid Rauf dan Martina Sri Lestari dalam Pemanfaatan Komoditas Pangan Lojal Sebagai Sumber pangan Alternatif di Papua yang terbit di jurnal Balitbang Kementerian Pertanian menerangkan, ubi jalar memiliki kandungan karbohidrat, lemak, protein, dan mineral tidak jauh berbeda dengan sumber pangan lokal lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa ubi jalar layak digunakan sebagai sumber pangan utama bagi masyarakat. Bila perlu dapat ditambahkan unsur gizi lain melalui proses fortifikasi.

Dulu ubi banyak. Sekarang sudah tidak. dulu saja orang kalau berkebun, satu kali memanggil akan ramai yang datang. Sekarang sudah susah. Padahal semua kehidupan itu ada di ubi. Ubi yang kasih makan kita, yang jaga kita

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Warga memeras sagu dengan campuran air di Dusun Dayo, Distrik Yanimura, Kabupaten Boven Digoel, Papua, Kamis (5/3/2020). Perempuan Korowai menyiapkan alat pangkur pagu, nokel, dan pisau. Sedangkan, laki-laki membawa alat-alat untuk menebang dan membelah pohon sagu, seperti kapak batu atau linggis. Kegiatan memangkur sagu dimulai sejak pagi hari karena butuh waktu hampir seharian. KOMPAS/AGUS SUSANTO

Martina Sri Lestari yang juga Kepala Badan Penerapan Teknologi dan Pengkajian (BPTP) Papua dalam wawancara November 2021 lalu, mengatakan, ubi jalar menghadapi berbagai tantangan, baik pergeseran pola makan, hingga berkurangnya klon bibit.

“Dulu ubi banyak. Sekarang sudah tidak. dulu saja orang kalau berkebun, satu kali memanggil akan ramai yang datang. Sekarang sudah susah. Padahal semua kehidupan itu ada di ubi. Ubi yang kasih makan kita, yang jaga kita.”

Hal Ini terjadi karena adanya alih fungsi lahan, migrasi penduduk, hingga perubahan kultur pangan di masyarakat. Selama beberapa dekade terakhir, masyarakat terbiasa makan beras pembagian pemerintah. Orang yang kembali dari kota-kota besar mulai tidak memakan ubi. Tidak hanya itu, berkurangnya petani karena migrasi penduduk membuat tanaman ini tidak terkelola baik.

Perubahan pangan di masyarakat Jayawijaya, dan sekitarnya, begitu nyata. Seperti kata Markus Lani “Dulu ubi banyak. Sekarang sudah tidak. dulu saja orang kalau berkebun, satu kali memanggil akan ramai yang datang. Sekarang sudah susah. Padahal semua kehidupan itu ada di ubi. Ubi yang kasih makan kita, yang jaga kita.”