Apa pun atau siapa pun yang kita perlakukan dengan baik, akan berbalik memberi hal baik. Sikap ini dipelihara sungguh-sungguh oleh para pemetik teh. Di tengah kebun, mereka berdandan maksimal–dengan gincu dan bedak–sebagai bentuk sikap baik pada pucuk-pucuk daun teh.
Mohammad Hilmi Faiq
Para buruh petik teh duduk melingkar di sela-sela rerimbunan tanaman teh di afdeling Sukaratu, Malabar, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Menjelang tengah hari itu, mereka makan siang setelah memangkas habis seluruh pucuk teh di perkebunan seluas satu hektar. Seperti biasa, mereka berbagi menu yang dibawa dari rumah masing-masing. Dalam bahasa orang kota, cara makan para pemetik daun teh ini ibarat pot luck.
Selepas makan siang itu, Ros (45), menepi dan merogoh saku celananya. Dia mengeluarkan gincu dan segera memoles bibirnya sehingga kembali menyala seperti tadi pagi, ketika baru berangkat dari rumah. Touch up, kalau istilahnya orang urban kini. Dia mencecap-cecapkan bibir, memastikan gincu tadi merata. Setelah itu dia buru-buru menyimpan gincu merek Revlon itu. “Penampilan harus selalu terjaga. Kami selalu harus tampil cantik di tengah kebun,” kata Lilis (54), mandor yang siang itu mengawasi 16 anak buahnya.
Di tengah perbincangan itu, Lilis menunjukkan lipen, begitu dia menyebut jenis gincu merek Maybelline. Dia juga membawa serta bedak dan kadang kala pensil alis. Ini menjadi benda-benda penting, selain buku catatan perolehan hasil panen anak buahnya.
Bagi anak buah Lilis, bedak, gincu, dan pensil alis tak kalah penting dengan gunting maupun mesin pemotong pucuk daun teh. Dengan kata lain, mereka rela telat kerja demi dandan.
Bahkan, beberapa dari mereka berani memilih berhenti bekerja jika dilarang dandan. Syukurnya, para atasan termasuk mandor mempersilakan mereka untuk dandan. Ya jelas saja, wong mandornya juga rajin dandan.
Biasanya, para pemetik teh ini bangun subuh untuk salat lalu menyiapkan sarapan suami dan anak-anaknya. Setelah itu mereka berganti pakaian dengan baju lengan panjang, dan celana panjang. Lalu membungkus kaki dengan kaus kaki, kadang sampai lapis dua, sebelum memakai sepatu. Yang terlihat hanya wajah dan telapak tangan. Itu masih ditambah lapisan terluar berupa penutup kepala, potongan terpal, plastik, atau jas hujan agar tak mudah basah. Maklum, pucuk-pucuk segar daun teh selalu didiami embun.
Jika ada plastik yang bocor, bisa menjadi malah petaka. Sebab, air embun pada daun teh akan merembes sampai kulit dan dinginnya akan sangat menyiksa. Suhu di perkebunan yang kadang sampai delapan derajat celsius di pagi hari pada musim kemarau seperti pada akhir Juni lalu, menjadikan air seperti jarum yang menusuk kulit. Sakit.
Setelah yakin semua aman, pemetik teh mengoleskan foundation alias bedak dasar sebelum memupuri wajah dengan bedak. Lalu merias bibir dengan gincu yang kadang juga lip balm atau pelembab bibir. Diakhiri dengan mempercantik bentuk alis. Prosesi ini bisa memakan waktu seperempat sampai setengah jam. Ini ritual yang membutuhkan ketelatenan dan komitmen tambahan di luar tekad dan target untuk memanen daun sebanyak-banyaknya.
Jadi, jangan heran jika di tengah kebun teh yang menghijau dan sejuk itu, juga berbaris rapi para srikandi yang tak kalah cantik dan wangi. Aroma bedak menyebar di tengah dedaunan teh muda. Kadang berbaur dengan aroma keringat yang menguar. Perang aroma itu seperti pergulatan antara kerja keras dan semangat menjaga keelokan penampilan.
Spiritualisme dandan
Bagi para pemetik teh, tampil cantik di tengah kebun bukan perwujudan dorongan hormonal atau libidis yang sangat material. Jauh melintasi itu semua. Pemetik teh memandang daun-daun teh sebagai teman hidup. Ciptaan Tuhan yang menjadi sumber kehidupan mereka.
Sejak keluar dari sekolah dasar pada usia sekitar delapan tahun, Lilis sudah terbiasa ikut ibunya ke kebun teh. Dia menyaksikan betapa ibunya demikian menggantungkan hidup kepada teh. Ketika harga teh bagus, bagus juga kehidupan mereka. Begitu juga sebaliknya.
Dia pernah merasakan ketika harga teh tinggi pada tahun 1997-1998. Saat itu satu kilogram teh hitam setara dengan lima sampai enam kilogram beras. Sekarang Lilis ikut merasakan perihnya menjadi pemetik teh ketika harga satu kg teh hanya setara dengan satu setengah ilogram beras.
Lilis ikut dalam pasang surut teh. Dengan kata lain, dia tumbuh lalu membangun keluarga hingga sekarang, tak lain karena berkah dari teh. Teh menjadi pusaran hidup. Maka dia selalu memuliakan teh. Lilis selalu menyebut teh dalam doa-doanya setiap akhir salat agar Tuhan selalu menjaga kesuburan dan kesegarannya. “Ya Allah, hejo lemukeun teh abdi sadayana,” begitu kutipan doa Lilis.
Lilis memuliakan teh bukan saja saat berada di kebun, tetapi juga dalam keseharian dan salatnya. Maka ketika dia berdandan dengan membawa gincu dan bedak ke tengah kebun, itu bagian penting dari pemuliaan tadi.
Agak berbeda dengan Iyos (63) pensiunan pemetik teh yang kini menjadi pekerja harian lepas PTPN VIII. Perempuan yang tinggal di Emplasmen V cipuspa Desa Sukaresmi, Kecamatan Rancabali, Kabupaten Bandung, ini menceritakan, tempat dia memetik teh termasuk strategis. Maksudnya berada di dekat jalan raya, jalur para wisatawan menikmati alam di daerah Bandung Selatan. Ketika memetik teh, tak jarang wisatawan mengajak foto bersama.
Oleh karena itu, sebisa mungkin dia tampil maksimal karena kurang percaya diri jika terlihat pucat atau kusam. “Lipen dan bedak selalu saya bawa,” kata nenek tujuh cucu ini.
Di sebalik itu, Iyos memegang keyakinan sama seperti Lilis, bahwa ketika “bercengkerama” dengan daun teh, perlu tampil cantik. Itu sebagai bentuk penghormatan dan pemuliaan. Baginya, berada di kebun teh seperti bertamu ke rumah sahabat karib.
Dandan ketika berada di kebun teh itu ia lakukan sejak remaja. Kebiasaan itu lama-lama menjadi kebutuhan. Sekarang, ketika tak berada di kebun pun, dia merasa tidak percaya diri kalau tidak dandan. “Geus tuman, kalau tidak bergincu dan berbedak rasanya aneh,” kata Iyos menjelaskan bahwa dandan sudah menjadi kebiasaan yang sukar hilang.
Menyebar
Kebiasaan dandan saat ke kebun teh bukan monopoli pemetik teh di Jawa Barat. Beberapa pemetik teh di Sumatera Utara, Solok, hingga Bengkulu melakukan hal serupa. Meskipun meskipun tidak melulu bermotif tunggal, tetapi salah satu yang mendorong mereka untuk selalu tampil cantik saat di kebun teh adalah kepercayaan bahwa tampil cantik di kebun teh akan membawa berkah. “Ben ora pucet. Kalau tidak pakai gincu dan bedak, dikira sakit,” kata Sukini (43), pemetik teh di kebun milik PPTPN VI di Pagar Alam, Sumatera Selatan.
Dia menjelaskan, bedak dan gincu juga punya fungsi tambahan selain estetika. Keduanya dapat mengurangi dampak buruk cahaya matahari dan udara dingin. Dengan bedak, wajah terlindungi sinar ulta violet, sementara gincu, bibir lebih lembab sehingga tak mudah pecah-pecah ketika dikepung udara dingin.
Peneliti kebudayaan teh Kuswandi mengungkapkan, kebiasaan berdandan ini sudah ada sejak masa kolonial Belanda. Motifnya beragam. Salah satunya untuk menarik lawan jenis, termasuk menarik hati para mandor. Dorongan lainnya adalah agar tampak segar dan sehat. Dia tidak memungkiri ada semangat lain seperti diungkapkan Lilis, Sukini, dan rekan-rekannya.
Siang itu, terik matahari memantulkan kemilau pada daun-daun teh muda di Malabar. Lilis menyelipkan lipen di topi capingnya. Lalu mengomando anak buahnya untuk membereskan tempat makanan dan kembali ke tengah kebun memotong pucuk-pucuk segar daun teh. Para pekerja bergegas dengan senyumnya yang segar setelah bibir mereka touch up dengan gincu berpadu dengan wajah yang merona oleh bedak. Gincu dan bedak di tengah dedaunan teh sama-sama menyegarkan.