Kompas/Yuniadhi Agung

Jawa Tengah dan Yogyakarta

Wangi Melati dari Maribaya…

·sekitar 10 menit baca

 

Kuncup melati muda yang dipanen dari ratusan hektar lahan di Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, memberi kesempatan hidup lebih baik bagi warga sekitar. Ekonomi padat karya yang dihasilkan dari pertanian melati yang memenuhi kebutuhan pabrik teh, tidak hanya melestarikan budaya minum teh yang wangi, sepet, legi, kentel, tetapi juga menyejahterakan warga.

Rini Kustiasih dan Kristi Dwi Utami

Pabrik-pabrik teh yang menyebar di kawasan Pantai Utara Jawa, mulai dari Cirebon, Tegal, Slawi, Pemalang, dan Pekalongan, memicu tumbuhnya permintaan terhadap melati. Selera teh wangi, atau teh yang dipadukan dengan aroma melati, sejak lama mendominasi pasar teh di kawasan Jawa, bahkan Indonesia. Pabrik teh di Jawa sebagian besar memroduksi teh melati yang cenderung lebih disukai konsumen, baik bentuk curah dalam kemasan kertas, maupun dalam kemasan teh celup.

Wangi teh melati bahkan telah menjadi bagian dari identitas teh jawa. Varian rasa melati atau jasmine tea lebih dikenal daripada teh hitam (black tea), teh hijau (green tea), atau teh yang belakangan digandrungi pasar ekspor, teh putih (white tea). Teh melati mudah dikenali dari aroma wanginya, dan kalibrasi warnanya yang merah.

Besarnya permintaan dari pabrik teh menjadi penggerak utama ekonomi melati di Desa Maribaya, Kecamatan Kramat. Wiryono (45), warga Desa Maribaya, salah satunya yang hidup dari melati. Kuncup-kuncup melati segar memenuhi dua keranjang di depan rumahnya, Jumat (12/7/2019) pagi. Belasan keranjang lainnya dibiarkan kosong di halaman. Angin kemarau menandai panen melati yang agak berkurang. Matahari sedang terik-teriknya. Namun, kemurahan alam memberikan lebih dari itu kepada warga. Melati sudah demikian lama memberikan wangi kehidupan bagi mereka.

Warga memetik bunga melati di sebuah kebun di Desa Maribaya, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (12/7/2019). Petani bunga melati di kawasan ini menjual panenan mereka ke sejumlah pabrik teh di Tegal dan Slawi.

“Bulan delapan (Agustus) sampai bulan satu (Januari), melati musim lagi. Sekarang angin kencang dan kemarau, panen kurang bagus, karena melati memasuki masa dormansi,” kata Wiryono, yang menekuni usaha melati sejak tahun 1998.

Wiryono sedikitnya memiliki 4 hektar (ha) lahan melati yang telah berproduksi. Masih ada sekitar 4 ha lainnya yang baru tahun ini ditanami melati. Jika berhasil dengan baik, Wiryono akan memeroleh panen dari 8 ha lahan, dalam empat hingga lima bulan ke depan. Selain diolah sendiri, sebagian kecil lahannya disewakan kepada warga. Sebagai imbalannya, warga menyetorkan hasil panen kepada Wiryono. Pemesan melati datang dari berbagai daerah, antara lain Tegal, Pekalongan, Pemalang, Slawi, Cirebon, Surakarta, dan Yogyakarta.

Sejak pertama kali ditanam secara masif di Maribaya, tahun 1996, bisnis melati mengalami pasang surut. Wiryono termasuk pebisnis lama di bidang ini. Mula-mula melati dikembangkan untuk memenuhi permintaan dari pabrik teh yang tumbuh di kawasan pantura.

“Dulu, tahun 1998-2004, hasil panen saya sepenuhnya untuk menyuplai pesanan dari pabrik teh. Tetapi lama-kelamaan pesanan mulai bervariasi. Pesanan besar juga datang dari wilayah lainnya, seperti Yogyakarta, Solo, hingga Jawa Timur yang memakai melati untuk aksesoris pengantin,” katanya.

Tahun 2012, pasar ekspor mulai terbuka. Selain memenuhi kebutuhan domestik untuk racikan di pabrik teh, dan aksesoris pengantin, petani seperti Wiryono juga menyuplai melati untuk ekspor ke Singapura, Malaysia, Thailand, dan Arab Saudi. Selain dipakai untuk parfum dan aromaterapi, melati juga digunakan sebagai perangkat ibadah keagamaan di luar negeri. Belakangan, melati Maribaya kian digemari di luar negeri. Pendapatan dari ekspor pun bisa menambah keuntungan petani dari hasil pembelian oleh pabrik teh.

Wiryono memeroleh Rp 200 juta-Rp 250 juta per bulan dari ekspor. Sekitar 70 persen melati produksinya dikirim untuk ekspor. Sisanya dikirim ke pabrik teh, dan pasar domestik lainnya. Dalam masa paceklik, Wiryono rata-rata mendapatkan 2 kilogram (kg) melati dari lahan seperempat bahu (0,175 ha) per hari. Bila dihitung dari keseluruhan 4 ha yang dimiliki Wiryono, ia menghasilkan 45,71 kg per hari di masa paceklik. Namun, bila masa panen tiba, ia bisa mendapatkan 10 kali lipat dari jumlah itu.

Kini, ada sekitar 300 petani melati di Maribaya. Mereka bergabung dengan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Ngudi Hasil. Dalam kelompok itu, Wiryono menjadi bendahara. Anggota kelompok tidak semuanya berorientasi ekspor. Sebagian besar menyuplai pabrik teh.

Warga memetik bunga melati di sebuah kebun di Desa Maribaya, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (12/7/2019). Petani bunga melati di kawasan ini menjual panenan mereka ke sejumlah pabrik teh di Tegal dan Slawi.

Pesanan dari pabrik teh sangat penting bagi pasar melati lokal, karena bisa memberi hasil harian bagi petani. Sekalipun harga jual melati fluktuatif, pesanan dari pabrik teh tetap dapat menyambung nafas mereka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pada titik terendah, harga melati menyentuh 15.000 per kg. Namun, di saat tertentu, harganya naik mencapai Rp 100.000 per kg. Khusus untuk pesanan dari pabrik teh, harga tertinggi Rp 35.000 per kg.

Dengan harga terendah Rp 15.000 per kg, petani masih untung, karena harga produksi per kg berkisar Rp 10.000-Rp 12.000. Biaya tertinggi dikeluarkan untuk ongkos pemetikan. Pemetik yang mayoritas perempuan, bekerja borongan. Setiap 1 kg dihargai Rp 9.000.

 

Penggerak ekonomi

Usiatun (45), salah satu pemetik melati Maribaya, merasakan keuntungan dari bertani melati. Ia bisa membesarkan empat anaknya dari hasil bertani dan memetik teh. Dari hasil memetik teh, ia bisa mendapatkan Rp 1,5 juta-Rp 2 juta per minggu, tergantung pada banyak sedikitnya hasil panenan. Di musim paceklik, pendapatan Rp 500.000-Rp 1 juta per minggu sangat menolong ekonomi keluarganya.

Usiatun setiap hari mulai memetik teh pukul 07.00, dan pulang paling lambat pukul 13.00. Membawa wadah plastik atau ember, atau tumbu dari bambu, ia dan kelompoknya sesama pemetik yang berjumlah lima sampai 10 orang memetik pucuk melati yang siap panen. Melati siap panen ialah kuncup bunga sebelum mekar yang ukurannya sekitar 0,3 cm-0,5 cm. Pucuk melati yang kurang dari ukuran itu sebaiknya tidak diambil karena terlalu kecil.

“Kalau yang masih kecil, atau kuncup muda, disebut karuk. Sebaiknya tidak diambil dan dibiarkan supaya bisa diambil keesokan harinya. Kalau yang mekar malah tidak dipanen, karena sering kali tidak terpakai. Tetapi kadang diambil untuk memenuhi pesanan,” katanya.

Pucuk melati diuntai atau dironce dengan tali rafia sehingga berbentuk seperti kalung sebelum dikirim ke pemesan domestik. Ada juga yang dibiarkan curah untuk pesanan pabrik teh. Khusus untuk ekspor, perlakuannya sedikit berbeda karena melati harus dipastikan tetap segar. Sebelum dikirim ke bandara untuk pengiriman ekspor, melati-melati dari sawah itu disortir. Setelah itu, melati direndam, dan dikemas dengan es supaya tetap segar.

Pemrosesan melati untuk pabrik teh lebih sederhana karena melati dari sawah bisa langsung dikirimkan. Beberapa pemesan meminta pucuk melati dibersihkan dari bagian tangkai yang panjang, sehingga bila diuntai bisa lebih rapi dan bersih.

“Sekarang harga melati sedang turun. Melati kami dihargai Rp 19.000 per kg oleh pengumpul. Lain waktu, harganya bisa naik drastis. Biasanya menjelang Lebaran. Banyak juga yang pesan untuk acara pengantin. Dari mana-mana datang memesan,” kata Marini (32), pemetik melati lainnya di Maribaya.

Warga memetik bunga melati di sebuah kebun di Desa Maribaya, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (12/7/2019). Petani bunga melati di kawasan ini menjual panenan mereka ke sejumlah pabrik teh di Tegal dan Slawi.

Pemetik melati juga banyak datang dari desa-desa di sekitar Maribaya. Sebagian besar petani melati di Maribaya adalah pemilik lahan, atau sebagian di antaranya bisa menyewa lahan. Pertanian melati dirasakan sangat menolong warga.

“Lumayan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Kalau harganya tinggi, kami mendapatkan uang mingguan cukup besar. Bisa buat uang saku anak sekolah. Kadang kalau lagi paceklik, pendapatan turun, tapi masih bisa untuk makan,” kata Marini, yang siang itu ditemani dua temannya sesama pemetik, Seni (32), dan Wariyah (51). Ketiganya warga Maribaya.

Wariyah berharap usaha melati terus berkembang, sehingga lebih banyak pesanan yang bisa dilayani oleh pemetik dan petani melati. Peningkatan pesanan yang diimbangi dengan harga yang sesuai akan bisa makin menyejahterakan masyarakat. Pabrik teh pun diharapkan bisa terus beroperasi menghasilkan teh wangi aroma melati, sehingga produk melati warga terserap pasar lokal dengan baik.

Data dari Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Kabupaten Tegal menyebutkan, total luasan lahan tanam melati di Kabupaten Tegal sekitar 250 hektar dengan produktivitas sekitar 3201 ton per hari. Adapun jumlah petani melati sekitar 600 orang. Mereka tergabung dalam 24 kelompok tani di empat kecamatan yakni Kecamatan Karmat, Kecamatan Suradadi, Kecamatan Warureja dan Kecamatan Lebaksiu.

Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Tegal Kofifah mengatakan, melati di Kabupaten Tegal memiliki dua pasar yakni pasar dalam negeri dan pasar luar negeri. Pasar dalam negeri untuk melati Kabupaten Tegal antara lain Jakarta, Bandung, Semarang dan Denpasar. Jumlah melati yang di suplai untuk pasar dalam negeri setidaknya 2-3 ton per hari.

Selain ke kota-kota tersebut, para petani melati di Kabupaten Tegal juga menjual melati mereka kepada pabrik teh yang ada di Kecamatan Slawi. Harga jual melati untuk keperluan pabrik berkisar antara Rp 20.000 – Rp 30.000 per kilogram.

Adapun untuk pasar luar negeri, melati Kabupaten Tegal sudah diekspor ke beberapa negara seperti, Singapura, Malaysia, Thailand dan Arab Saudi. Setiap bulannya, sedikitnya enam eksportir dari Kabupaten Tegal mengekspor melati hingga 110 ton.

“Harga melati ekspor dari Kabupaten Tegal berkisar antara Rp 20.000- Rp 150.000 per kilogram. Melihat besarnya peluang ekspor melati, saat ini Pemerintah Kabupaten Tegal sedang mengupayakan perluasan lahan tanam melati ke daerah Lebaksiu,” Kata Kofifah.

Bagian budaya

Sekretaris Perusahaan Gunung Slamat, David L, mengakui, teh wangi melati memang menjadi primadona. Untuk menimbulkan aroma sedap pada teh wangi buatan PT Gunung Slamat, komposisi melati yang dicampur teh ialah 1 banding 5. Artinya, 1 kg melati dicampur dengan 5 kg teh. Perbandingan itu akan menghasilkan aroma melati yang pas dan sedap.

“Kami pernah membuat produk teh yang tidak beraroma melati, tetapi respons pasar kurang bagus, sehingga kami hentikan produksinya,” kata David yang perusahaannya antara lain memroduksi teh Cap Poci, teh Cap Botol, dan teh celup Sosro.

Ia mengambil melati dari berbagai daerah di Jateng, terutama dari kawasan Tegal. Maribaya termasuk daerah asal penyuplai melati untuk Gunung Slamat. Adapun tehnya sebagian berasal dari kebun sendiri di Sukabumi, dan membeli dari PTPN IX. Percampuran antara teh kualitas baik dengan melati pilihan itu menjadi produk andalan mereka.

Pabrik-pabrik lainnya juga melakukan hal yang sama. Pabrik teh 2 Tang, misalnya, juga mengandalkan teh wangi dengan berbagai merk. Ada Cap Tjatoet, Cap 1 Tang, dan Cap 2 Tang. Uniknya, teh wangi itu pun diminum mulai dari rakyat kebanyakan hingga darah biru. Teh 2 Tang dan Cap Tjatoet, misalnya, merupakan salah satu teh yang disajikan untuk keluarga Sultan Hamengkubuwono X.

“Entah kenapa orang suka teh wangi melati. Yang pasti melati itu punya ciri khas, dan dinikmati oleh masyarakat Tegal, dan Jawa pada umumnya. Pabrik teh lain juga memroduksi teh melati,” kata Siswanto, Manajer Human Resource Department (HRD) Parik Teh 2 Tang.

Budayawan Tegal, Atmo Tan Sidin mengatakan, kebiasaan meminum teh melati diwakili dengan ungkapan wasgitel yang artinya wangi, sepet (sepat), legi (manis), dan kentel (kental). Tidak bisa dimungkiri, kebiasaan dan kegemaran mengonsumsi teh melati telah menjadi bagian dari budaya dari masyarakat Jawa. Iklim ini lahir dari pesisir Jawa yang kaya gula, sekaligus produsen melati, dan dikombinasikan dengan bagian pedalaman pantura Jawa yang cocok untuk tanaman teh.

Warga memetik bunga melati di sebuah kebun di Desa Maribaya, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Jumat (12/7/2019). Petani bunga melati di kawasan ini menjual panenan mereka ke sejumlah pabrik teh di Tegal dan Slawi.

“Iklim pesisir yang panas itu harus berbalas dengan nuansa kesegaran. Kesegaran itu diperoleh dari aroma melati yang wangi. Faktor iklim itu menjadi sarana penciptaan budaya, dan citarasa teh Jawa yang unik. Itu merupakan respons kita atas iklim atau kondisi alam. Secara alamiah, rasa wangi yang segar itu disukai,” katanya.

Teh jawa pun selain wangi, juga manis. Selera manis teh jawa tak bisa dimungkiri merupakan dampak dari kekayaan alam yang kaya tebu. Budaya ngeteh poci, atau menuangkan teh dari dalam poci tak lepas dari respons manusia Jawa atas lingkungannya. “Wasgitel bukan hanya soal selera atau citarasa atas teh. Ini juga citarasa yang tumbuh dari budaya kita,” kata Atmo.

Pertanyaannya, kenapa melati? Kenapa bukan mawar atau bunga yang lain. Menurut Atmo, campuran teh lebih pada soal rasa itu sendiri. Melati dianggap mewakili citra bersih, putih, murni. “Citra bersih itu antara lain yang ingin dimunculkan dari teh melati. Maka itu kenapa bukan mawar atau kenanga yang dipilih, tetapi melati yang putih bersih,” ujarnya.

Sebagai bagian dari budaya, teh wangi mendapatkan tempat di hati warga. Pilihan rasa ini membawa dampak berlapis, tidak hanya pada produksi teh, tetapi juga pada pertanian melati yang menopang hidup ribuan orang. Teh wangi sejatinya bukan hanya melambangkan cita rasa Indonesia yang unik, spesifik, tetapi juga kaya akan warna budaya sebagai bentuk respons atas alam dan lingkungannya.

Teh wangi yang unik Indonesia itu pun, menurut pemerhati teh, Prawoto Indarto, tidak bisa dinilai nirbudaya. Bila dibandingkan dengan teh lain yang menurut pasaran dan “lidah” dunia merupakan teh enak, seperti green tea, black tea, dan white tea, teh wangi tentu seharusnya memiliki porsi sendiri yang istimewa. Ukuran-ukuran global tidak selalu tepat untuk mengukur suatu produk unik.

“Sekarang makin banyak konsumen yang menghargai keunikan suatu produk. Teh wangi tak bisa dimungkiri menjadi khas Indonesia. Produsen teh, yang umumnya perkebunan rakyat, mulai menyadari ini. Mereka mulai membuat teh wangi kualitas premium atau first grade, yang tehnya kualitas satu. Penambahan melati hanya bagian dari varian teh saja, dan belum tentu tehnya buruk,” kata Prawoto.

 

 

Artikel Lainnya