KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS) 02-08-2019

Peminat teh mengikuti kelas Foundation of Tea from Leaf to Cup yang diampu Ratna Somantri di ABCD School of Coffee, Jakarta, Jumat (2/8/2019). Teh kini makin digemari anak-anak muda perkotaan.Peminat teh mengikuti kelas Foundation of Tea from Leaf to Cup yang diampu Ratna Somantri di ABCD School of Coffee, Jakarta, Jumat (2/8/2019). Teh kini makin digemari anak-anak muda perkotaan.

Perkotaan

Para Pelirik Teh

·sekitar 6 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS) 02-08-2019

Peminat teh mengikuti kelas Foundation of Tea from Leaf to Cup yang diampu Ratna Somantri di ABCD School of Coffee, Jakarta, Jumat (2/8/2019). Teh kini makin digemari anak-anak muda perkotaan.Peminat teh mengikuti kelas Foundation of Tea from Leaf to Cup yang diampu Ratna Somantri di ABCD School of Coffee, Jakarta, Jumat (2/8/2019). Teh kini makin digemari anak-anak muda perkotaan.

MOHAMMAD HILMI FAIQ

Semakin banyak anak muda perkotaan yang melirik teh sebagai gaya hidup. Beberapa di antara mereka yang semula bermain kopi melihat teh sebagai komoditas bermasa depan cerah. Mereka pun lalu ramai-ramai mengerek pamor teh dengan strategi masing-masing.

Tak kurang dari 50 peserta lokakarya duduk manis menyimak pendiri Indonesia Tea Institute, Ratna Somantri, mempresentasikan tren teh di Indonesia. Lokakarya yang di gelar di Atrium Senayan City dalam rangkaian Urban Coffee & Tea Festival pada akhir Februari lalu itu diikuti peserta dari beragam latar belakang dan daerah. Ada pegawai tambang, guru, mahasiswa, sociopreneur, sampai pegawai bank.

Sebagian memang sedang meraba dan membaca tren teh di Indonesia sebagai modal pengetahuan untuk membuka usaha. Sebagian lainnya, ada yang penasaran dengan cara-cara meracik teh agar jadi minuman yang menarik di lidah dan menggoda di mata.

Dalam lokakarya tersebut, Ratna memberikan semacam panduan atau penerawangan bahwa teh akan menjadi minuman yang banyak dicari orang di masa depan. Namun, bukan teh dalam tampilan konvensional, melainkan dalam kemasan kontemporer. Dia pun mendemonstrasikan cara mengawinkan (blending) teh dengan markisa, dengan nanas, dengan mangga, dan bahkan
dengan soda atau nitrogen.

”Wow, mantap juga, ya, rasanya,” kata Vani (22), peserta lokakarya asli Semarang, ketika mencecap teh hijau dicampur dengan soda dan buah markisa.

Rasa asam dan manis dari markisa terasa lebih mengejutkan ketika dipadu dengan aroma daun segar pada teh hijau dan sengatan soda. Menurut dia, teh mampu memberikan kejutan rasa yang belum pernah dia cecap. Itulah salah satu kekuatan teh sebagai komoditas masa depan.

Vani berencana membuka kafe. Dia sudah mempelajari kopi dan merasa bakal mengalami titik jenuh. Lalu tertarik dengan teh lantaran menjanjikan banyak variasi dan kejutan seperti yang dia rasakan tadi.

Gelombang anak muda yang mulai melirik teh ini bisa juga dibaca dari kelas-kelas pelatihan meracik teh yang digelar ABCD School of Coffee bekerja sama dengan Indonesia Tea Institute, Sila Tea, maupun kelas-kelas sejenis di sejumlah daerah. Pertengahan tahun lalu, 12 peserta usia 19 tahun sampai 43 tahun ikut kelas dasar teh selama dua hari yang diampu Ratna di ABCD. Kelas ini sudah dilakukan beberapa kali. Seperti halnya lokakarya di Senayan City, peserta berasal dari beragam latar belakang, termasuk mahasiswa dan pemain teater.

KOMPAS/MOHAMMAD HILMI FAIQ (MHF)

Ratna Somantri saat demo penyeduhan teh di Senayan City, Februari 2020.

Menariknya, sebagian besar peserta adalah barista kopi bersertifikat, seperti Paulen, Willy Wirianto, Ratih Anggun Perdani, Ferdinand Fendyanto, Kelvin Christian, dan dua peserta lainnya. Mereka mempunyai pandangan yang serupa bahwa teh bisa menjadi ”kopi” baru dalam industri minuman, terutama kafe. Oleh karena itu, penting sekali membekali diri mengenal teh lebih jauh.

Pada hari pertama, peserta dikenalkan dengan sejarah, spektrum rasa, sampai pada khasiat teh sebelum berlanjut kepada penyeduhan dan cupping. Hari kedua berlanjut ke penyeduhan lalu latihan meracik dan mencampur teh (blending) sendiri. Setidaknya ada 125 jenis teh yang mereka seduh. Teh berasal dari beragam negara, termasuk Indonesia.

Pengenalan dasar-dasar penyeduhan tersebut mengoreksi cara-cara lama peserta dalam memperlakukan teh. Kerap kali peserta kaget dengan jenis teh tertentu dan rasa tertentu yang di luar bayangan. Misalnya, ternyata ada teh yang gurih mirip kuah sop.

”Gue baru tahu ternyata teh jauh lebih kompleks daripada kopi,” komentar Willy, pemilik kafe di BSD yang sudah sejak 2017 menggeluti kopi.

Kampanye teh
Makin kenal, makin cinta. Begitulah yang terjadi pada anak-anak muda ini terhadap teh. Setelah ikut beragam kelas teh, muncul niat untuk mendorong teh, terutama teh lokal agar lebih dikenal publik dan dapat dinikmati bersama.

Vanessa Tjandra (24), misalnya. Setelah mengunjungi beberapa pameran teh, disusul mengikuti beragam kelas teh seperti dasar-dasar teh, tea blending, tea mixology, dan tea trend, dia memantapkan diri berbisnis teh. Semula akan membuka tea house lalu beralih dengan cara lain. ”Saat ini dalam tahap persiapan produk dan pematangan branding,” ujarnya.
Sementara itu, begitu lulus kelas teh Agustus tahun lalu, Ferdinand langsung menyajikan teh di kafenya di kawasan Kota Tua, Jakarta. Dia sadar, dibutuhkan kerja keras untuk mendongkrak pamor teh sebagai komoditas. Dia menggunakan strategi jualan kopi dan teh sembari memengaruhi pembeli yang biasa hanya ngopi untuk mencicipi teh.

KOMPAS/YUNIADHI AGUNG (MYE) 25-07-2019

Peserta kontes Tea Master yang digelar di JIExpo, Jakarta, Kamis (25/7/2019), meracik teh dengan kreasi yang beragam.

Beberapa pembeli dia tulari agar mencicipi teh-teh artisan berbahan dasar teh hijau dan teh hitam lokal dipadukan dengan chamomile atau bunga mawar. Dalam sebulan terdapat 175-197 meja yang dipenuhi tamu. ”Mereka repeat order setiap datang. Awalnya hanya sekitar 10 persen pelanggan yang suka teh, sekarang sudah sampai 50 persen,” kata Ferdinand, menggambarkan perkembangan pencinta teh di kafenya.

Ratih, yang tinggal di Pekalongan, Jawa Tengah, juga termasuk anak muda yang progresif dalam mempromosikan teh. Perempuan 32 tahun itu semula pencandu kopi, lalu berhenti setelah dokter menyarankannya karena kondisi fisiknya dapat terganggu. Dia kemudian sepenuhnya beralih ke teh sejak tiga tahun lalu dengan menjadi seorang pengusaha muda yang mengembangkan misi sosial. Sebutlah seorang sociopreneur.

Dia membeli teh curah kualitas premium dari kelompok tani dan beberapa petani lain di luar kelompok tersebut lalu mengemasnya dalam label Nala Organic Tea. Ada dua misi penting yang dia emban, yakni membantu kedaulatan petani dan memajukan teh Nusantara.

Dia mengarahkan petani agar bersedia memetik teh premium dan mengolahnya secara baik. Ratih lalu membelinya Rp 150.000 sampai Rp 3 juta per kilogram bergantung pada jenis teh. Harga itu setara dengan tujuh sampai delapan kali lipat dibandingkan harga jual teh petani ke tengkulak.

Untuk dapat mengangkat pamor teh, Ratih belajar dari kelas ke kelas teh lalu membuat teh artisan berbahan dasar teh dari petani tadi. Dia sempat bermitra dengan rekannya membuka kafe di Pekalongan, Jawa Tengah. Namun, karena tidak mampu membagi waktu dengan baik, dia mundur, dan hanya menjadi pemasok teh ke kafe tersebut.

Dia juga aktif membuka kelas teh di Pekalongan, Semarang, dan Solo. ”Sebelum pandemi Covid-19 ini, seharusnya ada tiga kelas lagi di Semarang dan Solo. Semua batal,” ujarnya.

Covid-19 menjatuhkan omzet Ratih hingga tinggal sekitar 15 persen dari biasanya. Kafe Darling in D Cup milik Ferdinand pun harus tutup sejak Maret lalu. Namun, mereka optimistis teh akan bersinar ketika wabah usai.

Bermasa depan
Anak-anak muda ini gigih mempromosikan teh lantaran yakin dengan masa depan cerah ”emas hijau”. Kelvin, yang banyak bergaul dengan pencinta kopi dan pemilik kafe, melihat pergeseran ke arah teh. ”Teh, kopi, dan cokelat punya masa depan yang sama. Teh bisa jaya seperti kopi sekarang ini,” papar Kelvin sambil mengatakan banyak pemilik kafe kopi yang memasukkan beragam jenis teh ke dalam menunya.

Ini juga dibaca Ratih di pasar Jawa Tengah. Makanya dia yakin teh bisa setara bahkan meninggalkan kopi di pasar.

Ratna Somantri mempunyai pandangan yang sebangun dengan anak-anak muda tadi. Baginya, tren teh di perkotaan sangat dipengaruhi gaya hidup.

Ada yang minum teh karena sehari-harinya mengadopsi gaya hidup sehat, dan teh menjadi salah satu minuman yang sesuai narasi itu. Ada juga yang minum teh karena mengikuti tren kuliner. Teh-teh yang sedang tren di dunia foodie antara lain matcha, boba, dan teh-teh kekinian lainnya. Ini bisa menjadi pintu masuk teh lokal.

Indikasi lainnya, lanjut Ratna, dalam satu hingga dua tahun terakhir ini banyak yang menganggap industri kedai kopi mulai masif sehingga mereka mulai melirik ke teh untuk dijadikan alternatif.

”Jumlahnya belum signifikan, tetapi trennya naik. Dari barista kemudian belajar teh. Punya kedai kopi dan mulai menawarkan lebih banyak varian teh,” katanya.

Survei Litbang Kompas pada pertengahan 2019 terhadap 516 responden di 17 kota besar di Indonesia menguatkan pembacaan Ratna itu. Sebanyak 64 responden yakin teh akan menjadi gaya hidup seperti kopi sekarang. Survei ini juga mengungkap bahwa sebanyak 65,7 persen responden cenderung memilih teh daripada kopi.

Tinggal meramu narasi, inovasi, dan jenama yang kuat sehingga minum teh menjadi gaya. Misalnya, membuat tea blend, artisan, atau teh mixology. Inilah yang dilakukan anak-anak muda ini. Mereka melirik lalu mengerek pamor teh.

Artikel Lainnya